• Foto
  • Peci M Iming di Tangan Anak Muda

Peci M Iming di Tangan Anak Muda

Pabrik dan toko legendaris Peci M Iming kini dikelola oleh anak muda generasi kelima. Menerapkan pola kerja modern, tanpa melupakan akar tradisi.

Fotografer Prima Mulia9 April 2023

BandungBergerak.id - Teguh (23 tahun) memutar-mutar kain keras warna putih yang sedang dijahitnya sesuai pola. Suara motor mesin jahit listrik riuh sebelum ia menyelesaikan satu buah peci yang masih dalam bentuk dasar, belum dilapis kain beludru atau velvet.

Teguh, yang mewarisi ilmu menjahit dari ayahnya yang seorang penjahit tas, adalah satu dari lima pekerja di pabrik peci legendaris Kota Bandung, Peci M Iming. Bengkel kerjanya berada di lantai dua rumah tua Jalan Ahmad Yani, tak jauh dari Simpang Lima. Selain ruang jahit, dengan empat unit mesin jahit, di lantai itu ada ruang potong kain yang lebih luas, yang sekaligus berfungsi sebagai kamar tidur para pekerja.

Selain Teguh, ada Dani (19), Rizki (20 tahun), dan Toni (36 tahun) yang bekerja sebagai para tukang jahit. Seorang lagi yang dituakan adalah Enjan (47 tahun), yang bertugas memotong kain sesuai pola. Sekali dalam seminggu, kelima pekerja ini libur untuk pulang kampung ke Paseh, Kabupaten Bandung.

"Kita sharing pengalaman, demi kemajuan, demi kualitas juga,” kata Toni, Kamis (6/4/2023). “Kita saling menjaga lah."

Dani dan Rizki baru setahun bekerja di pabrik Peci M Iming. Tidak memiliki pengetahuan dasar tentang menjahit, mereka berdua belajar mendadak secara otodidak. Ketekunan mengantar mereka menjadi tukang kopiah.

Sekitar 10 tahun yang lalu, di bengkel kerja yang sama di lantai dua itu, para pembuat peci atau kopiah atau ada juga yang menyebutnya songkok, adalah para pekerja berusia lanjut dari generasi ke-3 pengelola pabrik dan toko Peci M Iming. Mereka secara turun-temurun melanjutkan pekerjaan orang tua mereka yang dulu menjadi tukang kopiah di masa mendiang Mas Iming masih hidup (1888-1960).

Ketika pengelolaan pabrik dan toko Peci M Iming beralih ke generasi keempat, regenerasi pembuat kopiah masih jadi persoalan. Tuntutan yang mengharuskan tukang kopiah mengerjakan sebuah peci dari awal sampai akhir, amatlah berat.

Semua berubah di tangan generasi kelima. Ella menceritakan bagaimana anaknya memperkenalkan pola kerja baru yang lebih efektif dan cepat seperti di pabrik-pabrik modern. Para pekerja, yang sebagian besar anak muda, membuat jahitan sesuai bagiannya. Bukan lagi bekerja dengan gaya lama yang menuntut seorang tukang kopiah bias membuat peci dari awal sampai akhir. Masing-masing orang membuat bagian dasar peci yang kemudian tinggal disatukan.

Pola kerja berubah, tapi tidak dengan kualitas pecinya. Peci M Iming tetap mempertahankan komponen dasar peci yang disebut racekan, yakni gabungan antara bahan kain keras dan kain beludru kualitas paling tinggi.  “Namun pakem racekan ini disesuaikan dengan era saat ini," tutur Ella.

Menyesuaikan dengan zaman, pabrik dan toko Peci M Iming sanggup bertahan selama lebih dari satu abad. (Foto:: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Peci untuk Semua

Sejarah merek peci legendaris asli Bandung ini dimulai dari sepak terjang pemuda asal Pekalongan, Mas Iming, yang mencoba membuat peci dan menjualnya di emperan toko tahun 1918. Peci itu diberi merek M Iming. Pada tahun 1921, Iming mulai menempati rumah panggung di Jalan Ahmad Yani, dekat Simpang Lima (dulu namanya Jalan Raya Timur). Peci jualannya dipajang di depan rumah yang merangkap pabrik, dengan etalase berupa kotak kayu bekas boks sabun. Sekarang letaknya persis di depan jendela dengan tulisan "Toekang Kopeah" di bawahnya.

Peci buatan Mas Iming semakin dikenal dan mulai memiliki banyak pelanggan. Rumah sekaligus pabrik itu diubah menjadi bangunan permanen sekitar tahun 1930-an. Toko inilah yang terus bertahan sampai sekarang. Peci-peci tetap dipajang dalam lemari-lemari tua dari era Mas Iming, sebagian lagi di etalase kaca.

Pada tahun 1985, dua cucu M Iming sepakat berpisah manajemen. Yang satu menempati toko di Jalan Ahmad Yani, yang satu lagi menempati toko Jalan Suci. Kedua toko yang sekarang mulai dikelola oleh generasi kelima ini memiliki pelanggannya masing-masing.

Memang sejak dulu Peci M Iming dipakai oleh para negarawan, pemimpin daerah, menteri, gubernur, walikota, bahkan presiden. Peci ini juga telah menyebar di daerah-daerah di luar Bandung dan Jawa Barat. Namun pelanggan utamanya tetaplah warga kebanyakan yang uniknya, mewariskan juga kegemaran memakai Peci M Iming ke generasi berikutnya.

Aman Suparman (63 tahun), misalnya, datang ke Jalan Ahmad Yani untuk membeli peci untuk menyambut Ramadan dan lebaran bersama anaknya, Fadil (21 tahun). Dulu ia mengenal Peci M Iming karena diajak oleh sang ayah ke toko yang sama. "Peci itu istilahnya jajan awet, asal perawatannya benar," ujarnya.

Ramadan tahun ini toko Peci M Iming menyiapkan stok hingga 500 kodi dengan harga satuannya mulai dari 85 ribu, 150 ribu, hingga 500 ribu. Pada Ramadan tahun lalu, toko hanya menyiapkan stok 350 kodi karena kekhawatiran masih ada pembatasan mobilitas orang di masa pandemi Covid-19. Nyatanya, perkiraaan meleset. Pelanggan antre di luar toko seperti antre sembako murah.

"Peci Iming itu peci untuk semua,” kata Ella. “Bukan pejabat saja."

Dalam rentang 105 tahun, perjalanan bisnis Peci M Iming tak selalu mulus. Banyak warna-warninya. Kini di tangan anak-anak muda, pabrik dan toko peci legendaris di Bandung ini berubah menyesuaikan dengan zaman tanpa harus melupakan akar tradisi yang telah ditanamkan oleh moyangnya terdahulu.

 

*Foto dan teks: Prima Mulia

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//