• Literasi
  • Berkunjung ke TB Hendra, Taman Baca Tertua di Bandung

Berkunjung ke TB Hendra, Taman Baca Tertua di Bandung

Taman Baca Hendra menjadi saksi surutnya budaya baca di Bandung. Dulu pelanggan antre, kini sepi

Taman Baca Hendra, Jalan Sabang nomor 28 Kota Bandung. (Foto: Emi La Palau)

Penulis Emi La Palau23 Maret 2021


BandungBergerak.id - Sorot lampu neon warna kuning membawa suasana hangat, mengusir hawa dingin yang masuk dari celah-celah jendela. Hujan mengguyur untuk kesekian kalinya hari itu. Wangi buku-buku lama begitu pekat, ribuan buku tersusun rapih di rak-rak toko buku Hendra.

Toko buku di Jalan Sabang nomor 28 Kota Bandung itu telah berdiri sejak tahun 1967, dan merupakan yang pertama sekaligus tertua. Pendirinya adalah Juliana Huwae yang saat kini berusia 80 tahun.

Pendirian Taman Baca Hendra diawali dari kegelisahan Juliana sendiri dalam mengurus anaknya, Hendra. Kala itu Juliana berprofesi sebagai model dan bekerja di salah satu Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Juliana tidak mungkin meninggalkan Hendra di rumah sendirian. Di sisi lain, ia sulit membagi waktu dan pekerjaan mengurus anak. Maka ia mengambil keputusan besar, yaitu memilih keluar kerja demi fokus mengurus anak.

Wanita pecinta buku itu memilih mendirikan rumah baca. Nama buah hatinya, Hendra, dijadikan nama taman baca atau disingkat TB Hendra. Garasi rumahnya ia jadikan tempat pajangan buku-buku koleksinya.

Perlahan, tetangga mulai berdatangan untuk meminjam buku ke TB Hendra. Zaman itu memang tidak mudah menemukan taman baca. Sehingga hadirnya taman baca buatan Juliana disambut antusias warga.

Tahun 1970-an, TB Hendra semakin ramai, luas perpustakaan umum ini bertambah seiring meningkatnya jumlah koleksi buku. Rak-rak buku digeser untuk mengisi sebagian ruang depan rumah.

Hingga kini tercatat rumah baca milik Juliana memiliki anggota 7 hingga 8 ribu anggota. Pengunjungnya berasal dari berbagai kalangan, anak-anak SMP, SMA, mahasiswa dan lain-lain.

Tadinya pelanggan rumah baca ini hanya tetangga di seputaran Jalan Riau (Martadinata), Jalan Aceh, Jalan Sabang. Lama kelamaan taman baca ini semakin masyhur se-Kota Bandung.

Apalagi waktu itu belum ada handphone atau ponsel pintar. Para pembaca sampai membludak. Pelanggan antre.

Dan kini, TB Hendra berusaha bertahan di tengah gempuran informasi digital. Pengasuhan taman baca diturunkan dari generasi ke generasi. Dari Juliana, turun ke menantu, yaitu Atie Hendra, lalu turun lagi ke generasi ketiga, yakni Derian, anaknya Atie sekaligus cucu Juliana.

Tidak mudah mempertahankan taman baca secara turun temurun hingga tiga generasi. Sudah banyak taman baca yang gulung tikar karena tidak mampu menghadapi perubahan zaman.

Sejak munculnya ponsel pintar, wanita 56 tahun itu mengakui jumlah pelanggan terus menurun. Posisi buku sebagai sumber informasi kian terpojok. “Beda kondisianya, setelah ada HP terus ada e-book, terus ada game, terus ada game online pasti (pembaca) berkurang jauh,” kata Atie, di TB Hendra, Kamis (18/3/2021).

Walau begitu, TB Hendra tak bergeming menghadapi perkembangan teknologi yang meminggirkan buku. Tidak ada upaya khusus untuk mempromosikan agar taman baca ini bertahan. Atie yakin, masih ada pembaca loyal yang konsisten menikmati buku.

