Kekeringan Ancam Jawa Barat

Bencana-bencana ini sebagian penyebabnya adalah ulah manusia itu sendiri. Ada juga bencana yang dipicu kebijakan alih fungsi lahan,

Awan tebal menggantung di langit Kota Bandung, 1 April 2021. Sebagian daerah di Jawa Barat masuk musim musim hujan. (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Penulis Iman Herdiana10 Juni 2021


BandungBergerak.idSebagian wilayah Jawa Barat (Jabar) saat ini masuk musim kemarau. Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya, kemarau akan memicu bencana kekeringan dan kebakaran. Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jabar Dani Ramdan mengatakan, sejauh ini sudah ada 7 daerah di Jabar yang masuk musim kemarau sejak Mei 2021, yaitu sebagian wilayah Kabupaten Cirebon, Indramayu, Subang, Karawang, dan wilayah Pantura lainnya.

Dani Ramdan memprediksi jumlah daerah yang masuk musim kemarau akan terus bertambah. Ia menjelaskan, di Jabar terdapat 36 zona musim. Saat ini setiap zona ada yang masuk musim kemarau, ada yang masih musim hujan, dan ada yang  masuk musim hujan lebih awal.

“Kita melihat, Cianjur, Sukabumi, dan Bogor, musim hujan lebih panjang. Sampai saat ini masih hujan," kata Dani, dikutip dari keterangan resmi, Kamis (10/6/2021).

Dari tahun ke tahun, dampak kekeringan di setiap daerah berbeda-beda. Untuk Kabupaten Bogor, Kabupaten Bandung, dan Kabupaten Bekasi, bencana yang muncul saat musim kemarau berkaitan dengan hidrometeorologi seperti kekurangan air bersih untuk minum.

Berbeda dengan Kabupaten Indramayu, Kabupaten Subang, dan Kabupaten Cirebon, di mana musim kemarau mengakibatkan kekeringan di lahan-lahan pertanian. Imbasnya, lahan pertanian di ketiga daerah tersebut seringkali mengalami puso.

"Itu berdasarkan catatan historis. Hampir dari tahun ke tahun seperti itu. Memang ada beberapa daerah lain yang mengalami kekeringan, tapi skalanya kecil. Misal hanya satu kampung, satu desa, atau beberapa desa," ucapnya.

Selain ketersediaan air bersih yang minim dan mengakibatkan puso, musim kemarau di Jabar dapat memicu kebakaran hutan dan lahan di tujuh daerah, yakni Kota Cirebon, Cimahi, Kabupaten Cirebon, Kuningan, Bandung Barat, Sumedang, dan Sukabumi.

Alih Fungsi Lahan Picu Bencana Hidrometeorologi

Bencana lain yang perlu selalu diwaspadai adalah bencana hidrometeorologi yang kerap melanda di sejumlah daerah di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir. Tidak hanya menimbulkan kerugian ekonomi, bencana hidrometeorologi juga telah menimbulkan banyak korban jiwa.

Guru Besar Fakultas Teknologi Industri Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad) Chay Asdak menjelaskan, bencana hidrometeorologi meliputi banjir, tanah longsor, erosi-sedimentasi, hingga kekurangan air.

Menurutnya, bencana-bencana ini sebagian penyebabnya adalah ulah manusia itu sendiri, selain ada kombinasi dari fenomena alam sehingga menciptakan kondisi antropogenik.

Bencana hidrometeorologi akibat ulah manusia meliputi, berkurangnya tegakan hutan, pemanfaatan lahan yang tidak pertimbangkan kaidah konservasi tanah dan air, serta akibat kebijakan publik yang memicu terjadinya alih fungsi lahan.

Mengutip siaran pers Unpad, Kamis (10//6/2021), Chay Asdak mengungap bencana hidrometeorologi dalam orasi ilmiah berjudul “Pengelolaan Daerah Aliran Sungai untuk Pengendalian Bencana Hidrogeologi”, di Grha Sanusi Hardjadinata Unpad, Jalan Dipati Ukur, Bandung, Kamis (10/6).

Ia menggarisbawahi masalah alih fungsi lahan yang melatarbelakangi bencana hidrometeorologi, seperti perubahan hutan menjadi area permukiman, perhotelan, pertambangan, hingga kebun sawit. Bencana hidrometeorologi juga terjadi karena hilangnya area retensi air akibat aktivitas pembangunan ekonomi.

Menurutnya, alih fungsi lahan akibat laju pertumbuhan penduduk dan pembangunan yang tinggi menjadi salah satu tantangan dalam melakukan pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS). Chay memaparkan, DAS merupakan satu kesatuan ekosistem dengan batas fisik punggung bukit atau gunung.

Wilayah ini mengandung unsur utama berupa sumber daya alam tanah, air, dan vegetasi, serta manusia sebagai pelaku pemanfaat sumber daya alam tersebut. Batas fisik ini penting karena memungkinkan untuk menelusuri keterkaitan hidrologis antara hulu dan hilir DAS.

“Alih fungsi lahan di hulu DAS, misalnya, tidak hanya memberikan dampak di lokasi terjadinya perubahan lanskap (on-site impact), tapi juga akan menimbulkan dampak di tengah dan hilir DAS dalam bentuk banjir, sedimentasi (sungai, reservoir), dan kekurangan air (off-site impacts),” ujar pria yang dikukuhkan sebagai Guru Besar bidang pengelolaan daerah aliran sungai.

Karena itu, pengelolaan DAS terpadu berperan penting dalam mengendalikan bencana hidrometeorologi di Indonesia. Chay menyarankan empat pendekatan terpadu guna mengendalikan bencana hidrometeorologi.

Pertama, pendekatan perencanaan tata guna lahan. Masyarakat perlu dijauhkan dari wilayah banjir alamiah. Pemerintah juga wajib memastikan agar wilayah tersebut bebas dari permukiman.

Kedua, pendekatan struktural, yaitu menjauhkan banjir dari orang. Pendekatan ini lebih bersifat teknsi, seperti penyiapan pengendali banjir, tanggul, dan polder.

Ketiga, lanjut Prof. Chay, pendekatan antisipatif. Sistem prakiraan terjadinya banjir, peringatan dini, hingga kesadaran warga terhadap banjir perlu ditingkatkan. Keempat, pendekatan emergensi, yakni penanganan optimal pascabanjir, penanganan penyintas, hingga penanganan trauma.

Editor: Redaksi

COMMENTS

//