• Foto
  • Generasi Ronggeng

Generasi Ronggeng

Sekitar 1.000 orang penari ronggeng memamerkan tariannya di pelataran Gedung Sate, Bandung, 28 Oktober 2022. Mereka menunjukkan seni buhun.

Fotografer Prima Mulia31 Oktober 2022

BandungBergerak.idRatusan perempuan berpakaian kebaya dan kain samping (batik). Mereka beragam usia, mulai dari usia anak-anak, remaja, sampai dewasa. Mereka berbaris dan berkerumun di antara bayang-bayang pepohonan besar di pelataran Gedung Sate, Bandung, 28 Oktober 2022.

"Biar nggak kena panas matahari, kita sudah berkumpul di sini sejak pukul 6:30 pagi, mungkin sebentar lagi mulai," harap seorang remaja putri dengan pakaian kebaya berwarna hijau emas.

Saat itu jarum jam sudah menunjukan pukul 9 lebih. Mereka ternyata adalah para penari yang akan ikut ambil bagian di acara menari ronggeng amen, sebuah versi pengayaan dari seni tari buhun ronggeng gunung.

Tak lama, suara melalui pelantang meminta para penari untuk bersiap. Acara dibuka dengan penampilan para penari ronggeng senior asal Pangandaran dan Ciamis. Di sudut kiri plaza Gedung Sate, alunan suara pesinden diiringi nayaga yang menabuh kendang, kenong, goong, dan gesekan rebab, mengiringi tarian ronggeng. Maestro ronggeng Bi Raspi sendiri yang jadi sindennya. Selang 10 menit kemudian, sekitar 1.000 orang penari yang telah menunggu sejak pagi tumpah ruah di sekitar plaza.

Tarian ronggeng yang memiliki pakem dilakukan secara melingkar membuat pusat tarian terbagi di beberapa titik. Para penari sepuh berada di tengah plaza, diapit oleh lingkaran-lingkaran yang terbentuk dari ratusan orang penari anak-anak dan remaja di setiap lingkaran. Gerakan tariannya dinamis dan mengalir tak henti.

Hampir 1 jam aksi 1.000 penari ngibing ronggeng di plaza Gedung Sate itu. Salah seorang dari ratusan penari yang berasal dari berbagai sanggar tari di Bandung dan daerah lain tak bisa menyembunyikan wajah girangnya.

"Saya senang belajar tari tradisi, dengan ikut acara ini saya dan teman-teman lainnya jadi bagian dari upaya pelestarian tari buhun seperti ronggeng gunung, ronggeng kaler, ronggeng kidul atau ronggeng amen," kata Asti, remaja putri berusia 16 tahun.

Hal yang sama disampaikan sang maestro ronggeng amen asal Banjarsari, Ciamis, Bi Raspi. Wanita berusia 65 tahun ini jadi salah satu pelestari tari buhun yang terkenal di wilayah Ciamis dan Pangandaran. Ia sempat mementaskan ronggeng amen bersama perupa Tisna Sanjaya di Singapura tahun 2013.

"Bi Raspi ingin membawa ronggeng pentas di mana-mana, jangan cuma di Jawa Barat," kata pimpinan dari kelompok Panggugah Rasa Ronggeng Amen Ciamis ini.

Saat ini regenerasi penari ronggeng berjalan dengan baik, banyak penari-penari usia muda yang antusias mempelajari tarian ini. Yang agak sulit mungkin regenerasi pesinden ronggeng usia muda, banyak pakem dan teknik yang harus dikuasai. Sampai saat ini baru seorang yang saya siapkan, yaitu Nani Nurhayati yang tak lain adalah anak dari Bi Raspi sendiri.

Antara tahun 2016 dan tahun 2017 lalu saya pernah mengikuti  pentas tari ronggeng gunung dari desa ke desa di daerah Cijulang, Pangandaran. Saat kabupaten yang disahkan tahun 2012 itu tengah berupaya menggenjot potensi pariwisata alam, seni, dan budayanya yang memukau.

Salah satu upaya yang dilakukan adalah mengembalikan kejayaan tari ronggeng gunung sebagai tarian buhun khas Pangandaran. Waktu itu ronggeng gunung mulai meredup pamornya, kalah oleh ibing jaipong modern dengan balutan musik dangdut. Saat ini, upaya pelestarian ronggeng gunung baik di Pangandaran maupun di Ciamis mulai terlihat hasilnya.

Dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, konon asal usul ronggeng gunung disebut berasal dari abad XVI di kerajaan Haur Kuning, Ciamis. Bahkan ada yang menyebutnya sudah ada sejak abad ke VII di masa kerjaan Galuh.

Ronggeng berasal dari bahasa Sansekerta, renggana, yang artinya perempuan pujaan. Versi lain menyatakan ronggeng gunung diyakini asli tari buhun asal Pangandaran. Sebelum jadi kabupaten tersendiri, Pangandaran dulunya masuk wilayah Ciamis.

Sedikit beda ronggeng gunung dan ronggeng amen. Ronggeng amen atau ronggeng kidul dianggap lebih menarik karena iringan musiknya tidak monoton dengan sinden khusus yang tidak merangkap penari, dan ditujukan untuk hiburan semata.

Sedangkan ronggeng gunung selama ini dikenal seni tari dengan iringan gamelan minialis, hanya diiringi 1 kendang indung, kenong, dan 1 goong indung, sindennya juga merangkap sebagai penari, serta lekat dengan upacara ritual dan sakral.

Sedangkan ronggeng amen bisa hadir dengan iringan gamelan lengkap dengan sinden sendiri. Satu lagi bentuk pengayaan ronggeng gunung adalah pertunjukan ronggeng kaler yang juga untuk hiburan, banyak digelar di acara-acara khitanan atau kawinan.

Teks dan Foto: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//