• Buku
  • Daftar Buku Terbitan Bandung yang Dilarang Orde Baru

Daftar Buku Terbitan Bandung yang Dilarang Orde Baru

Indonesia memiliki sejarah kelam yang teramat panjang terkait pelarangan buku. Di masa Orde Baru, ratusan buku dilarang. Beberapa di antaranya terbitan Bandung.

Sampul dua buku terbitan Bandung yang dinyatakan terlarang di masa Orde Baru, yakni Indonesia di bawah Sepatu Lars dan Di bawah Bendera Oposisi. (Foto: Tri Joko Her Riadi)

Penulis Tri Joko Her Riadi23 April 2021


BandungBergerak.idIndonesia memiliki sejarah kelam yang teramat panjang terkait pelarangan buku. Politik pembungkaman suara kritis dan kebebasan berekspresi ini ditemui di setiap rezim, meski tentu saja 32 tahun Orde Baru merupakan puncak dari segalanya.  

Di masa pemerintahan Sukarno, sebagaimana tercacat dalam buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi (2011), ada lima judul buku yang dinyatakan terlarang. Kelimanya adalah Hoakiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer, Yang Bertanahair tapi Tak Bertanah karya Sabar Antaguna, Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta, serta dua buku karya Agam Wispi, yakni Matinya Seorang Petani dan Yang Tak Terbungkamkan.

Di masa pemerintahan Suharto, jumlah judul buku yang dilarang beredar mencapai ratusan. Hampir di tiap tahun sejak 1969 terbit daftar buku terlarang oleh Kejaksaan Agung.

Sebelumnya, pelarangan buku dilakukan oleh seorang pejabat kementerian dan sebuah institusi di Jakarta. Semua judul buku terlarang itu disangkutpautkan dengan Peristiwa 1965.

Menurut para peneliti dalam Buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, yang diterbitkan oleh Pemantau Regulasi dan Regulator Media (PR2Media), budaya otoriter menjadi pendorong utama pemberangusan sikap kritis warga, termasuk yang tertuang dalam buku. Label yang sering digunakan di antaranya adalah: “membahayakan keamanan”, “mengganggu ketertiban umum”, “ajaran sesat”, dan “tafsir sejarah yang keliru”.

Tim peneliti juga menemukan dua jenis tindakan pelarangan buku oleh negara, yakni melalui regulasi dan melalui kebijakan. Contoh regulasi adalah pemberian kewenangan pada Kejaksaan Agung untuk mengawasi buku dan barang cetakan. Sementara itu, contoh kebijakan adalah program pengadaan buku pelajaran sekolah oleh Kementerian Pendidikan yang secara tidak langsung berdampak pada pelarangan buku tertentu.

“Pelarangan buku ternyata tidak hanya dilakukan oleh negara melalui aparatnya. Namun yang jauh lebih berbahaya, pemberangusan buku yang dilakukan oleh kelompok masyarakat,” tulis buku tersebut.

Salah satu ilustrasai yang menghiasi buku Indonesia di bawah Sepatu Lars.
Salah satu ilustrasai yang menghiasi buku Indonesia di bawah Sepatu Lars.

Gerakan Mahasiswa Bandung

Daftar buku terlarang di Indonesia termuat, selain di buku Pelarangan Buku di Indonesia: Sebuah Paradoks Demokrasi dan Kebebasan Berekspresi, dalam buku Menentang Peradaban: Peralarangan Buku di Indonesia (1999). Ditulis oleh Jaringan Kerja Budaya, buku setebal 180 halaman memusatkan bahasan pada politik pelarangan buku di masa Orde Baru.

“Lembaga pelarangan buku sesungguhnya merupakan alat bagi penguasa Orde Baru untuk mengawasi dan mengontrol pembentukan kesadaran masyarkat Indonesia,” demikian disimpulkan oleh tim penulis.

Sebagian besar judul buku terlarang di masa Orde Baru terbit di Jakarta. Sedikit saja jumlah buku yang diterbitkan di luar Ibu Kota Negara, seperti Medan, Solo, dan Bandung. Di Bandung, paling tidak ada tujuh judul buku yang masuk daftar terlarang.

Jika dicermati, dari ketujuh judul buku ini, lima di antaranya diterbitkan secara independen sebagai bagian dari gerakan kritis mahasiswa. Institut Teknologi Bandung (ITB) menjadi porosnya.

Ke Arah Masyarakat Membaharu di Bawah Bendera Oposisi (1980), misalnya, merupakan eksepsi atau pembelaan Al Hilal, caretaker Presidium Dewan Mahasiswa ITB, yang dibacakan di depan pengadilan negeri di Bandung pada 24 September 1979. Panjang eksepsi itu mencapai 136 halaman.

Hilal tanpa takut menyebut adanya banyak undang-undang yang “lebih mencerminkan kepentingan penguasa” sehingga “sebagian besar hakekatnya justru saat ini menjadi alat penindas hak-hak politik rakyat”.

Berikut daftar buku terbitan Bandung yang dinyatakan terlarang oleh Orde Baru:

Orang-orang yang Terhormat (1974) karya Abnar R. Romli, diterbitkan oleh PT. Sanggabuana

Buku Biru Menyongsong Masa Depan (1978), ditulis dan diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB

Perjalanan di Awal Tahun (1978), ditulis dan diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa ITB

Mendobrak Belenggu Penindasan Rakyat Indonesia (1979) karya Herry Akhmadi, diterbitkan oleh LBH dan Dewan Mahasiswa ITB

Ke Arah Masyarakat Membaharu di Bawah Bendera Oposisi (1980) karya Al Hilal, diterbitkan oleh Dewan Mahasiswa Bandung

Seri Cerita Pemberontakan Madiun: Mr. Amir Sjarifuddin karya S. T. Miharja, diterbitkan oleh Sarana Panca Karya

Bertarung demi Demokrasi: Kumpulan Eksepsi Mahasiswa Bandung 1989 (1989), ditulis dan diterbitkan oleh Komite Penanganan dan Pemulihan Aktivitas Kemahasiswaan – Forum Ketua Himpunan Jurusan ITB 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//