Darah Tumpah di Lengkong Wetan (2)
Mendengar kabar pembantaian di Lengkong Wetan, pasukan Indonesia bergegas mengepung markas Jepang dan siap bertempur. Tapi yang dipilih kemudian adalah berunding.
Penulis Zaky Yamani31 Maret 2021
BandungBergerak.id - Malam merambat membawa kegelapan yang terasa mencekik. Jeritan kesakitan terdengar di berbagai sudut. Bau amis darah mencemari udara. Kematian merangkul tempat itu dengan lekat.
Tentara Jepang menyisir setiap parit pertahanan dan pepohonan. Menyeret jasad-jasad remaja berseragam tentara, dan mengumpulkannya di lapangan. Mereka yang terluka ditangkap, diikat pada titik nadi di pergelangan tangan, ada juga yang diikat pada dua ibu jarinya, lalu diseret ke dalam ksatrian di markas itu.
Para calon perwira dari akademi militer pertama di Indonesia itu masih dicekam kepanikan dan bingung. Mereka yang berniat datang dengan damai, dengan sedikit tipu muslihat yang melibatkan para pembelot Inggris demi mendapatkan senjata Jepang, kini berada dalam tawanan. Sementara sebagian kawan mereka tergeletak tak bernyawa di berbagai sudut tempat itu, dengan lubang peluru, lubang tusukan sangkur, dan lubang serpihan granat di sekujur tubuh mereka. Tak sanggup mereka memercayai kenyataan itu.
Sepanjang malam mereka ditahan di dalam ksatrian dengan penjagaan penuh tentara Jepang. Yang terluka menjerit menahan sakit, tetapi tak ada kawan yang bisa menolong, kecuali sedikit rasa kasihan dari tentara Jepang yang membalut luka mereka dengan kain seadanya.
Esok paginya, Sabtu, 26 Januari 1946, para tawanan yang terlihat masih kuat dipisahkan dari tawanan yang terluka, lalu mereka dibawa ke gudang kosong. Di dalam ruangan yang gelap dan lembap itu tangan mereka dilepaskan dari ikatan. Tak banyak yang bicara sepanjang hari itu. Mungkin semua orang di gudang itu masih panik dan bingung, kenapa situasi berubah tak terkendali dan mematikan. Mungkin semuanya sibuk membayangkan, apa yang akan dilakukan tentara Jepang kepada mereka. Bukankah selama ini mereka terkenal sadis memperlakukan tawanan? Apakah mereka akan disiksa sebelum dibunuh dan dikuburkan tanpa nisan di suatu tempat tersembunyi?
Menggali Lubang Kubur
Menjelang sore, pintu gudang dibuka, berkas cahaya masuk menyertai langkah-langkah berat beberapa serdadu Jepang. Mereka membawa banyak sekop. Para tawanan di gudang itu diperintahkan mengambil sekop-sekop itu, satu untuk setiap orang.
Degup jantung para siswa Akademi Militer Tangerang berdetak cepat. Mungkin ini saatnya mereka akan diperintahkan menggali lubang kuburan mereka sendiri, sebelum tentara Jepang menembakkan peluru ke kepala setiap siswa. Atau mungkin kepala mereka akan dipancung dengan pedang samuari, siapa tahu?
Saat masih melamunkan bayangan horor itu, para tawanan diperintahkan berbaris keluar gudang. Dengan langkah gontai, dan pikiran kalut, para siswa itu berbaris, membawa sekop di tangan masing-masing. Perlahan mereka melangkah mengikuti tentara Jepang yang memerintahkan mereka keluar gudang. Mungkin itu akan menjadi langkah-langkah terakhir mereka di dunia yang begitu kejam ini. Tetapi apa yang bisa dilakukan sekarang? Bukankah itu risiko menjadi tentara: membunuh atau dibunuh dalam pertempuran. Bukankah mereka menyadari semua itu saat mendaftarkan diri menjadi calon perwira tentara Indonesia?
