• Buku
  • Saat Bandung Berselimut Kabut, ketika Mayoritas Warganya Miskin

Saat Bandung Berselimut Kabut, ketika Mayoritas Warganya Miskin

Mayoritas warga Bandung era 1950 -an miskin dan tertinggal dari sisi pendidikan. Tetapi kini kemiskinan di Bandung diwarnai jurang kesenjangan mencolok.

Bangunan pencakar langit terlihat di kawasan Cigadung, Bandung, 25 Januari 2021. Pembangunan yang pesat di Bandung belum dirasakan seluruh warganya. Saat ini tercatat lebih dari 100 ribu warga Bandung dalam kategori miskin. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Penulis Iman Herdiana26 April 2021


BandungBergerak.idBandung tahun 1950-an masih asri dan nyaman ditinggali. Hawanya segar, banyak sekali pohon rindang. Setiap pagi turun kabut. Embun menempel di rerumputan dan daun. Sungai Cikapundung mengalir jernih, anak-anak lomba menyelam, orang tua mencuci, mandi, dan minum di sana.

Tetapi Bandung era 50-an bukan berarti tidak ada kemiskinan. Bisa dibilang, mayoritas warga Bandung miskin dan udik. Masa itu Bandung juga dilanda pelbagai wabah penyakit: tifus, malaria, cacar, disentri, TBC.

“Ka tompernakeun taun 1950-an nepi ka taun 1965 oge warga Bandung ngalaman susah dahareun. Loba nu teu kabeuli beas. Rajeun aya beas murah, nu butuh teh kudu ngantay (Tahun 1950-an sampai 1965, warga Bandung kesulitan mencari makanan. Banyak yang tak bisa beli beras. Ada beras murah, tapi harus antre),” cerita tutur Us Tiarsa, dalam buku Basa Bandung Halimunan.

Us Tiarsa adalah sastrawan Sunda, redaktur Pikiran Rakyat (1975-2005). Menurutnya, antrean beli beras warga Bandung biasa dimulai subuh sampai menjelang magrib, itu pun hanya dapat dua liter per orang. Selain beras, minyak tanah juga susah dan harus antre.

Waktu itu, lanjut pendiri koran Galura (koran bahasa Sunda di Bandung) itu, rakyat kecil di Bandung yang jumlahnya sangat banyak harus berburu beras atau minyak tanah. Warga Bandung di utara rel kereta api, mengantrenya di Pasar Pamoyanan, Sukajadi, Nangkasuni, Bangbayang, Cihaurgeulis. Tempat antre minyak tanah yang paling banyak dituju ada di asrama pagawai DKA, Jalan Kebonkawung. Lalu, di Sukajadi, dan Jatayu.

Warga di selatan rel kereta biasa ngantre beras di Babatan, Ulekan, Cibuntu, Ancol, Cigereleng, dan Babakan Ciparay. Tak jarang warga yang punya uang lebih, suka mengajak sanak saudara untuk ikut antre agar mendapat jatah beras lebih banyak, hasilnya mereka jual lagi demi dapat untung sedikit.

Mengapa Us Tiarsa membagi geografi Kota Bandung baheula dengan garis rel kereta api utara dan selatan? Karena penulisan bukuBasa Bandung Halimunan” (Ketika Bandung Masih Berkabut) dilatarbelakangi situasi dan kondisi pasca-kemerdekaan di mana Bandung mengalami peristiwa Bandung Lautan Api demi menghindari Inggris dan agresi Belanda.

Us adalah saksi sekaligus pelaku peristiwa pembakaran kota Bandung yang terjadi Maret 1946. Peristiwa pembakaran kota diikuti gelombang pengungsian warga Bandung ke luar wilayah Bandung sampai kembali lagi pada 1949-an. Di masa itu, Inggris yang membonceng tentara Belanda (NICA), membagi Bandung menjadi utara dan selatan dengan titik tengah rel kereta api. Titik utara untuk tinggal warga Eropa dan Indo-Eropa, sedangkan dari rel kereka api ke selatan khusus untuk warga pribumi.

Jurig Kuris Gentayangan

Selain kemiskinan, Bandung tahun 1950 kerap dirundung penyakit dan rendahnya pendidikan. Banyak warga tidak sekolah dan buta huruf. Jika musim penyakit, mereka lebih memilih berobat secara tradisi daripada ke dokter. Ketika wabah cacar menyerang, banyak warga yang memilih kabur atau sembunyi untuk menghindari program imunisasi.

