• Foto
  • Meraba Ayat Suci

Meraba Ayat Suci

Terjadi kesenjangan antara jumlah Alquran braille dan jumlah teman-teman tunanetra yang ada di Indonesia. Wakaf Alquran braille diperlukan.

Fotografer Prima Mulia1 April 2023

BandungBergerak.idRahmat meraba titik-titik timbul di lembaran mushaf Alquran Braille di dalam kobongnya di Pondok Pesantren Tahfidz Tunanetra Sam'an Darushuduur, Kampung Sekegawir, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, 30 Maret 2023. Pemuda 21 tahun asal Purwakarta ini sesekali mendengarkan audio dari lantunan ayat suci. "Supaya cara bacanya tidak salah," katanya.

Teman sekobongnya bernama Purbo asal Malang juga ikut memanfaatkan jeda waktu antarkelas dengan memperlancar membaca Alquran braille. Purbo masuk Pesantren Tahfidz Tunanetra Sam'an Darushuduur sejak tahun 2021. Purbo mengenal huruf Arab braille saat bersekolah di SLB setingkat SMP.

"Tidak semua guru di SLB mampu baca tulis Alquran," katanya memberi alasan mengapa ia memilih untuk merantau ke Bandung demi belajar dan mempelajari Alquran braille lebih komprehensif. Selama nyantri di Darushudur ia telah hafal 5 juz Alquran. 

Huruf-huruf timbul di atas kertas tebal itu membuat mushaf atau kitab suci Alquran braille berukuran cukup jumbo dan berat. Jika dirupiahkan harganya mahal sekali. Mushaf Alquran braille tak bisa dibuat dalam satu kitab. Dia harus dibuat per juz, jadi 1 set mushaf Alquran braille lengkap bisa memenuhi satu rak buku besar. Salah satu tempat yang sejak dulu dikenal sebagai percetakan Alquran braille adalah di Yayasan Penyantun Wyata Guna (YPWG), sebuah lembaga pendidikan tunanetra tertua di Indonesia, bahkan disebut tertua di Asia Tenggara. Berdiri sejak tahun 1910 dengan nama Bandoengsche Blinden Instituut.

Proses percetakan Alquran braille diawali dengan membuat ketikan ayat-ayat suci di atas zinc plate dengan alat stereotyper. Setelah itu semua huruf dan tanda baca cetakan ayat suci dalam huruf braille itu diperiksa kembali dengan seksama.

Selanjutnya, lembaran-lembaran plat logam tersebut digunakan untuk mencetak lembar-lembar ayat Alquran menggunakan mesin tua bermerek Thomson. Konon mesin cetak huruf braille berkelir hitam merah dengan sepasang roda besar di kanan kirinya ini hanya dibuat 6 unit di dunia, dan satu-satunya yang masih berfungsi hanya yang tersisa di Bandung.

YPWG telah membuat dan menyebarkan sebagian besar Alquran braille ke seluruh Indonesia sejak tahun 1984. Total mushaf yang sudah disebar sekitar 20.000 set. Menurut data yang saya dapat dari Dinas Sosial, di Indonesia jumlah total tunanetra sekitar 1 juta orang, taruhlah yang muslimnya ada 600 ribu orang. “Masih senjang sekali ya jika dibanding dengan Alquran yang kami cetak," kata Ayi Ahmad Hidayat, pimpinan di divisi percetakan YPWG.

Berkaitan dengan banyaknya lembaga atau perorangan yang kerap membagikan wakaf Alquran Braille ke seluruh nusantara, Ayi memberi penjelasan lagi, "begini, yang jadi masalah teman-teman tunanetra ini tidak semua pandai baca tulis Alquran, braille (huruf latin)-nya juga sebagian masih buta huruf. Sebetulnya kita punya tugas besar mengedukasi mereka, pemberantasan buta huruf Alquran Braille, jadi sebelum dibagi harus dibina dulu sebelum kitab dibagikan atau disebar, yang bisa (baca tulis Alquran Braille) belum 10 persen. Saya sudah informasikan ke instansi terkait (masalah pembinaan pengajar baca tulis Alquran Braille) seperti Kemenag atau Dinsos, tapi mereka terkait birokrasi, yang dibina harus ASN."

