Tadarus Teks Pidato Sang Penggagas Konferensi Asia Afrika
KAA dihelat untuk menyikapi dunia yang terancam perang nuklir Blok Komunis yang dipimpin Uni Soviet-RRC versus Blok Barat yang dipimpin Amerika.
Penulis Iman Herdiana24 April 2021
BandungBergerak.id - Sekelompok anggota komunitas Asian African Reading Club (AARC) berkumpul membahas pidato Perdana Menteri (PM) Ali Sastroamidjojo pada Konferensi Asia-Afrika (KAA) 1955 di Gedung Merdeka. Pada KAA 1955, Ali dua kali menyampaikan pidato, yakni pidato pembukaan pada 18 April, dan pidato penutupan 24 April, 66 tahun lalu.
Ali menyampaikan pidato pembuka dan penutup KAA karena dia sendiri sebagai Ketua Umum KAA, sekaligus penggagas konferensi yang melibatkan para kepala negara yang memimpin setengah penduduk dunia itu.
Pada kesempatan tesebut, para pegiat AARC berkumpul lewat aplikasi online Zoom untuk menggelar acara bertajuk "Tadarusan & Pembahasan Pidato Penutup Ali Sastroamidjojo di Konperensi Asia Afrika 1955". “Setelah kita sekarang tiba pada penutupan Konperensi ini, sesudah mengalami suatu minggu yang amat penting…” demikian awal pidato Ali yang dibacakan peserta AARC secara bergilir, yang dipandu moderator Dosy Gulfusarak dari Pascasarjana Universitas Pertahanan.
Ketika KAA 1955, pidato Ali Sastroamidjojo yang panjangnya kurang lebih 4 halaman kertas HVS itu ditujukan pada delegasi setingkat perdana menteri dari 29 negara Asia dan Afrika dan diliput ratusan jurnalis dari luar negeri. KAA dihelat untuk menyikapi ancaman perang nuklir antar-negara adidaya, yakni Blok Komunis yang dipimpin Uni Soviet-RRC versus Blok Barat yang dipimpin Amerika Serikat.
Ali, dalam pidato penutupan KAA, menggarisbawahi poin-poin utama selama sepekan menggelar sidang yang oleh dunia internasional diseut Konferensi Bandung itu, yaitu perdamaian, toleransi, persaudaraan, kerja sama, dan solidaritas. Poin penting ini terangkum dalam Dasasila Bandung atau Spirit Bandung.
“Menjelang kembalinya Tuan-tuan ke rumah tangga dan negara Tuan-tuan, saya yakin, bahwa semuanya akan membawa bersama-sama perasaan kepuasan seperti yang saya rasaka pada penutupan Konperensi Asia Afrika yang pertama ini. Kita bangsa-bangsa Asia dan Afrika telah menunjukkan, bahwa kita dapat bekerja bersama-sama dan bahwa hanya perdamaian dan perdamaian semata-mata yang kita inginkan…”
“Semoga kita dapat meneruskan perjalanan kita di atas jalan yang telah kita pilih bersama-sama dan semoga Konperensi Bandung ini tetap tegak sebagai sebuah mercusuar yang membimbing kemajuan di masa depan dari Asia dan Afrika.”
Pantas Dapat Nobel Perdamaian
Peran Indonesia dalam perhelatan KAA sangat krusial, mengingat negeri inilah yang menggagas KAA melalui Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) di Kolombo, Sri Lannka (Ceylon), 1954 atau setahun sebelum KAA yang digagas PM Ali Sastroamidjojo.
KTT Kolombo 1954 dihadiri lima perdana menteri, yakni PM Sri Lanka Sir John Kotelawala sebagai tuan rumah, PM Ali, PM Burma U Nu, PM India Jawaharlal Nehru, PM Pakisan Moh Ali. Roeslan Abdulgani dalam bukunya “The Bandung Connection: Konferensi Asia Afrika di Bandung Tahun 1955” (Penerbit Gunung Agung: 1980), menuturkan gagasan menggelar Konferensi A-A (Asia-Afrika) dari PM Ali awalnya direspons ragu-ragu oleh empat Perdana Menteri KTT Kolombo.
Roeslan Abdulgani menceritakan, PM U Nu dan PM Moh Ali skeptis dengan gagasan PM Ali. Tapi mereka tidak terang-terangan membantah. PM Sir John Kotelawala lebih ragu lagi. PM India Nehru menyatakan terlalu sulit menggelar konferensi yang dihadiri negara Asia Afrika. Sebelumnya, kata Nehru, pernah digagas konferensi besar, tapi mati sebelum dilahirkan.
Di tengah keraguan semua PM, Ali bersikukuh bahwa Indonesia bisa menggelar konferensi yang dihadiri negara dari Asia Afrika: “Saya akan merasa puas apabila Konperensi Kolombo dapat menyetujui bahwa Indonesia akan mensponsori sendiri Konperensi A-A demikian.”
