• Kampus
  • Mengantisipasi Fase Kecewa dan Lelah saat Pandemi Covid-19 Tak Kunjung Berlalu

Mengantisipasi Fase Kecewa dan Lelah saat Pandemi Covid-19 Tak Kunjung Berlalu

Penyelesaian fase kekecewaan ini membutuhkan pendekatan di tingkat makro melalui penetapan kebijakan pemerintah.

Kendaraan pemudik maupun terjebak macet dampak dari aktivitas di pos penyekatan larangan mudik lebaran di Cibiru, Bandung, Jawa Barat, 7 Mei 2021. Larangan mudik diberlakukan untuk menekan laju infeksi Covid-19. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana20 Mei 2021


BandungBergerak.idDalam beberapa waktu terakhir, media sosial sering dihebohkan video perilaku marah-marah masyarakat. Yang terbaru adalah kemarahan pemudik pada petugas kepolisian yang melakukan razia saat pelarangan mudik. Dalam psikologi bencana, perilaku marah-marah tersebut merupakan fase kecewa dan lelah di masa pandemi Covid-19.

Diana Setiyawati, dosen sekaligus peneliti Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM, menyebutkan masyarakat sangat sensitif saat berada di fase kekecewaan ini. Kelelahan akibat pandemi menjadikan manusia menjadi tidak rasional.

Ditambah adanya pembatasan mobilitas termasuk larangan mudik dan penyekatan di setiap perbatasan wilayah menjadikan ruang gerak manusia sebagai makhluk sosial untuk terhubung secara langsung semakin terbatas.

Menurutnya, di tengah sejumlah pembatasan akibat Covid-19, sebagian orang memang masih ada yang bisa beradaptasi dengan melakukan komunikasi secara digital. Tetapi banyak juga yang tidak bisa beradaptasi. Misalnya orang tua atau entitas di kampung halaman.

“Sudah 2 kali lebaran tidak bisa mudik, sementara perasaan ingin bertemu keluarga dengan mudik sangat kuat. Kondisi ini bisa dipahami jika menjadikan masyarakat mudah marah karena ini menyakitkan bagi mereka. Psikologis masyarakat sudah lelah terhadap pandemi dan hasrat untuk terhubung menjadi sangat besar,” papar Diana, dikutip dari laman resmi UGM, Kamis (20/5/2021).

Terdapat beberapa fase dalam respons psikologi bencana. Pertama, predisaster yaitu situasi normal belum terjadi bencana. Lalu, impact/inventory yakni saat bencana terjadi mosi yang muncul adalah kebingungan, ketakutan, kehilangan, kemudian merasa bertanggung jawab untuk melakukan sesuatu yang lebih.

Berikutnya, fase heroik di mana orang rasa terpanggil melakukan aksi heroik untuk membantu dan menyelamatkan orang lain. Selanjutnya fase honeymoon, biasanya terjadi sekitar 3 bulan awal bencana dengan harapan tinggi untuk segera pulih dari bencana. “Lalu, fase disillusionment, setelah bencana berlangsung beberapa saat orang merasakan kekecewaan karena pandemi yang tidak selesai-selesai dan merasa kecewa akan kondisi yang ada,” terangnya.

Fase disillusionment atau kekecewaan ini akan mudah mengalami naik turun. Kondisi ini bisa terjadi jika ada situasi pemicu, salah satunya seperti larangan tidak boleh mudik. Terakhir adalah fase terakhir adalah rekonstruksi. Ia pun berharap masyarakat Indonesia bisa segera memasuki fase ini dengan situasi pandemi yang terkendali.

Diana mengungkapkan mengatasi kekecewaan masyarakat akibat pandemi bukan hal yang mudah. Penyelesaian tidak cukup dilakukan pada level mikro dengan melakukan manajemen emosi melalui peningkatan spiritualitas dan literasi terkait kondisi pandemi ke masyarakat. Penyelesaian fase kekecewaan ini juga membutuhkan pendekatan di tingkat makro melalui penetapan kebijakan pemerintah.

“Marah karena secara ekonomi kesulitan, tapi tidak mudah bagi Indonesia yang merupakan negara besar memenuhi kebutuhan masyarakat. Ini memang sulit, pada akhirnya kembali ke keluarga dan individu dan semangat yang harus dikedepankan saat ini adalah gotong royong untuk saling meringankan beban,” jelasnya.

Baca Juga: Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Ujungberung Jadi Kecamatan dengan Kasus Tertinggi
Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Total Kematian Lebih dari 800 Orang
Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Cakupan Vaksinasi Covid-19 Masih Rendah
Pandemi Covid-19 Bandung Raya: Libur Lebaran, Data Belum Dimutakhirkan

Faktor Frustasi Pemudik

Pakar psikologi Universitas Padjadjaran (Unpad) Ahmad Gimmy Pratama menjelaskan, perilaku marah seseorang dilatarbelakangi aspek personal dan lingkungan. Di aspek personal, marah dipengaruhi sistem psikofisiologis. Mulai dari tingkat ketahanan fisik hingga kemampuan berpikir, mengelola emosi, serta kemampuan individu dalam membaca nilai-nilai yang ada di sekitar.

Pada aspek lingkungan, perilaku marah dipengaruhi kondisi lingkungan sekitar, cuaca, hingga reaksi lingkungan sosial maupun lingkungan fisiknya. Jika dikaitkan dengan peristiwa pemudik yang marah-marah saat ditegur polisi, Gimmy menjelaskan, hal tersebut diakibatkan oleh luapan emosi yang mengendap saat pemudik melakukan perjalanan.

Kondisi lalu lintas yang macet ditambah fisik yang lelah dan cuaca panas akan membuat emosi seseorang mengendap. Sehingga ketika menghadapi hambatan selanjutnya, emosi yang mengendap tersebut akan bisa meledak.

“(Pemudik) mengalami frustasi. Adanya kebijakan penghambat akhirnya frustasi menimbulkan agresi dan menimbulkan kondisi yang tidak menyenangkan,” papar Kepala Departemen Psikologi Klinis Fakultas Psikologi Unpad tersebut.

Meski demikian, marah juga dipengaruhi oleh kemampuan individu dalam mengendalikan dirinya. Karena itu, tidak semua orang akan langsung marah saat menemui kondisi serupa. Selama aspek rasionalnya masih ada, kemampuan orang dalam mengendalikan emosinya akan lebih baik.

Menurutnya, perilaku marah bisa dikelola dengan baik. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antispasi. Pandemi Covid-19 mendorong seseorang harus bisa menyiapkan sejumlah tindakan antisipatif. Salah satunya menerima adanya kebijakan pembatasan mobilitas.

Dengan mengenali situasi dan menyiapkan tindakan antisipasi, diharapkan emosi yang keluar akan jauh lebih layak. Jika emosi berlebihan telanjur keluar, seseorang perlu menyampaikan permintaan maaf. Namun, permintaan maaf tersebut perlu dibarengi dengan konsekuesi yang harus ditanggung. “Harus diperlihatkan bahwa tingkah laku tersebut adalah salah dan perlu menerima konsekuensinya,” kata Gimmy.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//