"Halo-halo Bandoeng"
Kalimat “Halo-halo Bandoeng” yang pertama terlontar dalam komunikasi pertama dengan negeri Belanda saat uji coba Stasiun Radio Malabar di zaman Hindia Belanda.
Kalimat “Halo-halo Bandoeng” yang pertama terlontar dalam komunikasi pertama dengan negeri Belanda saat uji coba Stasiun Radio Malabar di zaman Hindia Belanda.
BandungBergerak.id – Sebuah bangunan tua berdiri kokoh di pinggir jalan kering berdebu di Kampung Radio, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, Agustus 2022 lalu. Dindingnya berlapis batu-batu hitam yang dibentuk dengan ukuran nyaris seragam.
Gedung Pemancar Radio Cililin, begitu tulisan sebuah plang penanda milik Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bandung Barat, yang menegaskan bahwa bangunan tersebut merupakan cagar budaya yang dilindungi undang-undang.
Beberapa rumah tua masih dihuni warga yang tinggal di sekitar gedung radio dari era Hindia Belanda tersebut. Sebuah hutan kecil dan bukit dengan pepohonan rapat membuat suhu udara cukup sejuk di tengah teriknya matahari. Di bagian sudut dalam gedung radio, terparkir beberapa sepeda motor milik warga kampung.
Aroma apak menguar di dalam gedung kosong tersebut, cahaya masuk dari ventilasi yang berderet di sepanjang dinding, dari jendela besar di ujung ruangan, dari bentuk konstruksi atapnya yang dibuat bertingkat dengan celah udara dan cahaya yang cukup lapang. Pilar-pilar beton sokoguru konstruksi gedung menjulang angkuh bermandi cahaya.
Pemancar radio Cililin pertama kali mengirim sinyal ke Belanda tahun 1919, di tahun 1925 stasiun ini jadi pengganti sementara Stasiun Malabar sebagai salah satu penunjang informasi ke wilayah Eropa dari Hindia Belanda. Stasiun Radio Cililin kerap menghadapi gangguan , semua peralatan lantas dipindahkan ke stasiun radio di Dayeuhkolot dan Rancaekek. Sejak itu Radio Cililin tak lagi mengudara.
Jejak berpindahnya stasiun radio tersebut ada pada sebuah gedung tua berwarna putih dengan detail garis berwarna merah masih tegak berdiri di area pusat pendidikan milik PT Telkom di Dayeuhkolot. Gedung ini merupakan salah satu menara pemancar radio Hindia Belanda yang tersisa di Dayeuhkolot. Saat ini eks gedung radio itu dijadikan kantor dan gudang peralatan PT Telkom.
Beruntung gedung eks stasiun radio tersebut masih dalam kondisi terawat baik. Sebuah menara jaga terlihat masih berdiri kokoh berada di atap bagian tengah gedung. Selain itu, masih ada dua tower raksasa yang tersisa yang dibangun sekitar tahun 1920an.
Stasiun Radio Dayeuhkolot tersebut berada di Jalan Radio, Kecamatan Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung. Radio Dayeuhkolot di masa lalu jadi bagian dari Nederlandsch-Indische Radio Omroep Maatschapij (NIROM) yang memancarkan siaran radio ke seluruh Hindia Belanda dan luar negeri sejak tahun 1920an. Pembacaan teks Proklamasi disiarkan ke seluruh dunia salah satunya dari Radio Dayeuhkolot tersebut.
Di sebelah timur Bandung, di kawasan Rancaekek, juga terdapat jalan dengan nama Jalan Radio, tepatnya di Jalan Raya Rancaekek-Majalaya, Kampung Rancabatok, Desa Rancaekek Wetan, Kecamatan Rancaekek, Kabupaten Bandung.
Sebuah gedung tua berdiri tegak di area aset PT Telkom. Struktur bangunannya masih kokoh. Beberapa rumah tua yang dijadikan rumah dinas Telkom juga masih berdiri di sekitar gedung. Gedung ini dulunya berfungsi sebagai stasiun penerima radio Hindia Belanda. Stasiun Radio Penerima di Rancaekek dibangun untuk menerima siaran dari stasiun pemancar di Dayeuhkolot dan Malabar.