Wildan Sena Utama, penulis buku “Konferensi Asia-Afrika 1955”, menyebut Ali Sastroamidjojo sebagai “peace mackers” untuk negara-negara dunia ketiga, tanpa bermaksud mengkultuskan individu. “Selama ini pandangan dunia tertuju pada Jawaharlal Nehru dalam meredakan ketegangan dunia. Menurut saya Ali Sastroamidjojo tokoh penting di saat Asia dan Afrika terancam kontestasi Perang Dingin,” ungkap Wildan, usai tadarus pidato Ali.
Mahasiswa doktoral Departemen Sejarah University of Bristol Inggris itu mengingatkan, Jawaharlal Nehru awalnya ragu dengan gagasan KAA yang dilontarkan Ali. Namun menurut Ali, walau negara Asia Afrika memiliki segudang perbedaan ideologi, politik, budaya, agama, tapi mereka sama-sama menginginkan perdamaian dan tidak mau terjebak masuk dalam pusaran Peran Dingin.
KAA memberikan jalan bagi negara-negara Asia Afrika untuk saling bertemu dan berdialog. Bahkan konferensi ini berhasil mendatangkan Zhou Enlai, Perdana Menteri Republik Rakyat China (RRC) yang kala itu memegang percaturan penting dalam Perang Dingin. KAA sekaligus menjadi ruang klarifikasi bagi China untuk menangkis tudingan bahwa RRC ingin ‘memerahkan’ Asia. Zhou Enlai menegaskan bahwa kehadiran dirinya di KAA justru untuk membuka dialog perdamaian.
Konferensi Bandung kemudian menginspirasi banyak negara dan tokoh pergerakan dunia untuk bebas dari imperialisme dan kolonialisme. Seperti diakui Frantz Fanon--aktivis kelahiran Prancis yang menginspirasi gerakan anti-kolonialisme--bahwa Konferensi Bandung mendorong negara-negara tertindas untuk saling bantu; Malcolm X menyebut KAA adalah kesempatan bagi negara Asia Afrika untuk duduk bersama melawan musuh mereka.
Namun sayangnya, tidak ada tokoh KAA 1955 yang kemudian diganjar Nobel Perdamaian. Padahal menurut Wildan, KAA adalah inisiatif politik yang mendorong perdamaian dunia. “Dalam hal ini Ali Sastroamidjojo pantas dapat Nobel Peace Prize atas perannya sebagai juru bicara KAA, di saat timpangnya tatanan dunia,” katanya.
Walaupun Wildan tak berharap banyak bahwa Ali Sastroamidjojo atau tokoh KAA lainnya suatu waktu mendapat penghargaan Nobel Perdamaian mengingnat secara historis pemberian penghargaan ini memiliki bias politik.
Hingga kini Konferensi Bandung masih relevan mengingat kolonialisme dan imperialisme lama telah berganti baju dengan cara-caranya yang lebih modern, seperti disampaikan Sukarno bahwa kolonialisme tidak pernah mati dan akan terus berkamuflase. Walaupun analis-analis Barat memandang pemikiran Sukarno telah ketinggalan zaman.
Konferensi Bandung juga terus mendapat kajian di kampus-kampus luar negeri, termasuk di kampus tempat Wildan mengambil kuliah doktorlanya, University of Bristol Inggris.
11 Pidato Pak Ali
AARC menghimpun gagasan KAA yang dicetuskan PM Ali Sastroamidjojo melalui pidato-pidatonya dalam kurun 1953-1955. Tercatat ada sebelas pidato soal KAA dalam rentang waktu tersebut. Pidato perdana ia utarakan usai dilantik sebagai Perdana Menteri ke-8 RI di hadapan Parlemen RI. Yang kedua disampaikan di hadapan para Kepala Perwakilan RI di Pertemuan Tugu pada Maret 1954, untuk merumuskan kertas kerja KAA sebagai bekal ke Konferensi Kolombo.
Berikutnya, pidato Ali soal urgensi solidaritas KAA di hadapan empat Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo pada Mei 1954. Konferensi Kolomo menjadi cikal bakal KAA yang digagas Ali.
Pada September 1954, dalam upayanya untuk meraih dukungan perhelatan KAA, Ali tiga kali pidato di India. Hasilnya, PM India Jawaharlal Nehru mendukung penuh gagasan digelarnya KAA lewat Pernyataan Bersama Indonesia-India untuk KAA.
Berapa hari setelah kunjungan ke India, PM Ali terbang ke Burma dan kembali menyampaikan pidatonya soal pentingnya merawat perdamaian bagi bangsa Asia Afrika. Dari Burma lahir pernyataan bersama Ali-U Nu.
Di penghujung Desember 1954, Ali sebagai tuan rumah Konferensi Bogor yang dihadiri empat Perdana Menteri peserta Konferensi Kolombo, mendorong perlunya segera menyepakati pelaksanaan KAA. Konferensi Bogor kemudian menyepakati akan digelarnya KAA di Bandung.
Terakhir, dua pidato Ali pada pembukaan dan penutupan KAA di mana salah satunya dibacakan kembali dalam tadarusan komunitas AARC.