Bandung Hari Ini: 20 Tahun Tobucil, Toko Buku Kecil dengan Perjalanan Besar
Tobucil, akronim dari toko buku kecil, merupakan pelopor toko buku berbasis komunitas di Bandung. Dalam 20 tahun perjalanannya, ia memaknai ulang apa itu literasi.
Penulis Tri Joko Her Riadi2 Mei 2021
BandungBergerak.id - Pada 2 Mei 2001, tepat hari ini 20 tahun lalu, Tobucil memulai perjalanannya dari sebuah ruangan di gedung Trimatra, Jalan Dago, Bandung. Nama Tobucil berasal dari akronim toko buku kecil. Namun menilik riwayat dan jejaknya, tidak terbantahkan toko buku berbasis komunitas ini sejatinya sudah melakukan sebuah perjalanan besar.
Tobucil tumbuh dan berkembang melampaui batasan-batasan tradisional sebuah toko buku yang berhenti pada kegiatan jual-beli. Terlibat dalam denyut kehidupan komunal kota, ia mendefinisikan ulang pemaknaan atas gerakan literasi.
“Sejak awal kami memilih menjadi kecil. Tobucil diniatkan sebagai sebuah kerja yang tidak muluk-muluk. Kami berjalan selangkah demi selangkah, tapi konsisten,” kata Tarlen Handayani, salah satu pendiri Tobucil, dalam perbincangan lewat saluran telepon dengan BandungBergerak.id, Minggu (2/5/2021) pagi.
Tarlen sedang berada di sebuah daerah di pinggiran Yogyakarta. Sudah sejak tahun lalu dia meninggalkan Bandung dan mulai mendelegasikan pengelolaan Tobucil ke sang adik, Palupi Kinkin. Hari ini, ketika toko buku legendaris tersebut genap berusia 20 tahun, dia pamit.
“Tobucil bagiku adalah pelajaran dan berkah kehidupan yang luar biasa. Tobucil membuatku memahami arti dari ‘yang pergi akan selalu kembali dalam wujud yang berbeda’,” tulis Tarlen di akun instagramnya @vitalernology.
Bagi Tarlen Handayani, hari ini merupakan akhir kisahnya bersama Tobucil. Bagi toko buku kecil yang sekarang beralamat di Jalan Panaitan, Bandung tersebut, hari ini adalah awal perjalanan baru.
View this post on Instagram
Dari Komunitas ke Toko
Tobucil lahir dari rahim kegiatan literasi di Bandung yang meledak pascatumbangnya Orde Baru pada Mei 1998. Buku-buku yang sebelumnya tidak terbayangkan bisa terbit, makin mudah dijumpai. Anak-anak muda makin sering berkumpul untuk membaca dan mendiskusikan buku.
Kerlibatan Tarlen Handayani dalam dunia literasi Bandung dimulai ketika ia bergabung sebagai anggota lembaga nirlaba Satu Jejak yang terbentuk pada tahun 1999. Kafe Tungku, di kawasan Tubagus Ismail, jadi langganan tempat berkumpul. Selebihnya, mereka berpindah-pindah dari satu rumah anggota ke rumah anggota lain. Kegiatan literasi ala Satu Jejak ini bertahan hingga 1,5 tahun lamanya.
Dari Satu Jejak, Tarlen memulai petualangan berikutnya: berjualan buku. Pengalaman pertama diperoleh di gelaran Pasar Seni ITB pada tahun 2000. Tarlen, yang ketika itu masih berkuliah di Jurusan Jurnalistik Universitas Islam Bandung (Unisba), membuka lapak yang menjual buku-buku terbitan Bentang, Yogyakarta. Pasokan buku itu diperoleh Tarlen berkat perkenalannya dengan Buldanul Khuri, pemilik Penerbit Bentang.
Setahun berselang, bersama Rani Ambyo, Ketua Satu Jejak, dan Connie Chysania, Tarlen menjajaki peluang mendirikan toko buku. Modal awal dari ketiganya masing-masing Rp 500 ribu, digunakan untuk membeli batako dan papan untuk rak buku serta biaya angkut buku dari Jakarta ke Bandung.
