• Literasi
  • Mesin Waktu Bernama Kartu Pos Bandung

Mesin Waktu Bernama Kartu Pos Bandung

Sejak pertama kali tinggal di Bandung pada tahun 1954, Sudarsono Katam menyaksikan banyak perubahan yang dialami Kota Bandung. 

Bedah buku Oud Bandoeng: Dalam Kartu Pos karya Sudarsono Katam, di sela pameran buku Ramadhan Post Book 2021, Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Bandung, Sabtu (2/5/2021). (Foto: Tim Pos Properti)

Penulis Iman Herdiana2 Mei 2021


BandungBergerak.idSekumpulan kartu pos kuno yang tersusun rapi di buku “Oud Bandoeng: Dalam Kartu Pos” karya Sudarsono Katam, ibarat mesin waktu yang mengajak pembaca menjelajah ke masa lalu, ke Bandung tempo dulu. Pembaca yang hidup di zaman sekarang tak akan mengira bahwa Bandung dulu begitu asri, lapang, dan nyaman sebagai tempat tinggal. Sedangkan Bandung kini terasa padat, macet, dan sumpek.

Pengalaman itu dirasakan Iin Irawati dari Komunitas Postcrossing Indonesia, yang menjadi salah satu narasumber bedah buku “Oud Bandoeng: Dalam Kartu Pos” karya Sudarsono Katam, di sela pameran buku Ramadhan Post Book 2021, Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Bandung, Sabtu (2/5/2021).

Iin lahir tahun 70-an ketika Kota Bandung mulai berubah dan modern. “Buku Pak Katam ini luar biasa, seperti mesin waktu membawa ke dunia yang belum pernah kita lihat. Alhamdulillah dengan buku Pak Katam ini bisa melihat ke masa lalu,” ucap Iin Irawati.

Sebagaimana judul bukunya, Oud Bandoeng mengulas sejarah kartu pos Hindia Belanda. Sudarsono Katam menyebut Hindia Belanda mulai menerbitkan kartu pos pada tahun 1874.

Iin bersama komunitasnya aktif mengoleksi kartu-kartu pos modern. Maka melihat kartu-kartu pos lawas, apalagi masa kolonial Belanda, ia takjub. Misalnya, Hotel Savoy Homann di Jalan Asia Afrika, dulunya hanya bangunan dengan dinding dan tiang dari bambu.

Buku Oud Bandung menampilkan perubahan bangunan Savoy Homann dari tahun 1915 yang masih berupa rumah biasa, kemudian tahun 1920-an ditinggali keluarga A Homann yang atapnya dari rumbia dan dinding gedek bambu. Sedikitnya ada 10 kartu pos Hotel Homann dari tahun 1915 sampai 1930. Setiap tahunnya terjadi perubahan, seiring berubahnya Kota Bandung.

“Buku ini seperti melihat pameran dengan panel yang bisa dibawa-bawa, bisa dibaca saat naik kereta,” kata Iin, yang kerja di kawasan Rancaekek dan sering pulang pergi ke Kota Bandung menggunakan kereta api.

Hotal Savoy Homann hanya satu dari sekian banyak potret Bandung yang menjadi kartu pos di zaman baheula. Setiap objek kartu pos yang ditampilkan Oud Bandung dilengkapi objek serupa dengan masa berbeda, sehingga pembaca bisa membandingkan proses perubahannya dari waktu ke waktu.

Sudarmawan Juwono, pegiat Literasi Konservasi Aset Cagar Budaya Pos yang juga menjadi narasumber bedah buku Oud Bandung, mengaku banyak terinspirasi buku-buku tentang sejarah Bandung yang ditulis Sudarsono Katam.

Selain buku Oud Bandung, buku tentang pos lainnya yang ditulis Sudarsono Katam berjudul “Bandung Kilas Peristiwa di Mata Filatelis: Sebuah Peristiwa Sejarah” (Kiblat Buku Utama, 2006). Sudarmawan juga menulis buku “Selayang Pandang Arsitektur Kantor Pos Tempo Doeloe”. Sebelum menulis bukunya, ia membaca buku-buku referensi yang ditulis Sudarsono Katam.

Menurutnya, buku Oud Bandung banyak memuat gambar-gambar di masa lalu yang kaya akan interpretasi dan inspirasi. “Bagi saya wajib membaca buku Pak Katam. Beliau banyak menulis tentang sejarah Bandung, bukan orang Kantor Pos tapi mencintai pos. Buku-buku Pak Katam membuat Bandung sebagai kota dengan dokumentasi paling lengkap. Ini menarik dari perspektif filatelis,” kata Sudarmawan.

Bincang buku tersebut dihadiri langsung penulisnya, Sudarsono Katam yang sudah sepuh, menginjak 76 tahun. Rambutnya yang panjang sudah memutih semua. Tapi ia masih bersemangat mengikuti diskusi yang dimulai pukul 14.00 sampai menjelang buka puasa. Setelah diskusi, Pak Katam, demikian ia biasa disapa, membubuhkan tanda tangan pada bukunya yang dibeli oleh peserta diskusi.

“Buku itu dibuat tentang sejarah kartu pos, awalnya. Dimulai dari tahun 1860-an bahwa surat itu bisa dituliskan di dalam secarik kertas. Awalnya hanya tulisan tidak boleh gambar. Kalaupun gambar itu tarifnya berbeda, dan itu tarif surat meskipun bentuknya kartu,” cerita Pak Katam, mengulas latar belakang penulisan buku Oud Bandung, usai diskusi.

