• Cerita
  • Menjemput Kelahiran Mama Mei Kartawinata

Menjemput Kelahiran Mama Mei Kartawinata

Acara menyambut kelahiran Mei Kartawinata yang ke-126 tahun ini sebagai peringatan peran tokoh penghayat Budi Daya sekaligus pejuang revolusi kemerdekaan RI.

Para penghayat muda Budi Daya berdoa di peristirahatan Mei Kartawinata, Desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (30/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Tofan Aditya2 Mei 2023


BandungBergerak.idPukul 19.12 WIB, kami, redaksi BandungBergerak.id, baru tiba di pekarangan Pasewakan Kerta Tataning Hirup Linuwih, Ciparay, Kabupaten Bandung, terlambat 12 menit dari waktu seharusnya. Ketika memasuki gapura, kami melihat sebuah bus, beberapa mobil pribadi, dan belasan sepeda motor sudah terparkir rapi, tanda orang-orang telah berkumpul. Melihat kami yang baru sampai, beberapa Taruna Budi Daya segera mengarahkan kami untuk berjalan kaki ke lokasi acara.

Beruntunglah, lokasi Pasarean Mama Mei Kartawinata tidak jauh dari lokasi kami parkir. Kurang dari 5 menit kami sudah sampai. Seperti dugaan kami, lebih dari 100 orang, yang terdiri dari berbagai usia, sudah duduk menanti dimulainya acara. Nanda Shelly Susanti (20), ketua pelaksana pada acara malam ini, mengatakan bahwa mereka datang dari berbagai wilayah, seperti Lembang, Wastukencana, dan Gedebage.

Pada Minggu (30/4/2023) ini, kami beruntung berkesempatan untuk hadir dalam Pangéling-ngéling Kalahiran Mama Méi Kartawinata Anu ka-126 Taun. Acara tahunan yang merupakan perayaan menjemput sekaligus mengingat hari kelahiran dari pembawa pinutur atau wangsit dari tokoh penghayat Budi Daya sekaligus tokoh revolusi kemerdekaan: Mama Mei Kartawinata.

“Karena sejauh ini yang diketahui masyarakat tentang kepercayaan itu hanya selintas aja gitu,“ terang Nanda ketika ditanyai perihal alasan diundangnya kami, selaku pihak luar, ke acara yang sakral ini. “Harapannya bisa memberitakan secara detail terkait kegiatan yang mana belum diketahui maksud dan tujuannya apa.”

Setelah mengisi daftar hadir, kami diarahkan duduk di pelataran, berhadapan langsung dengan tempat peristirahatan Mama Mei Kartawinata. Di pelataran, kami disambut foto hitam putih Mama Mei Kartawinata, lengkap dengan bendera merah putih di samping kiri dan kanannya, serta iringan kecapi dan aroma kemenyan.

Sambil menanti dimulainya acara, kami memperhatikan sekitar. Semua orang yang hadir menggunakan pakaian adat Sunda: pangsi hitam dan iket bagi laki-laki dan kebaya putih atau merah serta kain samping bagi perempuan. Melihat kami yang berpakaian casual, beberapa orang memperhatikan balik. Tapi meski demikian, kami tidak dipandang sebelah mata, justru senyum dan sapaan hangat yang kami terima.

“Sampurasun. Rahayu.”

Menjelang pukul 19.30 WIB, pembawa acara Deti dan Wiwit menyapa semua orang yang hadir di pasarean Mama Mei Kartawinata. Mereka berdua menjelaskan berbagai agenda yang akan hadir pada malam ini. Selain itu, mereka juga menyampaikan bahwa acara akan berlangsung hingga tengah malam.

