• Literasi
  • Polemik Pancasila, Pemerintah Didorong Terbitkan Perppu UU Sisdiknas

Polemik Pancasila, Pemerintah Didorong Terbitkan Perppu UU Sisdiknas

Forum dari lintas kampus dan tokoh masyarakat ini mendukung sikap dan kritik kepada pemerintah karena mau menghilangkan pelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia.

Lambang Negara Garuda Pancasila, dibuat tanggal 12 April 1950. Penghapusan Pancasila dalam kurikulum menuai polemik. (Foto: Arsip Nasional Republik Indonesia/ANRI)

Penulis Iman Herdiana19 April 2021


BandungBergerak.id - Polemik hilangnya muatan pendidikan Pancasila dan bahasa Indonesia dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan (PP SNP) terus menuai reaksi. Respons paling baru muncul dari Forum Pusat Kajian Pancasila dan Kebangsaan (FPKPK) Se-Indonesia yang mendorong lahirnya Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang baru.

Untuk menyatakan sikapnya, FPKPK menggelar konferensi pers daring, Senin (19/4/2021), dan menghasilkan pernyataan bersama yang ditandatangani Ketua Presidium FPKPK se-Indonesia, Rosyid Al Atok, dan Sekretaris Presidium Heri Santoso.

Forum dari lintas kampus dan tokoh masyarakat tersebut mendukung sikap dan kritik kepada pemerintah karena mau menghilangkan pelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia di pendidikan tinggi.

Forum menilai penolakan dan kritik masyarakat hendaknya dipahami pemerintah sebagai kepedulian dan kecintaan kepada Pancasila dan upaya perbaikan sistem pendidikan nasional Indonesia.

Meski demikian, Forum mengapresiasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia yang telah merespons cepat, sehingga pelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia tidak jadi dihilangkan.

Forum mendukung penuh terhadap usulan Perubahan PP Nomor 57 Tahun 2021 dengan memasukkan Pancasila dan Pendidikan Kewarganegaraan dan Bahasa Indonesia sebagai mata pelajaran atau mata kuliah wajib dalam kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan pendidikan tinggi.

Lebih jauh, Forum mengusulkan agar Pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) yang mengubah UU Nomor 20/ 2003 tentang Sisdiknas. Sebagian pasal pada UU Sisdiknas dinilai tidak sejalan dengan upaya penguatan nilai-nilai Pancasila.

Dalam UU tersebut terdapat inkonsistensi antar-pasal dan ayat, sebagai contoh pasal 37 tidak konsisten dengan semangat dan jiwa pasal 1 ayat 2. Maka, Forum menegaskan, sekaranglah saatnya menyusun UU Sisdiknas yang lebih sesuai dengan jiwa Pancasila dan UUD 45.

Konferensi pers sendiri berlangsung via Zoom yang diikuti partisipan dari berbagai tempat di Indonesia, terutama dari kalangan akademisi kampus. Peserta dari Universitas Muhammadiyah Papua, Harun Gafur, juga menyatakan dukungannya pada sikap forum. Menurutnya, Pancasila adalah ideologi yang harus dipertahankan.

“Kami di Papua dukung penuh gerakan ini. Dukung secara narasi maupun gerakan kolektif untuk Indonesia lebih baik. Kami berada di garda terdepan bersama forum ini,” tandas Harun.

Partisipan lainnya, Andi Nurhikmah, menyatakan rencana penghilangan mata pelajaran Pancasila dan bahasa Indonesia sebagai bentuk keteledoran pejabat publik. Hal ini mestinya tidak terjadi, apalagi menyangkut prinsip negara.

Andi meminta pejabat negara agar meminta maaf atas keteledoran tersebut. “Seharusnya usulan forum ini diterima dan disertai permintaan maaf. Mudah bagi pejabat publik untuk meminta maaf kepada masyarakat. Harus berbesar hati, apabila itu salah, harus mengakui,” katanya.

Rafindo Piksa Prayoga, dari Universitas Muhammadiyah Bengkulu, bersyukur karena mata kuliah Pancasila dan bahasa Indonesia di pendidikan tinggi tidak jadi dihilangkan oleh pemerintah. Meskipun masalah ini meninggalkan persoalan, bahwa kenyaannya banyak generasi muda yang tidak paham nilai-nilai Pancasila.

Ketua Hima PPKN Bengkulu tersebut mengaku sudah lama resah menghadapi tersisihnya pelajaran Pancasila di kalangan generasi muda. “Rencana kita selanjutnya, bagaimana ke depan generasi muda ini agar mau memahami dan menerapkan Pancasila,” katanya.

Hal senada disampaikan Sholikul Hadi dari Institut Negeri Jember yang baru-baru ini menggelar diskusi tentang hilangnya pendidikan Pancasila. Dalam diskusi tersebut mencuat usulan perlunya metode penyampaian pendidikan Pancasila bagi generasi milenial atau yang lebih muda.

“Forum ini agar mendorong adanya kegiatan yang melahirkan pembelajaran Pancasila yang menarik bagi mahasiswa sekarang, yang membuat pelajaran dan pengeahuan Pancasila itu menarik bagi mereka,” katanya.

Revisi PP SNP

Kemendikbud menegaskan bahwa Pancasila dan bahasa Indonesia tetap diwajibkan dalam kurikulum. Pernyataan Kemndikbud ini diikuti dengan Langkah pengajuan revisi PP Nomor 57/2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, seperti dikutip dalam siaran pers 16 April 2021.

Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menyatakan, PP tersebut disusun dengan merujuk pada UU Sisdiknas dan substansi kurikulum wajib tertulis persis dengan UU tersebut. Namun pengaturan kurikulum wajib pendidikan tinggi telah diatur kembali dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi dan sepertinya perlu dipertegas.

“Kami senang dan mengapresiasi masukan dari masyarakat. Kami kembali menegaskan bahwa Pancasila dan bahasa Indonesia memang selalu dan akan tetap diwajibkan dalam kurikulum, sehingga untuk mencegah terjadinya kesalahpahaman lebih jauh, kami akan mengajukan revisi PP SNP terkait substansi kurikulum wajib,” kata Mendikbud.

Pengajuan revisi PP SNP merujuk kepada pasal 5 ayat (2) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945, kemudian Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, dan Undang-undang Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi. Revisi tersebut diharapkan lancar, sehingga terjadi harmonisasi antar-kementerian atau lembaga.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//