Atas tawaran bantuan Andy Sutiono, seorang arsitek lulusan Unpar Bandung, Tarlen dan kedua kawannya memperoleh ruang berjualan gratis di gedung Trimatra Center, di Jalan Dago 139A. Pada 2 Mei 2001, berdirilah toko buku berjejaring yang dinamai Pasar Buku Bandung. Gedung bersejarah tersebut saat ini berubah menjadi Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) Pertamina.
Deni Rachman dalam bukunya Pohon Buku di Bandung: Sejarah Kecil Komunitas Buku di Bandung 2000-2009 (2018), memberikan gambaran seperti apa lokasi pertama Tobucil itu: “Ada halaman yang cukup luas ditumbuhi rerumputan di antara ubin batu, musala, dan lalu masuk ke sebuah ruangan sekira 12 meter persegi… Di tengah dan sepanjang dinding ruangan dipenuhi batako yang disusun rapi lalu diselang papan memanjang sebagai rak buku alternatif.”
Jatuh Bangun
Guncangan pertama bagi Tobucil, pelopor toko buku berbasis komunitas di Bandung, datang tidak lama berselang. Tahun 2002-2003 menjadi titik nadir perjalanannya. Kerja sama dengan penerbit-penerbit berantakan. Kerugian kas mencapai puluhan juta Rupiah. Ditambah lagi, waktu sewa gedung Trimatra Center, yang jadi tempat toko buku bernaung, tidak diperpanjang.
“Aku sempat jatuh sakit selama lima hari. Betul-betul tidak bisa bangun,” kata Tarlen.
Pada tahun-tahun yang berat itu juga, dua perintis Tobucil, yang waktu itu masih dinamai Pasar Buku Bandung, mengundurkan diri. Tarlen tinggal sendirian. Beruntung, uluran tangan sahabat di komunitas-komunitas di Bandung tidak lantas mandek. Dia mendapatkan tawaran memindahkan toko buku ke sebuah ruang kecil di Jalan Kyai Gede Utama.
Krisis selalu menghasilkan peluang baru. Di Jalan Kyai Gede Utama ini jugalah, pada 2003, nama Tobucil & Klabs , selanjutnya disebut Tobucil, pertama kali diperkenalkan.
Berbarengan dengan itu, Tarlen mulai membawa Tobucil berani menyeberang ke dunia petualangan baru. Tidak hanya kegiatan-kegiatan terkait buku, toko ini juga mulai merambah hobi hasta karya atau kerajinan tangan (craft). Mulanya origami, lalu menjalar ke mana-mana.
Kiblat baru Tobucil dalam menopang denyut literasi warga kota ini makin leluasa dipraktikkan ketika ia pindah lokasi untuk kali ketiga ke Jalan Aceh 56, tidak jauh dari Saparua. Ruang terbuka yang luas memungkinkan banyak kegiatan digelar.
Perjalanan Tobucil makin jelas setelah Tarlen pulang dari empat bulan beasiswa belajar di Amerika Serikat pada 2008. Dia mengenalkan istilah baru yang kemudian menjadi mantra Tobucil hingga hari ini: craftivism, gabungan dari kata craft (hasta karya) dan activism (aktivisme).
“Literasi bukan hanya tentang keterampilan membaca dan menulis, tapi tentang pemahaman hidup keseharian dan bagaimana setiap individu bisa mengembangkan dirinya sendiri,” tulis Tarlen dalam Craftivism, buku kumpulan kesaksian para pegiat hasta karya dari berbagai belahan dunia yang diterbitkan di Kanada.
Di Jalan Aceh itu, Tobucil bertahan selama 10 tahun sebelum pindah ke Jalan Panaitan per tahun 2017 sampai hari ini.