Di tahun ini, tema yang diangkat adalah Manjing Wanci Kaasih Ku Tali Paranti, Pikeun Ngariksa Ngaraksa Baraya, Sangkan Jadi Ciri Sanagri Cara Sadesa. Manjing Wanci bermakna konsistensi terhadap waktu, mengingat kembali budaya dan ritual kepada leluhur. Kaasih Ku Tali Paranti bermakna menyanyangi adat dari leluhur. Pikeun Ngariksa Ngariksa Baraya bermakna saling mengawasi dan menjaga sesama manusia dan makhluk hidup lain. Sangkan Jadi Ciri Sanagri Cara Sadesa bermakna meskipun berbeda-beda dalam hal ritual tetapi tetap satu tujuan.

“Terus juga supaya kita bisa saling menyayangi selama hidup. Karena itu kan sudah menjadi tujuan dari masyarakat kepercayaan,” kata Nanda.

Dari arah belakang pelataran, anak-anak berdiri bersiap melakukan prosesi kirab sesajen. Anak yang paling depan nampak membawa bendera Indonesia, di belakangnya, anak-anak lain membawa berbagai macam sesajen. Total ada 20 sesajen yang disajikan, mulai dari kendi yang di dalamnya berisi air dan pohon hanjuang, tumpeng, bunga tujuh rupa, kelapa, hingga bakakak. Setiap barang memiliki simbol sendiri. Tapi secara keseluruhan, sesajen adalah menifestasi bentuk syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa dan cara masyarakat penghayat untuk memaknai alam sekitar.

Selepas prosesi kirab, acara dilanjutkan dengan amitsun dan hening panggalih oleh Yaya dan Ugan sambil diiringi rajah oleh Kusrono dan Deni Tarawangsa. Lalu, adapula pupuh Dangdang Gula Kawali oleh Ambu Neni.

Kemudian, pembawa acara meminta semua orang berdiri. Intan mengambil posisi, tangannya sudah siap memandu orang-orang untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya. Khitmat. Selepas menyanyikan lagu kebangsaan, kami tidak serta merta duduk. Agenda dilanjutkan dengan pembacaan teks Pancasila oleh Irfan dan Sumpah Pemuda oleh Fajar dan Sinta.

Kami tertegun. Meski masyarakat penghayat acap kali menerima perlakuan diskriminasi dari negara, rupanya cinta mereka terhadap bangsa ini tidak perlu diragukan. Masyarakat penghayat Budi Daya tidak hanya sekadar lantang melafalkan falsafah Indonesia, lebih dari itu mereka mengamalkannya. Padahal, mereka tidak pernah mengikuti seminar kebangsaan atau program pemerintah lain yang berkaitan dengan penguatan ideologi bangsa, tapi ucap-lampah mereka sudah menunjukkan kalau mereka paham betul makna dari Pancasila.

“Walaupun kami mendapatkan perlakuan diskriminasi dari lingkungan sekitar, dari sekolah, dari pemerintah, tapi kami tetap menjalankan apa yang memang juga keinginan dari leluhur kami, menjalankan nilai-nilai Pancasila,” komentar Nanda ketika merespons diskriminasi yang kerap dialami para penghayat karena dianggap bertentangan dengan Pancasila.

Acara dilanjutkan dengan sambutan oleh Ketua Pelaksana Nanda Shelly Susanti, Ketua Pusat Budi Daya Bapak Engkus Ruswana, dan Perwakilan Seweu-Siwi Mama Mei Kartawinata Weli yang merupakan cicit Mama Mei Kartawinata. Selepas itu, Ayu menembangkan pupuh kinanti.

Tak hanya diisi oleh ritual, acara malam ini juga menghadirkan dialog refleksi. Beberapa topik dibahas dalam diskusi malam ini: ajaran kepercayaan, sejarah Mama Mei Kartawinata, dan keterkaitan antara tema dan ajaran yang dipercayai. Dalam dialog refleksi ini, Abah Ugan dan Engkus menjadi pembicara untuk menjelaskan topik-topik tadi.