Menurut Solehudin, Ketua Yayasan Pesantren Tahfidz Tunanetra Sam'an Darushudur, masih banyak teman-teman tunanetra buta huruf Alquran Braille. Banyak teman tunanetra yang terlambat untuk disekolahkan. Kalaupun mereka menguasai braille latin, mereka harus belajar braille Arab.

“Tidak semua pengajar di sekolah bisa mengajarkan Braille Arab,” kata Solehudin.

Pesantren penghafal Alquran di dataran tinggi Bandung utara ini sebenarnya hanya bisa menampung 20 orang santri, tapi tingginya animo masyarakat untuk menyekolahkan anaknya membuat yayasan akhirnya mengontrak rumah di seberang pesantren untuk menampung tambahan 10 santri perempuan.

"Tidak semua orang berpikir siapa yang akan mengajar baca tulis Arab Braille, orang-orang berpikir wakaf Qur'an saja, itu Alquran Braille, mikirnya dengan wakaf Qur'an amalnya ngalir, itu harus dibaca dan diamalkan, baru amalnya ngalir, kalo Qur'an sekarang ngajugrug begitu saja (hanya disimpan), hanya untuk disumbang saja sayang sebenarnya, oke pahala nyumbangnya dapat, tapi harus dibaca dan diamalkan supaya ngalir," kata Ridwan Efendi, salah seorang pendiri pesantren pada tahun 2018 lalu.  Ridwan Efendi bersama Ayi Ahmad Hidayat juga duduk sebagai Pentashih Alquran Braille di Kementerian Agama.

Azis, santri berusia 19 tahun asal Cilampeni, Kabupaten Bandung, baru saja menjalani tes hafalan oleh salah seorang mentornya. Saat lulus nanti, ia masih ingin mesantren untuk mempelajari ilmu yang lain. "Setelah semua tuntas saya ingin kembali membagikan ilmu yang saya dapat untuk masyarakat, baik yang mereka yang awas atau yang tunanetra," katanya.

Data statistik dari Kementrian Pendidikan menggambarkan jumlah tunanetra masih di bawah 10 persen yang bisa membaca Alquran Braille, sementara total jumlah tunanetra mencapai 3,5 juta jiwa. Statistik ini tak beda jauh dengan estimasi data yang dilansir Kementerian Kesehatan, jumlah tunanetra di Indonesia mencapai 1,5 persen dari jumlah penduduk, ada di kisaran 4 juta jiwa.

Angka atau data statistik kerap mengaburkan tujuan penting dari pemberantasan buta huruf Alquran Braille, yaitu mendesaknya kebutuhan tenaga pendidik baca tulis Braille Arab, bukan hanya jumlah mushafnya.

Di salah satu sudut komplek pesantren, Nurlela dan Wida terlihat tekun meraba mushaf Alquran Braille. Mereka masih harus mengikuti beberapa sesi pelajaran yang dimulai sejak pagi sampai sore nanti dengan materi hadis, tadarusan, dan kajian. Nurlela yang berusia 34 tahun merupakan istri dari salah seorang pengajar. Namun ia juga mampu mengajar dasar-dasar membaca Al Quran Braille bagi santri-santri yang masih baru belajar.

Sedangkan Wida sudah sekitar 18 bulan nyantri di pondok. Gadis asal Kebumen berusia 27 tahun ini ingin membagikan ilmunya di kampung halaman bila telah lulus nanti. "Saya ingin membagikan dan mengajarkan semua ilmu yang telah dipelajari di sini untuk teman-teman tunanetra di kampung halaman," kata Wida.

Foto dan teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//