Lebaran di Bandung Dulu dan Kini (1): Berebut Cium Tangan untuk Ngalap Berkah
Kalau dulu warga berebut mencium tangan para pemimpinnya untuk mendapatkan berkah, sekarang mereka dilarang mendekat agar tetap sehat.
Penulis Tri Joko Her Riadi13 Mei 2021
BandungBergerak - Pagi-pagi sekali di hari lebaran, warga berbondong-bondong datang ke Alun-alun Bandung untuk menunaikan salat Idulfitri. Selain sebagai kepatuhan pada ajaran agama, inilah kesempatan bagi mereka untuk melihat dan bertemu dengan para pemimpin lokal.
Haryoto Kunto dalam buku Ramadhan di Priangan (1996) menceritakan, ada tradisi baru dalam perayaan lebaran di Dayeuh Bandung sejak kepulangan R. H. A. A. Wiranatakusumah V menjalankan ibadah haji di Tanah Suci pada tahun 1924. Para menak Bandung, disertai alim ulama Kaum, berjalan kaki dari Pendopo Kabupaten ke Masjid Agung Bandung. Mereka menggunakan jubah, gamis, dan sorban yang disebut Haryoto “seperti cerita 1001 malam”.
Selain Dalem Bandung Wiranatakusumah V, turut serta dalam prosesi arak-arakan itu Raden Patih, Raden Rangga, Raden Kanduruan, Ki Mas Rangga, Ki Mas Camat, Ki Mas Patinggi, Pangarang, Kabayan, Panglaku, Lurah atau Kokolot, Mandor, serta Priyayi. Dari kalangan Kaum, ada Panghulu, Ketib, Modin, serta Amil atau ulama desa.
“Bubar salat Id, warga kota, rahayat biasa, berebut untuk mencium tangan Dalem Kaum dan Panghulu. Ngalap berkah konon katanya!” tulis Haryoto.
Hindari Jabat Tangan
Lain dulu, lain sekarang. Dalam perayaan lebaran di masa pagebluk Covid-19 ini, tradisi cium tangan tergolong tindakan berisiko penularan virus. Justru dengan menjaga jarak, termasuk tidak melakukan cium tangan atau jabat tangan, warga mendapatkan berkah keselamatan.
Di Bandung, pelaksanaan salat Idulfitri diperbolehkan. Namun, kegiatan ini diimbau agar tidak memicu kerumunan yang berlebihan. Salah satu langkah yang diterapkan pemerintah adalah dengan memperbanyak titik pelaksanaan salat.
Ada sekitar 4 ribu masjid di seluruh Kota Bandung. Di tahun-tahun normal, salat Id dilaksanakan di titik yang menjadi gabungan umat dari beberapa masjid. Sekarang justru sebaliknya yang terjadi. Masjid-masjid kecil diimbau untuk menggelar salat Idulfitri sehingga aka nada sekitar 9 ribu titik kegiatan.
Pemerintah Kota Bandung juga menerbitkan surat edaran berisi panduan pelaksanaan salat Idulfitri. Boleh dilaksanakan di zona hijau dan zona kuning Covid-19, salat harus dilakukan dengan menerapkan protokol kesehatan secara ketat, mulai dari kapasitas maksimal 50 persen, pengecekan suhu badan peserta, pemakaian masker, hingga penerapan aturan jaga jarak. Ada juga poin khusus yang mengatur kontak fisik di antara para peserta salat.
“Seusai pelaksanaan salat Idulfitri, jemaah kembali ke rumah dengan tertib dan menghindari berjabat tangan dengan bersentuhan secara fisik,” begitu bunyinya.
Begitulah suasana salat Id di tengah pagebluk. Kalau dulu warga berebut mencium tangan para pemimpinnya untuk mendapatkan berkah, sekarang mereka dilarang mendekat agar tetap sehat.