“Kita mengalir saja, beli buku, terus kita juga jarang iklan, tapi karena sudah lama sekali banyak yang tahu,” ungkapnya.

Kendati demikian, TB Hendra tidak menolak perubahan zaman. Taman baca ini berusaha menyesuaikan dengan kultur yang tumbuh di kotanya. Pengelola menambah beberapa bagian untuk meningkatkan kenyamanan pembaca, antara lain ada tempat khusus membaca. Bahkan Derian mendirikan kafe EncyKoffee yang diharapkan bikin betah pembaca.

“Kita mencoba bertahan dengan apa adanya, situasinya pasang surut. Apalagi situasi ekonominya seperti saat ini sedikit banyak ada pengaruh,” kata Atie.

Ia berharap pesatnya perkembangan zaman tak menyurutkan anak muda membaca buku. “Bukan melarang untuk memakai teknologi, tapi coba dengan baca fisik bukunya,” ajak Atie.

Taman Baca Hendra, Jalan Sabang nomor 28 Kota Bandung. (Foto: Emi La Palau)
Taman Baca Hendra, Jalan Sabang nomor 28 Kota Bandung. (Foto: Emi La Palau)

Jelajah Masa Lalu Bersama Pegawai Setia 

Tampak dari sela-sela jendela, ratusan buku tersusun rapih dengan beragam jenis judul. Lorong-lorong yang terbentuk dari tumpukkan buku, seolah mengajak kita memasuki ruang waktu masa lampau. Dihiasi beragam cerita dan penulis populer.

Ratusan jilid buku SH Mintardja dengan judul Api di Bukit Manoreh, koleksi lengkap hampir 398 seri dan paling nyaris kala itu. Judul lainnya Naga Sasra Sabuk Inten, cerita-cerita silat berlatar sejarah yang juga banyak diminati.

Novel-novel karya Agatha Cristie, Sandra Brown, Daniel Steel dapat ditemukan di rak buku. Ratusan komik Jepang, novel remaja, novel-novel terjemahan. Lalu beragam karya-karya penulis Indonesia yang juga dapat ditemukan. Tentu saja paket lengkat dari cerita Dragon Ball, Kung Fu Boy, Harry Potter tidak ketinggalan.

Koleksi buku TB Hendra tercatat lebih dari 70 ribu. Namun, yang tidak tercatat tentu lebih banyak. “Pernah ngobrol sama yang data dari awal katanya sampai 150 ribu buku, tapi yang resmi saja di komputer itu 70 ribu buku,” ungkap Iding Hidayat, pegawai TB Hendra.

Lelaki 70 tahun itu masih ceria dan kuat ketika ditanya mengenai koleksi taman baca tempatnya bekerja. Ia masih hafal pasti susunan dan jenis-jenis buku di rak-rak TB Hendra. Sudah 30 tahun lelaki paruh baya itu menjadi pegawai toko buku yang terbilang legendaris itu.

Iding bekerja di TB Hendra sejak 1991. Ia mengalami kepengurusan TB Hendra sejak generasi pertama. Kecintaannya terhadap buku membuat ia menjadi satu-satunya pegawai yang dipertahankan dan paling setia.

Ia merawat buku-buku itu layaknya mengurus anak. Ia tahu betul perkembangan pelanggan TB Hendra. Menurutnya, sampai 2011 pengunjung taman bac aitu masih ramai. Tetapi sekarang jumlah pengunjung turun drastis.

Ia mengaku nyaman kerja di TB Hendra. Bekerja di taman baca ini selain mendapat penghasilan juga memperoleh ilmu, bersilaturahmi dengan pelanggan yang datang dari pelbagai lapisan, golongan suku, dan lainnya. Ketika pulang ke rumah, Iding masih menyempatkan membaca buku. “Kalau ada teman saya juga meminjamkan buku,” katanya.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//