Selain banyak menyajikan gambar tentang Bandung, Oud Bandung mengulas awal mula diizinkannya kartu pos sebagai benda pos dalam sejarah perposan dunia. Kartu pos kemudian ikut diproduksi perusahaan pos zaman Hindia Belanda.

Diskusi buku ini dipandu moderator Teni Rohaeni moderator. Teni mengatakan, diskusi ini merupakan seri terakhir Ramadhan Post Book 2021, sebuah pameran buku yang berlangsung sejak April sampai 3 Mei 2021. Pameran ini sekaligus acara buku pertama sejak setahun pandemi Covid-19. Pameran terselenggara berkat kerja sama PT Pos Properti Indonesia, Point Lab, dan Kubu Buku. 

Bedah buku Oud Bandoeng: Dalam Kartu Pos karya Sudarsono Katam, di sela pameran buku Ramadhan Post Book 2021, Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Bandung, Sabtu (2/5/2021). (Foto: Tim Pos Properti)
Bedah buku Oud Bandoeng: Dalam Kartu Pos karya Sudarsono Katam, di sela pameran buku Ramadhan Post Book 2021, Gedung Graha Pos, Jalan Banda, Bandung, Sabtu (2/5/2021). (Foto: Tim Pos Properti)

Pak Katam dan 19 Buku

Tidak banyak saksi Bandung tempo dulu yang rajin menulis kesaksiannya seperti yang dilakukan Sudarsono Katam. Hingga kini, ia sudah menulis 19 buku dengan rincian: 17 buku tentang sejarah Bandung, satu buku tentang sejarah Garut, dan satu lagi tentang sejarah perkeretaapian. Buku terbarunya tentang sejarah kolam renang di Bandung.

Buku Oud Bandung sendiri terbit Desember 2009. Buku 316 halaman ini sebenarnya selesai disusun tahun 2006. Padahal lama penulisan hanya memakan waktu kurang dari setengah tahun.

“Saya kalau nulis tidak lama,” ucap Sudarsono Katam. Sebagai pecinta Bandung, ia banyak mengoleksi buku-buku sejarah khsusnya Bandung. Jadi begitu ada ide penulisan, ia tinggal memakai bahan dan data yang sudah siap.

“Buku Oud Bandung paling 3-6 bulan, yang lama itu menunggu penerbit. Ini diterbitkan 2009, selesainya 2006. Butuh 3 tahun menunggu penerbit. Itu sudah khas di Indonesia,” ungkapnya.

Meski banyak menulis tentang sejarah Bandung, Sudarsono Katam bukan lulusan ilmu sejarah. Pria kelahiran 10 Agustus 1945 di Kotabumi (Lampung Utara) ini lama tinggal di Bandung, sejak kecil. Baginya, Bandung sudah menjadi kota kelahiran.

Ia kuliah di ITB jurusan Teknik Pertambangan Umum dan lulus tahun 1974, kemudian pernah bekerja sebagai sebagai peneliti di Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri – Badan Tenaga Nuklir Nasional.

Latar pendidikan maupun pekerjaan tak menghalangi kecintaannya pada penulisan sejarah Bandung. Malah ia mengaku tidak menulis buku yang berhubungan dengan pertambangan maupun nuklir. “Saya hanya spesialis Bandung,” tandasnya.

Sejak pertama kali tinggal di Bandung pada tahun 1954, ia menyaksikan banyak perubahan yang dialami kota ini. Ia mengalami Bandung masih sejuk, nyaman ditinggali, kemudian berubah menjadi kota yang penuh hiruk-pikuk, panas, dan macet seperti sekarang.

“Dulu Bandung masih lengang. Dan memang tujuannya untuk kota pensiunan oleh Belanda, untuk kota peristirahatan. Bukan kota dagang atau industri,” katanya.

Menurutnya, suatu kota memang harus berkembang dan akan menghadapi perubahan. Hal ini menjadi keniscayaan. Ia menulis masa lalu Kota Bandung karena terdorong rasa cintanya terhadap kota ini. Tujuannya tidak lain untuk memberi informasi kepada masyarakat.

“Masyarakat sekarang kan melihat Bandung itu sudah berubah, gedung-gedung gede. Mereka tidak tahu dulu itu kayak apa, betapa nyamannya zaman dulu. (Saya menuli) hanya untuk membangkitkan, memberikan pengetahuan kepada mereka, bahwa apa yang dilihat sekarang ini, yang tidak nyaman sekarang ini, dulu itu masih nyaman.”

Meski demikian, ia berharap ada perhatian pemerintah kota terhadap bangunan-bangunan bersejarah di Bandung, misalnya pada heritage atau cagar budaya. Perhatian pun harus menyeluruh, sekaligus menyentuh pemilik heritagenya. Yang terjadi saat ini, pelestarian heritage cenderung lebih fokus pada nilai heritagenya saja, tanpa memperhatikan pada kepentingan pemilik heritage.

Banyak orang yang memiliki heritage di Bandung yang kini usianya sudah tua. Mereka harus bertahan mempertahankan heritagenya, merawatnya, dan melakukan rehab pada bangunan yang rusak. Semua itu membutuhkan modal yang tidak sedikit. Di sisi lain, mereka juga menghadapi kebutuhan hidup.

“Ini yang harus dipikirkan pemerintah. Belum ketemu solusinya. Pemerintah hanya lihat di satu sisi, hanya mempertahankan heritage kota tapi tidak melihat dampak penetapan tersebut terhadap penghuni atau pemiliknya,” katanya.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//