Catatan Represi di Kota Someah Hade ka Semah
Ikhtiar bersama dalam mewujudkan Kota Bandung yang unggul, nyaman, sejahtera dan agamis dengan karakter urang Sunda guyub harus dimulai dari pemerintah daerahnya.

Ibn Ghifarie
Pegiat kajian agama dan media di Institute for Religion and Future Analysis (IRFANI) Bandung.
28 Mei 2021
BandungBergerak.id - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung dinobatkan sebagai Kota Peduli Hak Asasi Manusia tahun 2018 dari Kementerian Hukum dan HAM Republik Indonesia pada acara peringatan Hari Hak Asasi Manusia Sedunia 2019 di Gedung Merdeka, Jalan Asia Afrika, Bandung, 10 Desember 2019.
Sebelumnya, Parijs Van Java mendeklarasikan diri sebagai Kota Ramah Hak Asasi Manusia pada 2 April 2015, yang ditindaklanjuti dengan mengeluarkan Piagam Deklarasi Hak Asasi Manusia. Piagam Deklarasi Hak Asasi Manusia ini sesuai dengan standar kota HAM dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan inisiasi dan dirancang oleh Paguyuban Hak Asasi Manusia (Paham) Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran (Unpad) dan Foundation for International Human Rights Reporting Standards (Fihrrst), 11 November 2015.
Bandung
Kota Bandung merupakan kota pertama di Indonesia yang mendeklarasikan diri sebagai Kota Ramah HAM. Di dunia, kota-kota yang pernah dijuluki sebagai kota HAM antara lain, Gwangju (Korea Selatan), Kopenhagen (Denmark), Barcelona (Spanyol), dan Rosario (Argentina) (Humas Kota Bandung, Tempo Jumat, 11 Desember 2015 17:06 WIB).
Dua hari setelah Bandung deklarasi sebagai Kota Peduli HAM, rumah warga RW 11 Tamansari digusur oleh polisi dan Satpol PP untuk dijadikan rumah deret. Penggusuran yang dinilai cacat hukum ini dilakukan saat gugatan terhadap status lahan masih berlangsung di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Bandung. Di sisi lain, Pemkot Bandung tak pernah bisa menunjukkan sertifikat kepemilikan lahan di kawasan yang dihuni 38 keluarga ini. Di mata Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung, penggusuran Tamansari berbanding terbalik dengan predikat Bandung Kota HAM.
Memang tak butuh waktu lama untuk menguji komitmen Kota Bandung dalam menjunjung tinggi prinsip-prinsip Kota HAM. Satu per satu muncul kasus perampasan hak-hak warga, seperti pelanggaran kebebasan berekspresi dan beribadah.
Pada 6 Desember 2016, terjadi aksi pembubaran ibadah KKR (Kebaktian Kebangunan Rohani) di Gedung Sabuga, Bandung, oleh sekelompok organisasi massa. Insiden ini memperpanjang daftar aksi serupa sebelumnya, mulai dari pembubaran diskusi Sekolah Marx di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, pembubaran pentas teater monolog Tan Makaka di IFI Bandung, penghentian kegiatan pantomim di depan Gedung Merdeka, dan pembubaran Komunitas Perpustakaan Jalanan.
Pada 7 Desember 2016, ratusan warga dan komunitas sipil yang tergabung dalam Forum Demokrasi Bandung menyampaikan pernyataan sikap atas kasus-kasus terkait HAM di Kota Bandung itu. Dalam catatan LBH Bandung, sepanjang tahun 2016 menunjukkan masus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi di Bandung menggenapi 65 kasus hukum (Tirto, 16 Desember 2019 dan Bandung Bergerak, 2 April 2021).
Baca Juga: Satu yang Bertahan dari Gusuran Rumah Deret Tamansari
Bandung Hari Ini: Setelah Deklarasi Kota HAM, lalu Apa?
Falsafah
Ingat, karakter urang Jawa Barat, terutama Bandung itu ramah, sopan, dan murah senyum kepada siapa saja, termasuk pada orang yang belum dikenalnya. Karena orang Sunda sangat menjunjung tinggi filosofi “soméah hadé ka sémah”.
Meskipun saat ini falsafah someah hade ka semah, perilaku saling menghormati di antara sesama manusia sebagai warisan budaya leluhur urang Sunda, dirasakan mulai memudar akibat dampak derasnya pengaruh budaya luar, perkembangan teknologi, dan informasi yang semakin modern.
Setia Hidayat menegaskan, someah hade ka semah merupakan tanda perilaku dalam bertata krama yang bisa dipelajari, dibiasakan, dan digunakan sehari-hari. Pada intinya makna someah adalah menempatkan orang lain sebagai subjek bukan objek.
Bagi Hidayat Suryalaga, budaya Sunda lebih menumbuhkan rasa simpati dan empati kepada sesama yang diawali dengan iktikad dan perilaku yang menyiratkan rasa silaturahmi, someah hade ka semah. (Pikiran Rakyat, 10 Agustus 2006).
