100 Tahun Observatorium Bosscha untuk Peradaban
Berusia satu abad, Observatorium Bosscha telah memberikan sumbangan besar untuk peradaban. Terancam oleh laju pembangunan serampangan di Kawasan Bandung Utara.
Berusia satu abad, Observatorium Bosscha telah memberikan sumbangan besar untuk peradaban. Terancam oleh laju pembangunan serampangan di Kawasan Bandung Utara.
BandungBergerak.id - Yatny Yulianti tengadah menantang langit. Sepasang kacamata berlensa mylar terpasang di wajah, membiarkan matanya terekspos sinar matahari pagi yang cukup kuat menembus gulungan awan mendung di langit utara Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat, Senin (16/1/2023).
"(Kacamata) Ini akan dibagikan ke beberapa daerah sebagai paket edukasi jelang gerhana matahari total tahun ini," kata staf peneliti Observatorium Bosscha itu.
Tahun ini Observatorium Bosscha memasuki usia ke-100 tahun. Sebuah rentang waktu yang panjang bagi sebuah institusi penelitian dan pendidikan di bidang astronomi. Diresmikan pada 1 Januari 1923 oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda D. Fock, observatorium yang kini beralamat di Jalan Peneropongan Bintang ini telah memberikan sumbangan tidak kecil pada pengembangan astronomi dan sains di Indonesia dan dunia.
Kecintaan Sains Para Juragan Teh
Karel A. van der Hucht dan Constant L. M. Kerkhoven dalam artikel berjudul “The Early History of The Bosscha Observatory In Indonesia” yang termuat di dalam buku Seabad Observatorium Bosscha, menyebut sejarah panjang peneropong bintang ini dimulai sejak tahun 1920, bersamaan dengan dibentuknya Nederlands Indische Sterrenkundige Vereeniging (NISV) yang digagas oleh Karel Albert Rudolf Bosscha dan saudara sepupunya, Rudlof A. Kerkhoven. Keduanya dikenal sebagai juragan teh dari Tanah Priangan. Tiga tahun berselang, barulah observatorium diresmikan sebagai perintis astronomi paling mentereng di Asia Tenggara.
Kelahiran Observatorium Bosscha tidak lepas dari perkembangan budidaya tanaman teh sebagai komoditas perkebunan utama di Tatar Parahyangan waktu itu. Pada tahun 1843, para Preanger Planters dari keluarga van der Hucht, Holle, Kerkhoven, dan Bosscha mengelola perkebunan di wilayah Bogor, Sukabumi, dan Bandung selatan. Sebagian dari mereka memiliki ketertarikan di bidang sains, seperti seismologi, meteorologi, dan astronomi. Khususnya Karel A. R. Bosscha dan Rudolf A. Kerkhoven. Keduanya merupakan pengelola perkebunan teh Malabar di Pangalengan yang dibuka oleh Rudolph E. Kerkhoven, paman dari Bosscha dan ayah dari Rudolf Kerkhoven.
Dua saudara sepupu Bosscha dan Kerkhoven memutuskan untuk membangun sebuah observatorium modern di belahan bumi selatan. Pada 3 Desember 1920, diputuskan nama observatorium tersebut adalah Bosscha Sterrenwacht. Di tahun yang sama, Bosscha juga menjadi salah satu pendiri Technische Hoogeschool te Bandoeng, yang setelah Indonesia merdeka dikenal sebagai Institut Teknologi Bandung (ITB).
Pada 1921, Bosscha berangkat ke Jerman untuk menjajaki pembuatan teleskop Bamberg, sebuah refraktor astro-photographic, teleskop meridian pesanan Kerkhoven, serta teleskop raksasa refraktor ganda Zeiss yang kelak akan menjadi ikon observatorium ini.
Lembang, dengan ketinggian 1.300 meter di atas permukaan laut (Mdpl) dipilih sebagai lokasi observatorium. Dalam kurun waktu 1927 sampai 1929, observatorium telah dilengkapi dengan teleskop Bamberg-Schimdt dengan panjang lensa 7 meter.
Per 10 Januari 1928, terpasang semua komponen teleskop refraktor ganda Zeiss dengan diameter masing-masing 60 sentimeter dan panjang lensa 10,5 meter. Kubah Bosscha yang terkenal itu dirancang oleh arsitek Wolff Schoemaker. Pada 7 Juni 1928, Gubernur Jenderal De Graeff hadir menyaksikan pengoperasian teleskop refraktor ganda tersebut. Observatorium Bosscha saat itu memiliki teleskop astronomi terbesar ke-3 di belahan bumi selatan, setelah Melbourne dan La Plata.
Karel Bosscha wafat pada 26 November 1928 dan dikuburkan di tengah hutan pohon teh raksasa di Pangalengan. Sepupunya, Rudolf Kerkhoven, mengambil alih semua tanggung jawab Bosscha, baik di urusan perkebunan maupun di asosiasi astronomi Hindia Belanda.
[baca_juga]
Untuk Peradaban
Satu abad berselang, Observatorium Bosscha masih terus berkiprah. Menerapkan teknologi terkini, observatorium tidak lantas melupakan pengetahuan tradisional astronomi yang selama ini dituturkan turun temurun. Dengan menghidupkan kembali pengetahuan tradisional di berbagai kelompok budaya di seluruh Indonesia, para astronom dan ilmuwan berupaya untuk membangun kesadaran kolektif di masyarakat bahwa alam semesta adalah rumah terbesar kita.
"Sekarang tahunnya astronomi. Semoga bisa menginspirasi masyarakat luas. Sains itu untuk peradaban, bukan hanya untuk ilmuwan saja. Motivasi itu paling fundamental bagi saya," ujar Kepala Observatorium Bosscha, Premana W. Premadi.
Senin itu, sebanyak 3.000 kacamata untuk melihat gerhana matahari total tahun 2023 telah selesai dibuat. Kacamata matahari akan dibagikan dalam paket edukasi kerja sama Observatorium Bosscha dan Penerbit Erlangga untuk anak-anak di beberapa daerah, khususnya mereka yang tinggal di jalur lintasan gerhana matahari total di Kepulauan Maluku.
Sebagai institusi pendidikan dan penelitian astronomi, Obesrvatorium Bosscha telah berkontribusi bagi pengembangan astronomi dan sains di Indonesia dan dunia. Di usia seabad, observatorium yang diberi predikat sebagai “scientific and cultural heritage” ini telah mengembangkan jaringan teleskop robotik di multilokasi, memanfaatkan big data science secara global, mengembangkan astronomi radio, serta memperkuat jejaring komunitas serta fasilitas astronomi di Indonesia.
Perlahan kabut mulai turun di kawasan Lembang. Cahaya temaram kubah Observatorium Bosscha semakin samar di tengah gelapnya langit malam di perbukitan Kawasan Bandung Utara tersebut.
*Foto dan teks: Prima Mulia
COMMENTS