• Kolom
  • Percakapan (Terakhir) dengan Budi Brahmantyo

Percakapan (Terakhir) dengan Budi Brahmantyo

Budi Brahmantyo mewariskan banyak ilmu pengetahuan lewat tulisan dan gambar yang penting dan relevan untuk terus digali.

Tri Joko Her Riadi

Pemimpin Redaksi BandungBergerak.id

Budi Brahmantyo menyimpan keinginan untuk menerbitkan buku berisi sketsa-sketsa bentang alam Cekungan Bandung yang pernah ia buat. (Sumber foto: buku Budi Brahmantyo Geologiwan Sejati (2019))

28 April 2021


BandungBergerak.id - Saya masih mengingat percakapan itu dengan baik. Senin, 12 Februari 2018 siang. Di ruang kerjanya di lantai 4 Gedung Geologi Institut Teknologi Bandung (ITB), Pak Budi Brahmantyo merelakan dua jam waktunya.

Saya datang sebagai wartawan Pikiran Rakyat yang sedang mengerjakan proyek liputan investigasi bersama Tempo. Kasus yang kami telisik adalah dugaan pelanggaran alih fungsi lahan dalam proyek pembangunan sebuah kompleks hotel-hunian mewah di kawasan Cipaku yang jadi bagian Kawasan Bandung Utara (KBU).

Pak Budi saya temui untuk membagikan pendapat dan pengetahuannya tentang Cekungan Bandung. Ia, bersama T. Bachtiar, merupakan pakar untuk bahasan ini. Bukan hanya menguasai teori, tapi juga fasih menyebarkannya ke khalayak lewat karya dan tindakan. Kedua cendekiawan ini menulis dan berkomunitas.

Kalau biasanya wawancara dengan Pak Budi saya lakukan sendirian, entah bertemu langsung entah via percakapan telepon, kali ini saya ditemani dua orang kawan. Satu tukang foto, satunya tukang video.

Ternyata bukan hanya saya yang merasa agak ganjil dengan suasana baru ini. Pak Budi pun merasakannya. Lampu sorot yang dibutuhkan agar hasil perekaman video optimal membuatnya kurang nyaman. Mungkin ia merasa sinar terang itu semacam pindai yang menggerayangi seluruh isi kamar kecilnya.

“Maaf, saya tidak biasa diambil gambarnya seperti ini,” kata Pak Budi, sambil tertawa kecil, dalam kerendahan hati yang tidak dibuat-buat.

Padahal, hanya ada satu adegan yang harus diulang. Itu pun hanya sekali. Setelah itu, semua berjalan lancar.

Dari wawancara di bawah sorot lampu kamera yang begitu terangnya itu, saya menandai satu gagasan penting tentang Kawasan Bandung Utara (KBU) yang diucapkan Pak Budi. Jika sebelumnya orang selalu mengaitkan kawasan yang membentang dari timur ke barat di utara Kota Bandung itu dengan fungsinya sebagai resapan air atau paru-paru kawasan, Pak Budi menyodorkan isu tak kalah penting tentang ancaman banjir bandang.

Menurut Pak Budi, ancaman banjir bandang dari KBU tidak bisa disepelekan karena Kota Bandung, yang sekarang dihuni lebih dari 2,5 juta orang, tumbuh di dataran rendah. Sungai-sungai besar yang melintasinya bersumber dari kawasan hulu di atasnya. Jika alih fungsi lahan kian tak terkendali, volume air hujan tak akan tertampung oleh sungai sehingga meluap ke permukiman. Jalurnya yang miring akan membuat laju air lebih kencang sehingga memiliki daya rusak besar.

Sebulan setelah percakapan dengan Pak Budi itu, Selasa (20/3/2018), saya mendengarkan cerita warga di kawasan Cicaheum tentang bagaimana banjir bandang menerjang rumah dan toko milik mereka. Gelontoran air bercampur lumpur itu melumpuhkan aktivitas warga selama beberapa jam. Tidak ada korban jiwa dalam bencana ini, tapi ia jadi pengingat bahwa Bandung, persis seperti diucapkan Pak Budi, memang rentan dengan banjir bandang.