Anak-anak sampai dewasa pada takut disuntik. Di sisi lain, kata Us Tiarsa, banyak warga yang sudah disuntik lewat program imunisasi malah pada jatuh sakit: demam, tangan bekas disuntik bengkak. Anak-anak pun malas ke sekolah jika ada program imunisasi.

Akhirnya, kata Us, program imunisasi di sekolah harus dilakukan seperti inspeksi mendadak. “Mantri suntik datang ka sakola. Barudak dikaluarkeun ti kelas. Euweuh nu bisa kabur. Barudak awewe mah, loba nu careurik, memeh nampe kana meja mantri suntik oge,” cerita Us Tiarsa.

Orang tua yang mendapati anaknya telah disuntik, buru-buru mencari tanah untuk membalur bekas suntikan. Ada yang mencari kotoran cacing untuk mengolesi bekas suntikan. Entah apa maksudnya.

“Bandung teh kaasup kota gede, dayeuh rame. Pangeusina lolobana jalma ngota. Jaman harita mah nya kitu we, prah jeung urang lembur di sisi gunung, arang ngambeu doktor teh,” cerita Us Tiarsa.

Pada musim penyakit cacar, masyarakat Bandung banyak yang percaya wabah penyakit yang merusak wajah itu disebabkan jurig kuris (hantu cacar), mengingat penyakit ini belum ada obatnya. Kabar jurig kuris cepat menyebar. Anak-anak dilarang main di luar rumah, apalagi di waktu sandekala atau menjelang magrib.

Bahkan di sekolah, seorang guru menggambar jurig kuris itu! Yaitu sepasang makhluk halus yang suka mematuk wajah orang agar terkena penyakit cacar. “Barudak mah percaya we didongengan kitu ku kolot teh. Ngan riweuhna, nu percaya teh lain budak wae. Loba kolot nu leuwih percayaeun ayana jurig kuris teh.”

Berbeda dengan zaman pandemi Covid-19 saat ini, di mana tinggal di rumah menjadi salah satu cara untuk menghindari virus Corona. Pada zaman penularan wabah cacar di Bandung banyak warga yang memilih tinggal di rumah dengan tujuan menghindari jurig kuris. Dampak ketakutan pada jurig kuris membuat orang tua memilih menyembunyikan anggota keluarga yang terkena cacar, tidak ingin diketahui tetangga, apalagi dokter atau mantri kuris (petugas kesehatan bidang cacar).

Dampak pandemi Covid-19 di Bandung terutama dirasakan pedagang kecil yang keliling di kawasan Jalan Braga, Bandung, 25 Januari 2021. Mereka tetap berjualan dengan protokol kesehatan masker. Di masa lalu, Bandung pernah diserang berbagai wabah, mulai malaria sampai cacar. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)
Dampak pandemi Covid-19 di Bandung terutama dirasakan pedagang kecil yang keliling di kawasan Jalan Braga, Bandung, 25 Januari 2021. Mereka tetap berjualan dengan protokol kesehatan masker. Di masa lalu, Bandung pernah diserang berbagai wabah, mulai malaria sampai cacar. (Foto: Iqbal Kusumadirezza)

Kemiskinan Bandung, Dulu dan Kini

Kemiskinan dan keterbelakangan warga Bandung era 50-an seperti yang diceritakan Us Tiarsa, tidaklah mengejutkan. Tahun tersebut Indonesia baru 5 tahun merdeka. Belum banyak tatanan kehidupan yang dibangun ajeg di Republik yang baru seumur jagung. Bekas dan dampak penjajahan Belanda, dan Jepang yang terkenal bengis, masih terasa.

Tahun 49, cerita Us Tiarsa, dirinya yang masih anak usia SD baru saja kembali dari pengungsian, mendapati rumahnya sudah disekat-sekat dan diisi orang lain yang rumahnya habis terbakar dalam peristiwa Bandung Lautan Api. Meski dalam suasana suram, dalam buku itu Us memilih gaya penulisan dari perspektif anak-anak, sehingga suasana pasca-perang, penderitaan, kemiskinan, mengalir dalam imajinasi anak-anak yang lugu dan jujur.

Us banyak menemukan sisa-sisa perang, mobil yang terbakar dan bolong-bolong bekas peluru, puing-puing pesawat berserakan di Kawasan Ciguriang. Us dan kawan-kawan sering bermain di atas rongsokan mobil dan pesawat. Malah di sana masih terdapat orang Belanda yang lancar bahasa Sunda.