Sistem Radio Pemancar Nirkabel Pertama di Dunia
Keberadaan stasiun-stasiun radio itu mengerucut ke situs paling bersejarah dari pembangunan infrastruktur telekomunikasi radio di Hindia Belanda, yaitu reruntuhan Stasiun Radio Malabar yang ada di Gunung Puntang, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung.
Stasiun Radio Malabar adalah pemancar radio yang digunakan untuk komunikasi pertama kali antara Belanda dan tanah jajahannya di Hindia Belanda yang dirintis oleh Dr. de Groot. Dalam uji cobanya, kalimat yang terdengar pertama kali dari negara Kincir angin itu adalah kata-kata yang sangat terkenal, “Halo-Halo Bandoeng."
Atmosfer bahwa pernah ada stasiun radio paling modern di lembah di antara gunung-gunung ini masih sangat terasa. Sungai Cigeureuh mengalir deras di bawahnya. Sistem pengairan yang tertata apik masih berfungsi, airnya masih mengalir deras di selokan-selokan beton di sekitar reruntuhan gedung utama.
Sisa-sisa konstruksi bangunan gedung pemancar dan rumah-rumah pegawainya masih bisa dilihat, termasuk bekas fasilitas lapangan tenis, semua situs saat ini berada di area kawasan Wana Wisata Gunung Puntang. Mengapa kompleks radio ini dihancurkan? Banyak versinya. Salah satunya berasal dari sumber informasi yang diceritakan turun-temurun bahwa fasilitas Radio Malabar ini sengaja dihancurkan di masa perang kemerdekaan agar tak digunakan lagi oleh Belanda yang mencoba kembali menjajah Indonesia setelah Jepang hengkang pasca berakhirnya Perang Dunia II.
Reruntuhan bangunan terserak di tengah tegakan hutan pinus. Suasananya cukup mistis saat kabut pegunungan mulai turun menyelimuti kawasan Gunung Puntang. Apalagi di di bekas area gedung radio yang hanya menyisakan potongan dinding sisa konstruksi. Hanya bentuk kolam di depan reruntuhan yang masih lebih utuh. Bentuknya mirip gambar ikon hati, yang menjadikannya populer dengan sebutan Kolam Cinta Gunung Puntang. Konon di malam hari di sekitar lokasi ini kerap terdengar suara sinyo dan noni bercengkerama dalam bahasa Belanda.
Sejarah pembangunan radio tercanggih di masanya itu dimulai tahun 1917-1923. Teknologi pemancar dirancang oleh insinyur elektro kenamaan bernama Dr. Ir. Cornelis Johannes de Groot. Teknologi rancangannya itu masuk ke sejarah perkembangan radio dunia karena jadi penghubung komunikasi Indonesia-Belanda sejauh 12 ribu kilometer.
De Groot membuat sistem pemancar nirkabel yang merupakan satu-satunya dan pertama di dunia. Dalam ulasan sejarah komunikasi di Bandung lewat buku Tjitaroemplein Bandung karya Sudarsono Katam, disebutkan jika sistem pemancar tersebut merupakan yang pertama di dunia. Hal ini dikarenakan menggunakan sistem peluncur listrik untuk mengangkat gelombang sebesar 750 Volts dan daya 1 MA. Dari situ gelombang radio ribuan kilowatt bisa terbangun, dengan jaringan nirkabel yang dibentangkan di antara dua gunung sebagai antena raksasa.
Willem Smit & Co’s Transformatorenfabriek memasok kumparan besar dan beberapa trafo. Sementara generator dipasok oleh Smit Slikkerveer. Sebagai pendukung tenaga listrik dibangun PLTA Dago, PLTA Plengan dan PLTA Lamadjan, serta PLTU di Dayeuhkolot. Antena dibentangkan sepanjang 2 kilometer antara Gunung Puntang dan Gunung Halimun untuk memancarkan gelombang radio. Ketinggian antena dari dasar lembah rata-rata 350 meter. Antena dibangun mengarah ke Belanda yang berjarak 12 ribu kilometer dari Gunung Puntang.
Stasiun Radio Malabar diresmikan oleh Gubernur Jenderal Dirk Fock pada 5 Mei 1923. Baru pada 6 Mei 1923 malam, pemancar dapat berfungsi dengan baik. Pesan pertama yang dirimkan dari Belanda adalah dari Kantor Berita Aneta. Meski demikian, tanggal 5 Mei 1923 tetap dijadikan tanggal peresmian Stasiun Radio Malabar.
