• Foto
  • Dari Jejak-jejak Intoleransi

Dari Jejak-jejak Intoleransi

Jejak-jejak intoleransi di Bandung dan Jawa Barat merentang jauh. Tak hanya luput melindungi warganya, negara sering turut jadi aktornya.

Fotografer Prima Mulia4 Maret 2023

BandungBergerak.id - 24 Oktober 2015. Sekitar 800 umat Syiah dari wilayah Jawa Barat yang menghadiri acara Asyura di Stadion Sidolig, Jalan Ahmad Yani, Kota Bandung, dibubarkan setelah massa dari beragam organisasi berunjuk rasa di depan stadion menuntut pembubaran. Demi keamanan, polisi mengawal proses pembubaran dan evakuasi umat Syiah dari Stadion Sidolig ke kendaraan masing-masing. Puluhan personel polisi lainnya, dilengkapi senjata dan gas air mata, berjaga di sekitar jalan raya yang ditutup dari simpang Jalan Riau sampai simpang Gudang Utara.

Juli 2015. Ratusan warga berunjuk rasa di Gedung Sate, Bandung, mengutuk pembakaran masjid yang terjadi di Kabupaten Tolikara, Papua, pada 17 Juli 2015. Aroma konflik menjalar ke berbagai penjuru Tanah Air setelah sejumlah warga terluka dan satu orang dilaporkan tewas.

6 Desember 2016. Puluhan anggota organisasi keagamaan menggelar aksi unjuk rasa menuntut pembatalan acara Kebaktian Kebangkitan Rohani di Sasana Budaya Ganesha. Tamansari, Kota Bandung. Lagi-lagi dengan pertimbangan keamanan, kebaktian Natal ini akhirnya dibubarkan.

23 Maret 2016. Sejumlah orang mengatasnamakan organisasi keagamaan menggeruduk Institut Francaise d'Indonesie (IFI) di Jalan Purnawarman, Kota Bandung. Mereka memaksa pihak penyelenggara untuk membatalkan pentas monolog “Tan Malaka: Saya Rusa Berbulu Merah”. Mereka menuduh Tan Malaka, Sang Bapak Bangsa tersebut, terkait dengan faham komunisme.

2 September 2019. Mahasiswa Papua di Bandung menutup simpang Jalan Merdeka dan Jalan Aceh dalam aksi unjuk rasa terkait makian bernada rasisme oleh aparat pada orang Papua. Aksi serupa juga terjadi di sejumlah kota di Papua dibarengi dengan kerusuhan dan pembakaran gedung. Aksi ini dipicu peristiwa penyerangan asrama mahasiswa Papua di Kamasan, Surabaya, Jawa Timur oleh polisi bersenapan serbu dan gas air mata tepat di Hari Kemerdekaan Republik Indonesia.

Menggugat Impunitas

Beragam jejak peristiwa intoleransi berlatar suku, agama, dan ras terus mewarnai negeri. Sebagian tetap tak terselesaikan. Termasuk peristiwa ancaman-ancaman dan intimidasi dari aparat keamanan pada wartawan saat meliput kekerasan dan konflik.

Sepertinya, impunitas sudah jadi sesuatu yang lumrah jika seseorang atau kelompok minoritas berhadapan (atau berkonflik) dengan aparat alias Negara. Kasus menguap entah ke mana, sementara si pelaku bebas tak tersentuh. Ancaman yang diikuti peristiwa kerusuhan yang traumatis berujung pada pengusutan yang bertele-tele hingga akhirnya menguap begitu saja.

Imparsial mencatat 25 kasus intoleransi yang terekam oleh media terjadi di Indonesia sepanjang tahun 2022. Beberapa di antaranya didalangi aparat negara, dari mulai camat, bupati, Forkopimda, hingga kepolisian. 

Setara Institute for Democracy and Peace melansir data laporan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia tahun 2022. Tercatat sebanyak 50 rumah ibadah (gereja, masjid, vihara, musala, pura, dan rumah ibadah penghayat) diganggu. Mulai dari perusakan hingga penolakan pendirian.

Setara Institute juga melansir, ada 175 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama dengan 333 tindakan. Dari 333 tindakan ini, 168 tindakan di antaranya dilakukan oleh Negara (pemerintah daerah, Satpol PP, kepolisian, insitusi pendidikan negeri, dan Forkopimda).

Negara seharusnya tidak boleh jadi agen intoleransi. Namun di bulan-bulan pertama tahun 2023 ini, kita kembali harus menyaksikan lagi jejak-jejak intoleransi. Pada 26 Januari 2023, terjadi aksi pelarangan ibadah Jemaah Ahmadiyah di Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat. Di Sukabumi, Jawa Barat, pemerintah setempat menyegel pembangunan pondok pesantren Jemaah Ahmadiyah Parakansalak dengan alasan belum mengantungi izin

Foto dan teks: Prima mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//