Sampurasun, Rahayu
Para penghayat menghadiri acara menjemput hari kelahiran Mei Kartawinata, tokoh penghayat sekaligus pejuang di masa prakemerdekaan, di Ciparay, Kabupaten Bandung.
Para penghayat menghadiri acara menjemput hari kelahiran Mei Kartawinata, tokoh penghayat sekaligus pejuang di masa prakemerdekaan, di Ciparay, Kabupaten Bandung.
BandungBergerak.id - Wangi kemenyan meruak ke seluruh penjuru pelataran Pasarean Mama Mei Kartawinata, Ciparay, Kabupaten Bandung. Dua puluh macam sesajen tertata rapi di atas meja. Lebih dari seratus orang penghayat berkumpul dan bertukar cerita diiringi petikan kecapi.
Acara menjemput hari kelahiran Mei Kartawinata, tokoh penghayat sekaligus pejuang di masa prakemerdekaan, di tempat peristirahatannya pada Minggu (30/4/2023) malam itu berlangsung hangat dan khidmat. Hujan rintik-rintik di luar pasewakan itu seakan ikut bertafakur.
“Sejauh ini, yang diketahui masyarakat tentang kepercayaan (penghayat) itu hanya selintas saja,“ ucap Nanda Shelly Susanti, seorang penghayat muda Budi Daya, kepada BandungBergerak.id, Minggu (30/4/2023).
Dahulu penghayat merupakan kepercayaan nenek moyang. Aliran penghayat kini menempati posisi minoritas di tengah masyarakat modern. Tak jarang mereka dipandang asing atau bahkan mendapat perlakuan diskriminatif, meski negara sebenarnya sudah mengakui mereka sebagai kelompok penganut kepercayaan kepada Tuhan YME.
Nama Mei Kartawinata sendiri mungkin masih asing di telinga publik. Namun, bagi masyarakat penghayat, Mama Mei, begitu ia sering dipanggil, adalah sosok yang ajarannya hingga kini masih diamini dan diamalkan. Beliau adalah sosok penting bagi masyarakat penganut kepercayaan.
Di buku-buku sejarah sekolah, hampir tidak pernah tertulis nama Mama Mei. Padahal, mengutip dari laman Organisasi Budi Daya, Mama Mei juga adalah seorang pahlawan revolusioner yang berjuang membebaskan Indonesia dari cengkraman penjajah. Semangat nasionalisme dan patriotisme yang ia tularkan kepada bangsa Indonesia membuat Mama Mei sempat keluar masuk penjara.
“Walaupun kami mendapatkan perlakuan diskriminasi dari lingkungan sekitar, dari sekolah, dari pemerintah, tapi kami tetap menjalankan apa yang memang juga keinginan dari leluhur kami, menjalankan nilai-nilai Pancasila,” kata Nanda.
Pasarean Mama Mei Kartawinata berlokasi di Kampung.Karang Pawitan, Desa Pakutandang, sekitar 5 menit perjalanan dari alun-alun Ciparay menggunakan sepeda motor. Sejak pukul 19.00 WIB, para penghayat dari berbagai daerah di Bandung Raya ini telah berkumpul mengenakan pakaian pangsi dan iket bagi laki-laki serta kebaya dan kain batik bagi perempuan.
Satu demi satu agenda acara dilangsungkan. Semua usia dan latar belakang dilibatkan dalam prosesi ini. Anak-anak menjalankan prosesi kirab sesajen. Muda-mudi memimpin penyanyian lagu Indonesia Raya sekaligus membacakan teks Pancasila dan sumpah pemuda. Para wanoja menampilkan rampak sekar. Dan, para sesepuh memimpin doa.
Menjelang tengah malam, di tengah-tengah guyuran hujan, selepas prosesi tabur bunga, agenda hening panggalih atau pineja digelar. Suasana menjadi hening seketika ketika sesepuh mulai berbicara. Semua yang hadir memejamkan matanya. Dari dalam hati masing-masing, semuanya mengucapkan terima kasih atas segala hal yang telah didapatkan dari Sang Pemberi Kehidupan. Tak lupa doa juga dipanjatkan kepada Mama Mei atas pengetahuan yang telah beliau disampaikan.
“Kita harus makin kuat, makin saling menguatkan, menyemangati. Jangan sampai kita meninggalkan satu sama lain,” harap Nanda, “kegiatan kami hanya sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Tuhan dan kepada leluhur kami.”
Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Méi Kartawinata adalah tradisi tahunan yang diselenggarakan oleh organisasi Budi Daya. Bagi organisasi penghayat ini, kegiatan ini adalah upaya merawat dan mencintai tradisi leluhur. Selain itu, upaya mengingatkan agar saling menjaga sesama manusia dan makhluk hidup lain.
Sakali rahayu tetep rahayu.
*Foto-foto: Virliya Putricantika; Teks: Tofan Aditya
COMMENTS