Untuk mengenang peristiwa telekomunikasi tersebut didirikan dua patung laki-laki tanpa busana yang tengah mengapit tiga perempat bola dunia. Patung pertama menaruh tangan tangannya di mulut yang menandakan tengah berteriak. Sedangkan patung yang satu lagi menaruh tangan kanannya di telinga seolah sedang mendengarkan. Stasiun Radio Malabar sempat menjadi media propaganda Jepang dengan melakukan kontak dengan Hooshoo Kanri Kyoku di berbagai daerah lain di daerah pendudukannya.
Jejak Sejarah Telekomunikasi di Zaman Hindia Belanda
Sejarah radio sebagai sarana komunikasi dan siaran nirkabel di Bandung di masa Hindia Belanda tak lepas dari sejarah keberadaan Radio Malabar, Cililin, Rancaekek, dan Dayeuhkolot, yang peninggalannya masih bisa dilihat sampai saat ini.
Sejarah telekomunikasi di Hindia Belanda juga tercatat dalam berita-berita di Koran waktu itu. Koran berbahasa Belanda, Deli Courant, dalam pemberitaan pada 9 Maret 1926 mencatat tengah berlangsungnya pembangunan stasiun radio di Cililin.
"Saat ini sedang berlangsung pembangunan stasiun radio permanen Tjililin, yang terletak di distrik dengan nama yang sama, sebelah barat Bandung" tulis Deli Courant. Pembangunan makan biaya 27 ribu dolar. Rupanya, stasiun penyiaran tersebut sudah ada sebelumnya dan didirikan oleh perusahaan bernama Telefunken. Pemerintah Hindia Belanda kemudian mengambil alih dan memperluasnya.
Sebelum pembangunan pada 1926, Stasiun Radio Cililin sudah bertugas sebagai cadangan Stasiun Malabar. De Telegraaf dalam pemberitaannya pada 3 September 1925 menulis penutupan sementara Radio Malabar selama tiga pekan yang rencananya berlangsung mulai 13 September 1925.
"Tjililin mengambil alih layanan udara," tulis De Telegraaf. Leeuwarder Nieuwsblad pada 6 Mei 1933 menulis, sinyal pertama Cililin terdengar pertama kalinya di stasiun penerimaan baru di Blaricum pada 7 Juli 1919.
Saat itu, uji coba pengiriman sinyal memang tengah dilakukan antara Belanda dan Hindia Belanda. Waktu itu, baru Hindia Belanda yang bisa mengirimkan sinyal ke Belanda, hubungan belum bisa berlangsung bolak-balik. "Selama beberapa bulan sekarang, telegram nirkabel telah dikirim oleh dua stasiun percobaan di Malabar dan Tjililin dekat Bandoeng," tulis De Nieuwe Aaltensche Courant, 28 Agustus 1919.
Bangunan eks Stasiun Radio Malabar hanya menyisakan reruntuhan. Tiga situs stasiun radio lainnya masih utuh namun tetap butuh perhatian dan perawatan dari masing-masing pemerintah daerah. Pentingkah situs-situs sejarah ini dipertahankan? Jelas penting, situs-situs stasiun radio ini jadi bagian tak terpisahkan dari sejarah telekomunikasi di Indonesia dan dunia, khususnya dalam sejarah perjuangan kemerdekaan Republik Indonesia.
Eks Stasiun Radio Dayeuhkolot terbilang aman, situs ini tetap digunakan oleh PT Telkom sampai sekarang. Eks Stasiun Radio Cililin cukup aman setelah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun perawatan yang harus diperhatikan. Beberapa bagian di bagian luar gedung mulai tak terawat. Eks Stasiun Radio Rancaekek, bagian fasad bangunannya masih kokoh, sayangnya beberapa bagian di sisi bangunan mulai terlihat rusak. Stasiun Radio Rancaekek merupakan aset PT Telkom. Paling tidak ini mungkin bisa jadi jaminan bila aset bersejarah ini tak akan berpindah tangan ke pihak lain. Tapi tak ada yang tak mungkin saat ini, semoga pemerintah mau sedikit melek dan memberi kepastian hukum yang pasti pada situs-situs bersejarah dunia telekomunikasi dan kemerdekaan ini.
*Foto dan teks: Prima Mulia
COMMENTS