Mereka digiring ke tempat pertempuran kemarin sore. Rentetan senapan, ledakan granat, dan jerit kematian terasa begitu jelas di dalam kepala setiap siswa itu. Kemarin adalah pengalaman perang mereka yang pertama kali, dan mungkin sekaligus yang terakhir.
Tiba di tengah lapang, para siswa itu diperintahkan menggali tanah. Tubuh mereka bergerak otomatis mengikuti perintah itu. Tak ada lagi yang bisa dilakukan, kecuali berdoa semoga kematian tidak menyakitkan.
Sekop demi sekop tanah diangkat dan menciptakan lubang di tengah lapang. Belum begitu dalam lubang itu, para siswa diperintahkan berhenti menggali. Mereka terkesiap.
Lalu seorang serdadu Jepang maju ke muka. Dia memerintahkan para siswa itu naik dari lubang itu.
Para siswa itu naik ke permukaan tanah, lalu melangkah ke arah yang ditunjukkan, ke jajaran mayat rekan-rekan mereka. Lalu mereka diperintahkan mengangkat jenazah-jenazah itu dan meletakkannya di lubang yang baru saja mereka gali.
Mereka pun menggotong jenazah satu per satu. Ada wajah-wajah yang masih mereka kenali, ada juga yang tak dapat mereka kenali karena luka di wajah yang begitu hebat.
Gerimis turun, matahari surut ke barat. Tak ada yang bicara dalam pekerjaan penuh horor itu. Ada tiga puluh enam jenazah yang harus dibaringkan di lubang itu, tiga perwira dan tiga puluh tiga siswa Akademi Militer Tangerang. Jenazah-jenazah itu terdiri atas mereka yang tewas saat pertempuran berlangsung, dan mereka yang tewas kemudian karena luka berat dan kehabisan darah setelah beberapa saat ditawan Jepang.
Namun tentara pembelot Inggris yang berasal dari India tidak terlihat di sana. Apakah mereka berhasil meloloskan diri atau jenazahnya tak berhasil ditemukan, tidak ada yang tahu. Sedangkan tiga jenazah perwira masih bisa dikenali: Mayor Daan Mogot, Letnan Soebianto, dan Letnan Soetopo.
Ketika semua jenazah telah dibaringkan di dalam lubang, beberapa siswa menyempatkan diri melakukan salat jenazah. Sebagian lagi berdiri terpaku, membayangkan apa yang akan terjadi setelah ini. Apakah serdadu Jepang itu akan memerintahkan mereka masuk ke lubang, untuk dibunuh lalu dikubur bersama kawan-kawan yang lebih dulu mati?
Tidak.
Serdadu Jepang itu memerintahkan para siswa untuk menimbun lubang kuburan itu. Setelah selesai, mereka kembali dibawa ke gudang tempat mereka ditawan.
Tak lama kemudian terdengar gelegar mortir-mortir yang meledak di sekitar markas. Tak ada balasan dari dalam markas Jepang. Lalu hening.
Baca Juga: Darah Tumpah di Lengkong Wetan (1)
Mengepung Markas Jepang
Tiga remaja berseragam tentara berlari sekuat tenaga menembus gelap malam di antara pepohonan. Soedarno, Oesman Sjarif, dan Menot Sjam. Mereka para siswa Akademi Militer Tangerang yang berhasil meloloskan diri dari pembantaian di Lengkong. Napas mereka menderu, jantung mereka serasa mau pecah. Namun mereka harus terus berlari.
Mereka menghindari jalan besar, takut ditangkap Jepang atau Belanda. Jalan yang harus mereka tempuh benar-benar tepian perkampungan, kebun, dan hutan. Jika melihat ada gerakan mencurigakan, mereka berhenti dan mengawasi situasi. Setelah merasa aman, mereka kembali memacu kaki.
