Murid Berkebutuhan Khusus di Bandung Perlu Kemudahan Belajar Daring
Pembelajaran jarak jauh tentu diperlukan murid berkebutuhan khusus (difabel). Mereka membutuhkan insfrastruktur, termasuk komputer yang ramah difabel.
Penulis Iman Herdiana29 Maret 2021
BandungBergerak.id - Pembelajaran jarak jauh dengan cara daring menjadi solusi agar terhindar dari penularan COVID-19. Meski kenyataannya, belajar online belum tentu bisa diakses oleh semua kalangan (inklusi), misalnya oleh murid berkebutuhan khusus atau penyandang disabilitas.
Menjawab situasi tersebut, Jurusan Administrasi Bisnis Universitas Katolik Parahyangan (Adbis Unpar) tergerak menggelar program pembelajaran berpikir komputasi (computational thinking) kepada murid di Sekolah Luar Biasa (SLB) B Sukapura, Kota Bandung.
SLB B Sukapura merupakan sekolah bagi siswa-siswi tunarungu, tunagrahita dan multi disabilitas bagi SMP dan SMA. Materi pembelajaran untuk sekolah berkebutuhan khusus ini berbeda dengan sekolah pada umumnya.
Pendekatan pembelajaran yang inovatif sangat diperlukan, misalnya, belajar dengan menggunakan metode permainan. Ada pula tantangan infrastruktur digital yang kurang mendukung sehingga perlu diperbantukan dengan fasilitas lain.
Menghadapi tantangan tersebut, Adbis Unpar berkolaborasi dengan pakar computational thinking dari Informatika Unpar dan NUS Singapura. Computational thinking adalah teknik mengerjakan sesuatu sesuai dengan cara-cara komputer.
Dalam pelaksanaannya, program Pengabdian Masyarakat (Abdimas) Adbis Unpar menggandeng Yayasan Save The Children, organisasi nirlaba (NGO) yang dipandang berpengalaman dalam penyampaian materi terhadap murid berkebutuhan khusus. Tim Abdimas Adbis Unpar juga melibatkan mahasiswanya sebagai fasilitator program.
Selain menerapkan computational thinking, Tim Abdimas Adbis Unpar juga memakai metode design thinking dalam ilmu administrasi bisnis. Mereka melakukan observasi untuk merancang modul dan metode pembelajaran.
Program ini diharapkan dapat memberikan semangat bagi para siswa disabilitas dalam mempelajari hal-hal baru, khususnya soal computational thinking, di tengah masa pandemi COVID. Dengan begitu diharapkan mimpi pendidikan yang inklusif dapat tercapai.
“Kita bisa mengembangkan sebuah skema pendidikan yang inklusif. Dalam kondisi yang tidak normal (pandemi), semua peserta didik memerlukan literasi digital, tidak terkecuali bagi para siswa disabilitas,” jelas Albert MPL Tobing, ST., M.AB. selaku pelaksana program Abdimas, dikutip darilaman resmi unpar.ac.id, Senin (29/3/2021).
Menerapkan pembelajaran computational thinking bagi disabilitas memiliki tantangan tersendiri. Mulai dari pengembangan modul yang sesuai kebutuhan, training para guru, hingga penyampaian materi bagi para siswa lewat para guru. “Perlu riset, perlu waktu untuk memahami pendekatannya,” jelas Albert.
Dosen Adbis Unpar, Timothy Adrianus, M.AB, menambahkan perancangan modul pengajaran murid berkebutuhan khusus harus disesuaikan dengan kebutuhan disabilitas. Selain itu, pendekatan pada disabilitas dan gurunya juga berbeda-beda dan memerlukan dukungan serta pendampingan para guru dan dari pihak Unpar sendiri.
Perda Disabilitas
Sejak 2019, Kota Bandung tergabung dengan 27 Kota lainnya di Indonesia sebagai Kota Inklusi Disabilitas. Hal itu ditandai dengan penandatanganan Piagam Jaringan Wali Kota Indonesia Menuju Kota Inklusif oleh Wakil Wali Kota Bandung, Yana Mulyana, di Banjarmasin, Kalimantan Selatan, 3 Oktober 2019.
Dalam kesempatan tersebut, Yana memaparkan penyandang disabilitas di Kota Bandung pada 2018 sebanyak 4.969 jiwa. Selama ini, masalah disabilitas di Kota Bandung diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 26 Tahun 2009 tentang Kesetaraan dan Pemberdayaan Penyandang Cacat, Perda Kota Bandung Nomor 14 Tahun 2018 tentang Bangunan Gedung.
Namun Pemkot Bandung merasa belum cukup sehingga perlu membikin Perda penyandang disabilitas yang lebih spesifik. Yana bilang, Perda ini akan mengatur penghormatan dan pemenuhan hak penyandang disabilitas yang meliputi keadilan dan perlindungan hukum, pendidikan, pekerjaan kewirausahaan, kesehatan, politik, keagamaan, keolahragaan, kebudayaan dan pariwisata.
“Termasuk juga di bidang kesejahteraan sosial, infrastruktur, pelayanan publik, perlindungan bencana, dan perlindungan dari tindakan diskriminasi, penelantaran, penyiksaan dan eksploitasi," paparnya, dikutip dari siaran pers Humas Bandung. Yana mengklaim, pembentukan Perda tentang disabilitas telah melibatkan kaum difabel.
Perda tersebut kemudian disahkan dalam rapat paripurna DPRD Kota Bandung, Selasa, 31 Desember 2019, dengan nama resmi Perda tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas. Setelah dievaluasi oleh Pemerintah Provinsi Jawa Barat, perda ini akan diterapkan di Kota Bandung.
Wali Kota Bandung, Oded M Danial menjelaskan Perda tentang Perlindungan dan Pemenuhan Hak Disabilitas sebagai wujud komitmen Pemkot Bandung dalam memberikan pelayanan terhadap para kaum difabel.
"Urgensinya mereka punya hak yang sama mendapatkan perlakuan dari pemerintah. Bahkan, bukan hanya dari pemerintah saja tapi dari saudaranya yang tidak difabel juga. Jadi mereka ini harus memperoleh perlakuan yang sama soal pelayanan publik," ujarnya.
Hadirnya Perda anyar ini diharapkan semakin menopang program untuk penyandang disabilitas, contohnya pengadaan infrastruktur. Menurut Oded, sebelum ada perda pihaknya sudah membangun insfrastruktur di tempat-tempat keramaian, trotoar, dan lain-lain. “Jadi kalau sudah ada payung hukum ini kita lebih enak untuk mengerjakannya," kata Oded.
Lahirnya perda baru tentang disabilitas ini tentu kabar gembira bagi penyandang disabilitas di Bandung. Tetapi kini mereka pun menunggu realisasinya.