• Cerita
  • Bandung Hari Ini: Pidato Tengah Malam Ruslan Abdulgani di Konferensi Wartawan Asia Afrika

Bandung Hari Ini: Pidato Tengah Malam Ruslan Abdulgani di Konferensi Wartawan Asia Afrika

Dalam pidato yang diucapkan tengah malam di Gedung Merdeka Bandung itu, Ruslan Abdulgani menyinggung pentingnya kemerdekaan ekonomi, selain kemerdekaan politik.

Ruslan Abdulgani berpidato di Konferensi Wartawan Asia Afrika yang diselenggarakan di Jakarta dan Bandung pada tahun 1963. (Sumber foto: buku Pidato-pidato Dr. H. Roeslan Abdugani Wampa Bidang Chusus/Menteri Penerangan Republik Indonesia pada Konferensi Wartawan Asia Afrika Tahun 1963)

Penulis Tri Joko Her Riadi30 April 2021


BandungBergerak.idPada 30 April 1963, tepat hari ini 58 tahun lalu, Ruslan Abdulgani berpidato menutup Konferensi Wartawan Asia Afrika di Gedung Merdeka Bandung. Ketika itu hari sudah larut, bahkan sudah lewat tengah malam.  Namun di atas mimbar, Roeslan tidak kehilangan semangat di hadapan jurnalis dari 48 negara.

Konferensi Wartawan Asia Afrika dimulai pada tanggal 23 April 1963 di Jakarta. Menjabat sebagai ketua perhelatan akbar ini adalah Hartini, istri Sukarno. Dari konferensi ini lahir Deklarasi Jakarta yang menegaskan komitmen para jurnalis dari dunia ketiga itu untuk mendedikasikan diri mereka dalam perjuangan melawan imperialisme dan kolonialisme.

Di awal pidatonya di Bandung itu, Ruslan Abdulgani yang ketika itu menjabat Wampa Bidang Khusus/Menteri Penerangan Republik Indonesia, mengajak para hadirin mengingat Konferensi Asia Afrika 1955 yang juga berlangsung di gedung yang sama, Gedung Merdeka. Ia menegaskan pentingnya konferensi monumental itu dalam menyulut “semangat yang menggugat kolonialisme/imperialisme”.

“Dan sekarang, ruangan ini dipenuhi lagi dengan wartawan-wartawan pejuang dari empat puluh delapan negara yang diresapi dengan semangat yang sama,” katanya, termuat dalam buku Pidato-pidato Dr. H. Roeslan Abdugani Wampa Bidang Chusus/Menteri Penerangan Republik Indonesia pada Konferensi Wartawan Asia Afrika Tahun 1963.

Ruslan kemudian menceritakan apa yang terjadi di Indonesia pascaproklamasi kemerdekaan 1945. Dalam industri pers, masih ditemui banyak sekali surat kabar, percetakan, dan kantor berita yang dikuasai oleh Belanda. Kondisi ini bahkan bertahan hingga Konferensi Asia Afrika yang digelar 10 tahun kemudian.

Ruslan membuat sebuah analogi menarik. Indonesia, yang baru memperoleh kemerdekaannya, ia ibaratkan sebagai seorang sopir baru, sementara Belanda menjadi penumpangnya. Namun, karena masih banyak aset perekonomian penting dikuasai oleh Belanda, termasuk industri persuratkabaran, si penumpang itu terus saja bertingkah.

“Mula-mula mereka mungkin hanya bermaksud sekadar memberi nasihat, tetapi suara lembut mereka segera menjelma menjadi teriakan, dan kedua tangan mereka merenggut leher sopir dari belakang sehingga sang sopir terpaksa melemparkan penumpang yang membandel itu,” ujar Ruslan.

Dalam pidato yang diucapkan tengah malam itu, Ruslan juga memberikan selamat kepada para jurnalis yang telah bersepakat membentuk Kantor Berita Asia Afrika. Kantor berita ini diniatkan sebagai tandingan kantor-kantor berita imperialis.

“Dengan mempergunakan peda sebagai senjata dan obor untuk menerangi jalan, maka masing-masing dari Saudara sebagai wartawan akan dapat memberikan sumbangan kepada perjuangan tanah air Saudara-saudara dan perjuangan kita bersama dalam membangun dunia kembali berdasarkan kemakmuran, persamaan dan keadilan sosial, bebas dari penindasan kolonial,” tutup Ruslan.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//