• Berita
  • Kabar dari Relawan Uji Klinis Vaksin Sinovac Bandung

Kabar dari Relawan Uji Klinis Vaksin Sinovac Bandung

Sejak mengikuti vaksinasi 9 bulan lalu, pemuda 26 tahun asal Antapani, ini tinggal di lingkungan yang warganya banyak terpapar Covid-19. 

Petugas kesehatan berjibaku saat lakukan pendataan dan tes swab PCR bagi pasien yang miliki riwayat bergejala atau kontak erat dengan warga positif Covid-19 di Puskesmas Tamblong, Bandung, Jawa Barat, 14 Juni 2021. (Foto: Prima Mulia)

Penulis Iman Herdiana24 Juni 2021


BandungBergerak.id - Muhammad Satria Nugraha sampai saat ini masih taat menjalankan protokol kesehatan. Ia adalah salah seorang dari 1.620 relawan uji klinis tahap 3 vaksin Sinovac di Bandung, Agustus 2020 lalu. Menurutnya, protokol kesehatan dan vaksin masih harus dijalankan selama pagebluk belum terkendali. Terlebih saat ini Indonesia menghadapi varian delta, mutan virus corona jenis baru yang pertama kali diidentifikasi di India.

Uji klinis yang diikuti Muhammad lantas dinyatakan lolos dan bisa dipakai dengan izin darurat dari BPOM RI. Selanjutnya, vaksin buatan China ini dipakai secara massal di Indonesia untuk memerangi pagebluk yang masih berlangsung kini.

“Kalau prokes wajib dijalankan apalagi sekarang Indonesia lagi diserang Covid-19 varian India alias varian delta,” kata Muhammad, saat dihubungi BandungBergerak, Kamis (24/6/2021).

Sejak menjadi relawan uji klinis vaksinasi Covid-19 hampir setahun lalu, pemuda 26 tahun asal Antapani, ini mengaku sehat-sehat saja. Padahal di lingkungannya sudah banyak warga yang terpapar Covid-19. Jumlah kasus Covid-19 di Kecamatan Antapani memang kerap menempati papan atas statistik Covid-19 Kota Bandung. Sejak setahun terakhir, Antapani selalu masuk daftar 10 besar kecamatan dengan kasus positif aktif tertinggi.

Meski demikian, hingga kini Muhammad tidak tahu berapa kandungan antibodi di dalam tubuhnya. “Terakhir diambil darah untuk mengukur antibodi itu tanggal 15 Maret 2021. Tetapi untuk hasil antibodi itu nanti akan dikirim melalui ekspedisi,” terangnya.

Hingga kini, ekspedisi yang akan mengirim data antibodi belum kunjung tiba. Terakhir, ia mendapat kabar bahwa uji klinis sudah selesai, dan kemungkinan akan mendapatkan dosis ketiga September 2021. Itu pun masih menunggu hasil evaluasi peneliti.

Ia menyebut, pada awal pelaporan ke BPOM, tingkat efikasi (kemanjuran) vaksin Sinovac 65 persen. Kemudian pada laporan berikutnya, efikasi sempat mencapai 90 persen. “Kalau tingkat efikasinya itu di atas 90 persen tidak perlu penyuntikan dosis ketiga. Tetapi kalau tingkat efikasinya tetap 65 persen, bahkan turun drastis, itu harus dilakukan penyuntikan dosis ketiga,” terangnya.

Penelitian Vaksin Covid-19 

Mengutip laman resmi Unpad, Kamis (25/6/2021), Dosen Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran (Unpad), Yulia Sofiatin, yang juga anggota tim uji klinis vaksin Covid-19 Sinovac, mengungkapkan vaksin Covid-19 saat ini masih terus dalam penelitian, begitu juga mengenai kadar antibodi yang ada dalam tubuh setelah menerima vaksinasi.

Ia kemudian membandingkan antibodi yang muncul secara alamiah pada pasien Covid-19 yang sembuh. “Dua studi terakhir menunjukkan antibodi terhadap Covid-19 hanya bertahan 3-4 bulan pada orang yang sudah sembuh. Karena itu terjadi beberapa reinfeksi (orang yang sudah sembuh kemudian sakit lagi),” kata Yulia Sofiatin.

Menurutnya, vaksin dinyatakan aman jika tidak ada efek samping, atau efek sampingnya ringan; tidak ada kejadian ikutan pasca-imunisasi (KIPI), atau KIPI yang ringan seperti demam dan nyeri. Namun, sebenarnya tidak ada zat yang sama sekali aman. Bahkan air dan oksigen saja bisa menimbulkan bahaya pada keadaan tertentu.