Salah satu gambar sketsa karya Budi Brahmantyo tentang kawasan karst Citatah (Sumber foto: buku Budi Brahmantyo Geologiwan Sejati (2019))
Salah satu gambar sketsa karya Budi Brahmantyo tentang kawasan karst Citatah (Sumber foto: buku Budi Brahmantyo Geologiwan Sejati (2019))

Dua Buku

Bagi saya dan Pak Budi, sesi pengambilan video itu semacam sesi resmi. Sesi acara ketika kita harus berjas dan berdasi. Setelah dua kawan saya pamit, kami bisa menarik nafas lega, lalu mengobrol panjang-lebar tentang beberapa hal.

Pak Budi menceritakan keterlibatannya dalam penyusunan buku panduan geowisata. Penulisan dan penerbitan buku ini dilakukan oleh Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) yang melihat terus membesarnya minat masyarakat pada wisata minat khusus tersebut.

Di sela obrolan, ia tidak lupa menyelipkan keprihatinan atas menjamurnya bisnis dan gaya wisata yang eksploitatif terhadap alam. Salah satunya lewat pemasangan bangunan penanda yang sering tidak selaras dengan bentang dan riwayat alamnya.  

Pak Budi juga membagikan keinginan untuk menerbitkan sketsa-sketsa tentang Cekungan Bandung yang ia buat dalam bentuk buku. Ini keinginan yang sudah muncul lama tapi tak kunjung kesampaian. Saya membayangkan betapa penting dan menariknya buku sketsa ini nanti.

Saya tidak tahu apakah kedua buku yang diceritakan Pak Budi dalam obrolan itu betul terbit. Saya belum pernah mendengar kabar tentang itu.

Yang saya dengar kemudian adalah sebuah kabar duka. Pada Sabtu (28/4/2018), tepat hari ini tiga tahun lalu, Pak Budi meninggal dalam kecelakaan lalu lintas di ruas tol Cileunyi.

Buku yang kemudian terbit, setahun kemudian, adalah kumpulan catatan para sahabat tentang sosok Pak Budi. Puluhan orang memberikan kesaksiannya dalam buku setebal 252 halaman yang dilengkapi beberapa sketsa hasil goresan tinta Pak Budi itu. Kesaksian tentang semua hal baik tentang sang cendekiawan publik itu.

T. Bachtiar, sesama pegiat Kelompok Riset Cekungan Bandung (KRCB) yang jadi penggagas komunitas geotrek, memuji kerelaan Pak Budi dalam membagikan ilmu. Ketika beberapa kolega memandang remeh penulisan populer dan keterlibatan dalam komunitas, ia justru secara sadar mencemplungkan diri di dalamnya.

“Budi Brahmantyo melakoni peran sebagai juru tafsir kebumian secara sukarela dalam arti yang sesungguhnya. Dilakukan dengan sukacita, penuh kegembiraan dalam menjalankan peran sebagai interpreter, menjadi penulis populer, dan rela dalam melakoninya,” tulis Pak Bachtiar.

Demikianlah Bandung, dan juga Indonesia, telah kehilangan sosok langka. Namun percakapan-percakapan baru dengan Pak Budi sesungguhnya bisa dilahirkan kapan saja. Ia mewariskan banyak ilmu pengetahuan lewat tulisan dan gambar. Baik yang sudah terpublikasikan maupun yang belum, semuanya penting dan relevan untuk terus dikaji.

Demikianlah saya menolak menganggap percakapan di kantornya di ITB tiga tahun lalu itu sebagai percakapan terakhir. Ada beberapa buku karyanya di rak yang sewaktu-waktu bisa saya baca.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//