Pagi, Sabtu, 26 Januari 1946, mereka tiba di Kota Tangerang, langsung menuju markas Resimen IV. Susah payah mereka melaporkan peristiwa kemarin sore kepada komandan Resimen IV. Informasi yang disampaikan tiga siswa itu membuat geger. Pasukan Resimen IV pun disiapkan untuk bertempur. Rencana penyerangan didiskusikan, namun semuanya terganjal kemungkinan adanya tentara Indonesia yang selamat dalam pembantaian itu dan menjadi tawanan Jepang.
Akhirnya pasukan diberangkatkan juga pada sore hari, dalam siraman hujan gerimis. Ketika markas Jepang terlihat, pasukan Resimen IV mengambil posisi tempur dan menunggu perintah penyerangan. Masih ada keraguan untuk menyerang. Bagaimana jika serangan Resimen IV membuat tentara Jepang nekat mengeksekusi seluruh tawanan? Tetapi jika markas itu tidak diserang, harga diri bangsa dilecehkan, karena seakan-akan membiarkan tindakan Jepang atas pembunuhan kemarin.
Kemudian datang perintah, posisi Jepang akan diserang beberapa mortir, untuk menunjukkan markas mereka telah dikepung dan tentara Indonesia siap bertempur. Mortir pun ditembakkan beberapa kali, meledak di sekitar markas Jepang. Tak ada balasan. Pasukan Resimen IV menunggu perintah lanjutan dengan gelisah.
Berunding
Pada saat bersamaan, komandan Resimen IV menghubungi Kantor Penghubung TKR di Jakarta untuk melaporkan peristiwa di Lengkong dan kesiapan pasukannya untuk menyerbu masuk ke markas Jepang. Kantor Penghubung TKR meminta Resimen IV untuk tidak menyerang dahulu, dan menunggu arahan lebih lanjut.
Hari itu juga, pejabat di Kantor Penghubung TKR menghubungi Letnan Kolonel Miyamoto, yang baru kembali dari Bandung. Dalam pertemuan itu disepakati, pada Minggu, 27 Januari 1946 akan dilakukan perundingan di suatu tempat di Lengkong untuk menyelesaikan persoalan tersebut.
Minggu pagi di Lengkong, suasana begitu tegang. Pasukan Resimen IV masih bersiaga mengepung markas Jepang. Kemudian datang delegasi Indonesia untuk melakukan perundingan dengan Jepang, yaitu Letnan Kolonel MT Harjono, Mayor Oetarjo, Letnan Wirogo, dan Pembantu Letnan Djoko Winarto. Semuanya dari Kantor Penghubung TKR di Jakarta. Dari Resimen IV datang Letnan Kolonel Daan Jahja disertai beberapa perwira stafnya. Sedangkan dari pihak Jepang, hadir Letnan Kolonel Miyamoto dan Kapten Abe.
Perundingan dilakukan di luar markas Jepang, sambil berdiri, beratap langit, beralas tanah. Para delegasi dalam kesiagaan tinggi, bersiap dengan segala kemungkinan. Perundingan tampak alot, dan masing-masing pihak mengungkapkan argumen dan pembelaan terhadap tindakannya.
Tetapi akhirnya dicapai juga kata sepakat. Ada empat hal yang mereka sepakati, pertama, semua anggota pasukan Indonesia, baik yang ditawan maupun yang sudah dikubur, akan dikembalikan ke pihak Indonesia. Kedua, semua siswa yang luka dapat diambil pihak Indonesia untuk dirawat di rumah sakit sendiri. Ketiga, semua senjata tentara Indonesia akan dikembalikan. Keempat, beberapa tentara Indonesia masih perlu dikirim ke Staf Brigade Sekutu di Bogor untuk diperiksa, sebelum dibebaskan. Hal itu dilakukan karena pasukan Jepang di Lengkong berada di bawah pengawasan langsung Brigade Inggris di Bogor, sehingga Kapten Abe melaporkan peristiwa Lengkong kepada komandan brigade tersebut.