Jejak-jejak Penting
Sepanjang 20 tahun perjalanannya, Tobucil sudah meninggalkan banyak sekali jejak penting. Ketika masih bermarkas di Trimatra Center, Jalan Dago, toko ini sanggup menggelar acara yang dihadiri tokoh-tokoh seni budaya kaliber nasional, mulai dari Sutardji Calzoum Bahri (penyair), Harry Aveling (penerjemah), Ayu Utami (wartawan dan novelis), Dorothea Rosa Herliany (penyair), Sujiwo Tedjo (seniman), Mira Lesmana (sineas), Aminuddin TH Siregar (seniman), hingga Nirwan Dewanto (sastrawan). Tobucil menjadi magnet bagi para anak muda peminat sastra dan budaya.
Ketika masih bermarkas di Jalan Dago ini jugalah, Tobucil menjadi lokasi pertemuan-pertemuan yang membidani kelahiran Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Bandung. Pendopo toko ini bahkan menjadi lokasi pendeklarasian organisasi profesi oleh para wartawan muda Bandung pada 18 Agustus 2002.
Pindah ke Jalan Kyai Ageng Gede tidak membuat Tobucil kehilangan daya pikat sebagai magnet kegiatan literasi. Tumbuhnya toko ini setelah mengalami guncangan hebat dibarengi dengan kelahiran komunitas yang dinamai Klab Baca Pramoedya. Selain menerbitkan zine KompalKampil, kelompok literasi ini juga menyelenggarakan Lomba Baca Cerpen Pramoedya tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) pada September 2003.
Pada 2006, Tobucil bersama Common Room dan Agen Literasi Dipan Senja menggulirkan proyek pembuatan Peta Buku Bandung yang dinamai Urban Carthography. Peta yang memuat informasi tentang 33 kantong perbukuan di Bandung itu kemudian disebar ke distro dan kampus.
Tobucil, bersama Omuunium dan Rumah Buku, juga pernah berkongsi menggelar ajang buku bernama Books Day Out. Pada Oktober 2009, kegiatan tersebut diselenggarakan di Gedung Indonesia Menggugat (GIM), Jalan Perintis Kemerdekaan.
Di markas ketiga di Jalan Aceh, tidak terhitung banyaknya kegiatan berbasis komunitas yang telah diselenggarakan oleh Tobucil. Selain merajut, toko ini juga menggelar banyak sekali kursus atau pelatihan hobi. Mulai dari fotografi, penulisan, hingga bicara di depan publik.
Namun lebih dari deretan kegiatan, jejak-jejak terpenting yang ditinggalkan oleh Tobucil sebenarnya ada di dalam sekian ribu orang yang pernah bersinggungan dengan toko buku unik ini. Mereka mengambil berbagai macam manfaat dari kegiatan-kegiatan yang pernah diselenggarakan, dan menjadikannya relevan dengan hidup keseharian masing-masing.
Persis inilah, sebagaimana diyakini Tarlen Handayani, makna sesungguhnya dari kerja literasi.
Migrasi ke Daring
Sejak pindah ke Jalan Panaitan, volume kegiatan luar ruangan (luring) di Tobucil menciut. Cengkeraman pandemi Covid-19 sejak Maret 2020 menambah semua jadi pelik bagi toko yang mengandalkan kegiatan-kegiatan komunitas berupa pertemuan dan persinggungan langsung.
Tarlen Handayani merasa waktunya bersama Tobucil sudah sampai ke titik akhir. Dia akan mencurahkan waktu dan tenaga ke perjalanan barunya di Yogyakarta yang masih di lingkaran craftivism.
“Tobucil akan terus ada, tapi cara pengelolaannya akan berbeda. Bisa jadi nanti Tobucil akan sepenuhnya migrasi ke daring,” tutur Tarlen.
Sewa bangunan di Jalan Panaitan bakal habis pada Mei 2023. Artinya, ada dua tahun masa persiapan bagi Tobucil untuk betul-betul bermigrasi ke dunia daring.
Jika betul demikian yang akan terjadi, itulah kepindahan keempat markas si toko buku kecil dalam 20 tahun perjalanannya yang besar.