Sastrawan Utuy T Sontani (1957) mengatakan: “Urang Sunda hirup pinuh ku toléransi, darehdeh soméah hadé ka sémah, pameunteu marahmay béngras, leuwih sering imut tibatan sesebred.
Salian kitu, teu pernah ngalakukeun tindakan sawenang-wenang, tega culika ka nu lian, tapi cukup ku seuri jeung nyengsurikeun, mun kadesek dipungkas ku nyeungseurikan katololan sorangan.”
Memang Ki Sunda lebih mementingkan eusi (isi) daripada cangkang (bungkus, kulit), toleransinya seringkali merosot menjadi sikap terlalu mengalah, dikalahkan, kalah. Sikapnya yang soméah hadé ka sémah (ramah terhadap tetamu) seringkali dianggap lemah oleh pihak lain, sehingga orang Sunda sering tersingkirkan hampir di mana-mana (jati kasilih ku junti). (Tjetje Hidajat Padmadinata, Tatang Sumarsono, 2006: 68).
Hal itu tak lepas dari karakter ramah pada tamu, air mukanya lebih banyak cerah daripada mesum, tidak bersikap aniaya pada sesama manusia, gemar bergurau, suka menertawakan ketololan sendiri kalau terdesak, dan mengisi hidupnya dengan menciptakan lelucon-lelucon. Sayangnya, menurut Ajip Rosidi, ada karakter yang perlu dihindari orang Sunda, yaitu masih adanya sikap berpegang teguh pada mitos-mitos yang tidak rasional dan tidak ada buktinya. (Ajip Rosidi, 2011:93, 96 dan Makalah Seminar Nasional Kearifan Lokal 2017).
Pemimpin
Ikhtiar bersama dalam mewujudkan Kota Bandung yang unggul, nyaman, sejahtera dan agamis dengan karakter urang Sunda guyub harus dimulai dari pemerintah yang bisa menjadi pelayan terbaik untuk warganya. Radea Juli A Hambali menegaskan keragaman (sosial, budaya, agama) merupakan fakta alamiah yang tak bisa ditampik. Keragaman ini mesti menjadi modal bagi pemimpin Kota Bandung dalam penataan suatu ruang-ruang publik di tengah warganya yang memiliki persepsi dan kesadaran yang majemuk.
Pemimpin harus memberikan contoh dalam kemajemukan, kehadiran yang-lain (yang berbeda) baik dalam nilai maupun ideologi (keyakinan) tidak dipersepsi sebagai bahaya laten yang mengancam keutuhan dan persatuan. Di tangan pemimpin yang berkualitas inilah kehadiran yang-lain (berbeda) menjadi media pembelajaran untuk memperkaya konsepsi diri yang pada kenyataannya selalu dalam proses menjadi.
Karenanya, manakala terjadi perbedaan pandangan dalam menyikapi kehadiran yang-lain (yang-berbeda), maka pemimpin di Kota Bandung diharapkan menjadi ujung tombak dalam membuka dialog dan komunikasi yang tulus dan bermartabat. Dengan demikian, penggunaan tindakan yang melanggar prinsip-prinsip dasar kemanusiaan akan diletakkan sebagai cara-cara yang tidak dibenarkan. (Kompas, 1/8/2008, 8/12/2016 dan 29/1/2017).
Sebagai kota yang memiliki ciri keanekaragaman secara sosial, Bandung menyimpan potensi konflik yang bersumber dari keberagaman identitas. Salah satu sumber konflik yang rentan muncul di tengah-tengah masyarakat yang beragam itu bersumber dari perbedaan agama, keyakinan.
Harus diakui, kemajemukan masyarakat merupakan keniscayaan dalam kehidupan umat manusia, sehingga secara teologis, akan kita dapatkan ajaran bahwa kebinekaan kultur itu merupakan sesuatu yang ditakdirkan Tuhan.
Bila keragaman (kebinekaan) tidak dikelola dengan baik, maka akan menjadi lahan subur konflik yang memicu ketegangan sosial-politik. Pasalnya, merawat, mengelola kemajemukan itu menjadi sangat penting untuk kelangsungan hidup guyub, rukun, ramah, gotong royong di Kota Bandung.
Hadirnya pemimpin (Wali Kota) berkualitas yang memiliki modal sosial (keragaman) dan indeks toleransi yang tinggi diharapkan mampu mewujudkan kehidupan bermasyarakat di Kota Bandung yang menjunjung tinggi sikap welas asih, toleran, damai, cinta kasih terhadap segala perbedaan agama, suku, etnis, golongan. Dengan demikian, usaha menegaskan kembali predikat sebagai kota ramah kebinekaan, soméah hadé ka sémah, memberikan pelayanan terbaik (khadimul ummah) menjadi cita-cita bersama umat beragama di Kota Bandung. Semoga.