Setelah selesai perundingan, perwakilan Indonesia diizinkan masuk ke markas untuk menjumpai beberapa siswa Akademi Militer Tangerang yang ditahan. Saat itu Mayor Oetarjo sempat bertemu dan berbicara dengan Mayor Wibowo yang ditawan Jepang.
Kemudian Kantor Penghubung TKR di Jakarta menghubungi markas tentara Sekutu di Jakarta untuk menjelaskan peristiwa Lengkong, dan meminta para siswa Akademi Militer Tangerang yang akan diperiksa Sekutu segera dibebaskan usai pemeriksaan. Kantor Penghubung TKR juga melaporkan peristiwa itu kepada Komandemen TKR Jawa Barat dan Markas Besar TKR di Yogyakarta.
Ditahan di Bogor, Kembali ke Tangerang
Malam harinya di Lengkong, tentara Jepang memilih empat tawanan untuk diserahkan kepada Staf Brigade Inggris di Bogor. Mereka Mayor Wibowo—dari Kantor Penghubung TKR di Jakarta dan yang paling senior di antara tawanan—Letnan Ismail, instruktur Akademi Militer Tangerang, serta Tatang Koestandi dan Soelaksono, keduanya siswa Akademi Militer Tangerang.
Empat tawanan itu dibawa dengan truk ke Bogor dengan tangan terikat dan dijaga serdadu Jepang. Mereka langsung menuju Istana Bogor, yang digunakan sebagai markas Staf Brigade Inggris. Setelah diturunkan di halaman Istana Bogor, empat tawanan itu dibawa ke sebuah ruangan. Lalu satu per satu diperiksa seorang perwira Inggris di ruang interogasi. Perwira Inggris itu menanyai setiap orang tentang peta kekuatan TKR yang beroperasi di Lengkong dan tujuan dari operasi itu.
Ketika giliran Tatang Koestandi diperiksa, dia masuk ruang interogasi dan duduk di kursi yang ada di ruangan. Perwira Inggris itu membentaknya, dan memerintahkan Tatang duduk di lantai. Bentakan perwira Inggris itu dijawab Tatang dengan bahasa Belanda. Perwira Inggris terdiam, lalu sikapnya menjadi sopan, dan mempersilakan Tatang duduk di kursi.
Setelah pemeriksaan selesai, empat tawanan itu ditahan di Istana Bogor semalam. Esok harinya mereka dibawa ke markas polisi militer Jepang atau Kempetai—yang terkenal sadis—di Kota Bogor. Tahu dibawa ke markas Kempetai, empat tawanan itu sudah pasrah dan bersiap untuk menghadapi siksaan hebat.
Tetapi dugaan mereka meleset. Ternyata anggota Kempetai memperlakukan mereka dengan sangat baik. Selama ditahan di sana, tak sekalipun ada siksaan. Bahkan mereka mendapatkan sikat gigi, sabun, handuk, dan baju kaos.
Setelah seminggu ditahan Kempetai, datang seorang perwira TKR, Kolonel Abdul Kadir. Dia Panglima Divisi II/ Soenan Goenoeng Djati yang berkedudukan di Cirebon. Ternyata Kolonel Abdul Kadir datang untuk menjemput empat tawanan itu. Mereka pun dibebaskan. Sebelum keluar dari markas Kempetai, Kolonel Abdul Kadir memerintahkan empat tawanan itu untuk mengembalikan semua yang mereka dapat dari Kempetai.
Kolonel Abdul Kadir membawa mereka ke markas Batalyon II di Dramaga, Bogor, dan menginap semalam di sana. Esok harinya, datang Kapten Tommy, Komandan Seksi II Siswa Akademi Militer Tangerang, untuk membawa empat orang itu kembali ke Tangerang. Perjalanan ke Tangerang dilakukan memutar jauh melalui Rangkasbitung dan Serang karena saat itu Parung sudah diduduki Belanda. Baru pada pekan pertama Februari 1946, para siswa dan perwira itu tiba kembali di kampus Akademi Militer Tangerang.
(bersambung)