Mei Kartawinata lahir 1 Mei 1897 dari pasangan RD. Kartowidjojo dari Rembang (Madjapahit Brawidjaya) dan RD Mariah dari Bogor(Padjadjaran Siliwangi) (Boedi Daja M. Kartawinata, kebudayaan.kemdikbud.go.id). Mei Kartawinata merupakan tokoh yang aktif mengajaran ajaran leluhur. Pengajaran ini ia lakukan dengan membangkitkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Dua nilai terakhir tersebut penting karena bangsa Indonesia masih dalam cengkraman penjajah.

Aktivitasnya yang lantang menyerukan semangat kebangsaan dan kemerdekaan dianggap membahayakan bagi bangsa penjajah. Mei sempat dibui pada tahun 1937, 1942, 1946,dan 1949 dengan penjara yang berpindah-pindah mulai dari Bandung (penjara Cigereleng, penjara Banceuy, penjara Sukamiskin) hingga Cirebon, Yogyakarta dan Glodok, Jakarta.

Baca Juga: Laga Para Penghayat Muda
Himpunan Penghayat Kepercayaan Berharap Dibentuknya Kementerian Khusus Kepercayaan dan Agama Leluhur
Mengukuhan Kapasitas Perempuan Penghayat Melalui Program Kaderisasi Puanhayati

Para penghayat cilik turut hadir dalam kegiatan di tempat peristirahatan Mei Kartawinata Desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (29/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Para penghayat cilik turut hadir dalam kegiatan di tempat peristirahatan Mei Kartawinata Desa Pakutandang, Kecamatan Ciparay, Kabupaten Bandung, Minggu (30/4/2023). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Ujung Acara

Setelah hampir dua jam, dialog refleksi berakhir. Jarum pendek menunjuk angka 10 sementara jarum panjang menunjuk angka 2. Sepuluh orang wanoja yang mengenakan kebaya merah dan kain batik berdiri tanpa alas kaki. Pelantang ada di hadapan mereka. Agenda rampak sekar dilangsungkan. Total ada dua lagu yang wanoja Budi Daya ini bawakan. Pertama berjudul Cacandran atau Sunda Mekar, kedua berjudul Gentra Pancasila.

Selepas rampak sekar, agenda dilanjutkan dengan prosesi potong tumpeng dan makan bersama. Lalu, ada pelantunan pupuh sinom oleh Kuntari dan pembacaan puisi oleh Ocim.

Waktu berlalu tanpa terasa. Kian malam agenda kian sakral. Hujan yang turun pada malam itu tidak menjadikan suasana berubah dingin. Prosesi tabur bunga adalah agenda selanjutnya. Sambil dipirig (diiringi) tarawangsa, Fatimah, putri dari Mei Kartawinata, perlahan berjalan menaiki undakan. Usia senja memuat sesekali langkahnya goyah, tapi tidak menghentikannya. Berdampingan langsung dengan makam, Fatimah memejamkan mata, berdoa. Setelah Fatimah, prosesi tabur bunga dilanjutkan oleh perwakilan organisasi Budi Daya dan perwakilan muda-mudi.

Acara berlanjut. Selepas Ambu Neni menembangkan pupuh Asmarandana, sesepuh memimpin agenda hening panggalih atau pineja. Ketika sesepuh berbicara, suasana yang semula riuh berubah hening. Semua orang memejamkan mata, memanjatkan doa untuk segala hal baik yang diharapkan terjadi di masa mendatang.

Menjelang tengah malam, kami telah berada di pengujung acara. Hujan masih mengguyur lokasi Pasarean Mama Mei Kartawinata, seolah ingin ikut terlibat dalam acara malam ini. Setelah pemberian cinderamata, pembawa acara menutup acara. Semua yang hadir kemudian bersiap pulang.

“Kita harus makin kuat, makin saling menguatkan, menyemangati. Jangan sampai kita meninggalkan satu sama lain,” harap Nanda, “kegiatan kami hanya sebagai bentuk rasa syukur kami kepada Tuhan dan kepada leluhur kami.”

Sakali rahayu tetep rahayu.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//