Kini, Indonesia sudah lama merdeka. Bandung berubah jadi kota metropolitan yang selalu sibuk. Namun kemiskinan masih belum teratasi oleh pemerintah kota ini. Saat ini jumlah penduduk Kota Bandung jauh lebih banyak dibandingkan penduduk tahun 50-an yang diceritakan Us Tiarsa.

Berdasarkan data Bandung dalam Angka 2021, jumlah penduduk Bandung pada tahun 2020 sebanyak 2.444.160. Dari jumlah itu, penduduk yang bekerja sebanyak 1.167.849 orang. Dan penduduk yang membutuhkan kerja sebanyak 147.081 orang. Dengan kata lain, ada 147.081 penganggur di Bandung. Angka pengangguran ini jika tak dibikin solusinya akan berubah menjadi kemiskinan.

Data tersebut juga mencatat penduduk miskin Kota Bandung dalam dua tahun terakhir mengalami kenaikan. Pada 2019, sebanyak 84.670 warga Bandung masuk kategori di bawah garis kemiskinan, pendapatan mereka rata-rata per bulannya Rp 474.448. Tahun 2020, di saat pandemi Covid-19 melanda, jumlah warga miskin naik menjadi 100.020 jiwa atau 3,99 persen dari total penduduk Bandung.

Kembali ke cerita Us Tiarsa, di masa lalu kemiskinan menjadi potret sehari-hari warga Bandung. “Mun ngasruk ka pilemburan di jero Kota Bandung, babari pisan manggihan urang Bandung nu sangsara teh,” katanya.

Us banyak menemukan warga yang tinggal di kamar-kamar sewa sempit. Tahun 50-an, pemerintah sempat menganjurkan agar warga makan jagung dan gaplek. Tapi warga tetap memilih nasi karena tak biasa.

Sempat juga pemerintah membagian bantuan pangan penganti nasi yang didapat dari luar negeri, namanya bulgur. Bahan pangan ini jika diseduh air panas akan mengembang seperti bubur. Memang kenyang, tapi tetap saja lebih nyaman dengan nasi. Us curiga, di luar negeri bulgur adalah makanan ternak.

Potret kemiskinan yang diceritakan Us di masa lalu tak terasa mencolok karena mayoritas rakyat pasca-kolonial masa itu miskin. Memang ada kesenjangan. Misalnya, Us membandingkan orang-orang miskin yang tinggal di kamar sewa sempit dengan pegawai pemerintahan atau pedagang pasar yang kehidupan ekonominya lebih baik.

Warga miskin Kota Bandung sering makan nasi yang dicampur jagung, paling mewah rebusan kentang yang diaduk dengan garam. Beruntung Bandung tanahnya subur, aneka lalapan tumbuh melimpah. Sehingga warga cukup mudah mendapatkan protein nabati dari aneka lalapan.

Berbeda dengan masa kini, potret kemiskinan di Bandung diwarnai jurang kesenjangan yang mencolok mata. Kemiskinan “tersembunyi” di balik permukiman kumuh di tengah kota, di belakang gedung-gedung megah, di kampung-kampung kota yang terhubungkan gang-gang sempit, di pinggir-pinggir sungai yang kotor karena tercemar limbah industri dan rumah tangga. Sungai Cikapundung yang berair jernih dan menenangkan seperti dilukiskan Us Tiarsa, kini kotor dan kumuh. Sayuran atau lalapan pun harus dibeli karena lahan terbuka semakin sempit.

Us tak pernah menyangka antrean beras dan sembako yang pernah dialaminya di Bandung era 1950-an terulang kembali pada 1998 sampai awal tahun 2000 akibat krisis moneter. Pada momen reformasi 1998 di mana rezim Suharto tumbang, Us melihat banyak warga Bandung yang antre di acara operasi-operasi pasar. Harga sembako di pasaran melambung tinggi akibat inflasi. “Sugan teh moal aya deui urang Bandung ngarantay beas teh,” ujarnya.

Penulis kelahiran Bandung 1 April 1943 itu di masa kecilnya mengalami Bandung yang masih berkabut, kini anak-anak kota mungkin tak pernah mengetahui suasana halimunan. Kecuali debu polusi.

Informasi Buku

Judul: Basa Bandung Halimunan

Penulis: Us Tiarsa R

Penerbit: Cetakan Kedua, Kiblat Buku Utama 2011

Editor: Redaksi

COMMENTS

//