Keamanan vaksin dapat dilihat pada laporan uji klinik fase 1 dan 2. Tanpa bukti hasil uji klinis fase 1 dan 2 yang baik, maka uji klinis fase 3 tidak dapat dilaksanakan.

Artinya, jika sebuah vaksin sedang atau akan menjalani uji klinis fase 3, seperti vaksin Sinovac di Bandung yang melibatkan lebih dari 1.600 relawan, dapat diduga bahwa vaksin tersebut terbukti aman.

Uji klinis menjawab berapa banyak orang yang mendapat vaksin akan terkena penyakit Covid-19 dibandingkan dengan orang yang mendapat plasebo (vaksin kosong). Jika mereka yang mendapat vaksin Covid-19 jauh lebih sedikit mengalami sakit dibandingkan dengan mereka yang mendapat vaksin kosong dan secara statistik perbedaannya signifikan, maka vaksin tersebut efektif dalam situasi penelitian. Efektivitas dalam masyarakat umum masih harus dibuktikan lebih lanjut.

Efikasi Vaksin

Vaksin terbaik diukur dari sudut keamanan, efek samping, pembentukan antibodi dan efikasinya. Efikasi adalah tingkat daya lindung vaksin pada kondisi uji klinis. Kondisi uji klinis sifatnya optimal dan terkendali, baik dari penyiapan vaksinnya, maupun dari faktor orang yang mendapat vaksinnya, yaitu orang yang sehat dan memenuhi berbagai kriteria yang ditentukan peneliti.

Efikasi didapat dari uji klinis fase 3, dengan menghitung risiko terjadinya penyakit pada kelompok orang yang mendapat vaksin dan yang tidak mendapat vaksin.

Jika dari 100 orang yang mendapat vaksin terdapat 5 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit dan pada 200 orang yang tidak divaksin terdapat 40 orang yang terbukti (terkonfirmasi) sakit, maka efikasi dapat dihitung: ((40/200)-(5/100))/(40/200)= 0,8 atau 80 persen.

Ini berarti kelompok yang mendapat vaksin mengalami sakit (terkonfirmasi) 80 persen lebih sedikit daripada yang tidak mendapat vaksin.

Arti Uji Klinis Tahap 3

Dalam uji klinis tahap tiga, peneliti memantau kadar antibodi yang terbentuk dan kejadian infeksi Covid-19 pada relawan uji vaksin. Dengan mengukur kadar antibodi pada bulan pertama setelah vaksinasi, akan terlihat berapa banyak antibodi yang terbentuk pada bulan pertama. Lalu akan dilihat lagi kadarnya pada bulan ke-3: apakah makin tinggi atau tetap saja.

Pemantauan berikutnya pada bulan ke-6: apakah kadar antibodinya masih cukup tinggi atau sudah mulai menurun. Informasi-informasi tersebut akan menentukan apakah vaksin yang diuji cukup baik.

Jika vaksin yang diuji saat ini hanya mampu melindungi kita selama, misalnya, 3 bulan, dengan efikasi yang tinggi, maka tetap akan lebih baik mendapat vaksin daripada tidak mendapat vaksin.

Jalan masih panjang

BPOM dan badan-badan sejenis di seluruh dunia mempunyai otoritas untuk memberikan izin penggunaan obat, termasuk vaksin baru, dalam keadaan darurat.

Yulia menjelaskan, dengan mempertimbangkan keamanan dan efikasi serta faktor-faktor lainnya, Emergency Use Authorization (EUA) akan diberikan. Izin ini bersifat sementara dan dapat ditarik sewaktu-waktu.

Salah satu contoh obat yang mendapat EUA dan kemudian dicabut adalah kina untuk mengobati Covid-19.

Pemberian EUA pada vaksin Covid-19 tidak akan menghentikan riset terhadap vaksin. Vaksin yang sedang dikembangkan saat ini sangat bervariasi.

Semua calon vaksin itu menunggu pembuktian keamanan dan efikasinya. Kita perlu waktu yang lebih panjang untuk mendapatkan vaksin yang terbukti aman, nyaman, dan efektif. “Jadi, jalan menuju penghapusan Covid-19 masih panjang,” kata Yulia.

 

Editor: Redaksi

COMMENTS

//