Colenak Murdi dan Sate Madrawi Jamuan KAA 1955
Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, mampir ke rumah makan ini dan nyaris minum air kobokan.
Penulis Iman Herdiana21 April 2021
BandungBergerak.id - Konferensi Asia Afrika (KAA) yang berlangsung 18-24 April 1955, diwarnai kuliner khas nusantara sebagai jamuan delegasi negara. Colenak dan sate pun dipesan.
Colenak adalah kuliner khas Bandung terbuat dari tape atau peuyeum singkong. Colenak dibikin dari tape panggang, kemudian disiram cairan gula merah dan parutan kelapa. Rasanya manis dan ada sensasi asam tape yang terfermentasi.
Sedangkan sate, semua orang pasti mengenalnya. Pada saat Konferensi Asia Afrika, colenak dipisan dari tukang colenak paling terkenal di Bandung, yaitu Colenak Murdi Putra yang membuka warung colenak di Cicadas, sekitar 5 kilometer dari Gedung Merdeka yang menjadi tempat penyelenggaraan KAA.
Dalam buku "Di Balik Layar: Warna-warni Konferensi Asia Afrika 1955 di Mata Pelakunya" yang ditulis Sulhan Syafii dan Ully Rangkuti (2014), dikisahkan bahwa nama Colenak Murdi Putra diambil dari nama pedagangnya, ya, Murdi Putra sendiri.
Sopiah, putri Murdi Putra (almarhum), mengenang awalnya ayahnya sempat jualan beras, lalu berhenti, dan beralih membuka warung nasi, tapi akhirnya berhenti juga. Kakek Sopiah (mertua Murdi) lantas menyarankan jualan peuyeum singkong alias tape yang dibakar lalu diberi saus gula merah (kinca) dan parutan kelapa.
Jajanan tersebut ternyata laku keras, digemari karyawan pabrik sampai pengusaha lokal yang disebut aom-aom. Waktu itu, jajanan peuyeum Bandung dengan bumbu gula dinamai colenak. Nama colenak justru diberikan dari aom-aom pelanggan Murdi.
"Sudah saja, Jang Murdi, jangan peuyeum digulaan. Karena dicocol enak, sudah saja kasih nama colenak," kata Sopiah, menirukan ucapan aom-aom kepada ayahnya.
Sopiah saat itu baru berusia 16 tahun. Ayahnya mendatangkan tape singkong sebagai bahan utama colenak dari Cimenyan di utara Bandung. Peyeum dari Cimenyan memang sudah sohor sejak zaman Belanda. Keterkenalan peyeum Cimenyan membuat peuyeum Bandung jadi oleh-oleh khas Kota Kembang.
Murdi sekali pesan peuyeum Cimenyan sebanyak 50 kilogram tape. Sementara gula merah dan kelapa didatangkan dari Pasar Cicadas.
Sampai suatu hari di tahun 1955, colenak Murdi dapat pesanan dari Konferensi Asia Afrika. Sopiah menyebut KAA sebagai rapat besar di Gedung Merdeka. Pesanan colenak diambil oleh dua orang berpakaian sipil.
Warung Murdi semakin masyhur setelah diliput media massa karena colenaknya menjadi hidangan istimewa tamu negara.
Sate Madrawi
Cerita sate, lain lagi. Dahulu di kawasan Alun-alun Bandung, tepatnya di sisi kanan Mesjid Agung, terdapat Rumah Makan Madrawi yang sudah menjadi langganan Sukarno ketika masih kuliah di ITB.
Kalau lagi ada uang, Sukarno muda suka makan sepiring nasi, sate ayam, gule kambing, dan teh manis di Rumah Makan Madrawi. "Kalau lagi punya duit dia bayar, kalau enggak besok baru datang lagi sambil bayar yang kemarin," cerita Padlie Badjuri, pemiluk Rumah Makan Madrawi.
Padlie adalah orang Madura yang pindah ke Bandung pada 1907. Ia memulai bisnis rumah makan bersama kakaknya, Munira.
Sukarno menjadi pelanggan tetap Rumah Makan Madrawi sampai terpilih jadi Presiden RI. Ketika KAA berlangsung, Sukarno tidak datang lamgsung ke rumah makan, melainkan memesannya untuk di antar ke Gedung Pakuan, rumah kediaman resmi Gubernur Jawa Barat, di Jalan Oto Iskandardinata.
Di gedung berarsitektur empire itulah Sukarno menginap saat dihelatnya KAA. Staf Gedung Pakuan memesan sate, gule, dan makanan lainnya sehari dua kali, siang dan sore, ke Rumah Makan Madrawi.
Selain Sukarno, delegasi yang pernah makan di rumah makan ini ialah Perdana Menteri India, Jawaharlal Nehru, yang datang langsung diantar pengawal. Kejadian menarik muncul ketika pelayan menyodorkan hidangan disertai air kobokan dari mangkuk aluminium ke meja Nehru. Sang PM malah meminum kobokan tersebut. Untung Padlie sigap mencegah.
Padlie sudah diwanti-wanti oleh Ali Sastroamidjojo agar memberi pelayanam terbaik pada delegasi KAA yang makan di rumah makannya. Padlie tidak boleh memungut bayaran karena akan ditanggung oleh Ali. "Saya yang akan bayar, tolong dicatat dulu," kata Ali, seperti dituturkan Padlie.
Rupanya, Padlie juga sudah kenal dengan Ali yang saat itu menjadi Ketua KAA, konferensi yang diiikuti 29 negara dari Asia dan Afrika. Menurut Padlie, selain Sukarno, Ali juga pelanggan rumah makannya.
Setelah KAA, Ali sendiri yang datang ke Rumah Makan Madrawi untuk melunasi biaya makan dan minum para delegasi KAA.
Kisah kedekatan Sukarno dan Ali dengan pedagang di Bandung jadi cerita mulut ke mulut. Gaya mereka santai, tidak birokratis, dan bersahaja menjadi daya tarik tersendiri. Seikap ini patut ditiru oleh pejabat masa kini.