Mengukuhan Kapasitas Perempuan Penghayat Melalui Program Kaderisasi Puanhayati
Sudah lama perempuan penghayat kepercayaan mendapatkan diskriminasi. Program kaderisasi Puanhayati mengajak mereka sadar akan kesetaraan gender.
Penulis Reza Khoerul Iman28 Agustus 2022
BandungBergerak.id – Belum lama ini, beredar informasi terkait penghayat kepercayaan dari wilayah Kabupaten Bandung, Jawa Barat, yang masih menemui kendala dalam urusan pelayanan administrasi dan pendidikan. Hal ini sangat merugikan bagi penghayat kepercayaan karena mereka mendapat hambatan dalam mengakses pelayanan publik dan hak mendapat pendidikan.
Padahal segala regulasi terkait penganut aliran kepercayaan telah diatur dalam Putusan Mahkamah Konstitusi No 97/PUU-XIV/2016, yang dengan jelas menyatakan penganut aliran kepercayaan memiliki kedudukan hukum yang sama dengan pemeluk enam agama yang telah diakui pemerintah. Regulasi tersebut sekaligus membuat status penganut kepercayaan dapat dicantumkan dalam kolom Kartu Keluarga (KK) dan Kartu Tanda Penduduk (KTP) sebagai penghayat kepercayaan tanpa merinci keyakinan yang dianut.
Tidak berhenti di sana, sudah lama para penghayat kepercayaan masih kerap mendapatkan diskriminasi dari berbagai pihak. Faktor ini menjadi salah satu penyebab para penghayat kepercayaan memiliki tingkat kepercayaan diri yang rendah untuk mengungkapkan identitas dirinya sebagai penghayat kepercayaan.
Atas dasar permasalahan inilah, Puanhayati Nasional menggelar pelatihan bagi para Perempuan Penghayat Kepercayaan untuk mengukuhkan kapasitas dan meningkatkan kualitas mereka sebagai penghayat kepercayaan. Kegiatan tersebut didukung oleh Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kesatuan Bangsa dan Politik Provinsi Jawa Barat, dan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI).
Ketua Pusat Puanhayati, Dian Jennie Tjahjawati menyebut program pelatihan tersebut merupakan sebuah bentuk upaya untuk memulai sebuah gerakan untuk memahami dan memiliki kesadaran akan kesetaraan gender.
“Melalui pemahaman tersebut itulah akan muncul kepercayaan diri dan memiliki kemampuan yang akan mengaplikasikan pendidikan gender ini kepada komunitasnya, sehingga akan banyak perempuan penghayat kepercayaan yang mampu duduk setara dan memberikan kontribusi bagi penghayat kepercayaan di internal organisasi juga di dalam kehidupan bermasyarakat,” tutur Dian kepada BandungBergerak.id, Kamis (8/25/2022).
Dian menyebutkan, tentunya kegiatan ini bukan hanya membahas tentang konsep gender, jauh daripada itu kegiatan ini juga bertujuan untuk menguatkan kapasitas dalam sisi intelektualitas. Hal ini bertujuan untuk membentuk sisi manajerial sebagai fasilitator dan memiliki kecakapan dalam mengelola ekonomi yang kemudian memiliki berbagai keahlian untuk berkiprah lebih luas lagi.
Beberapa poin yang diangkat di dalam fokus pelatihan kali ini didasari atas kasus-kasus yang pernah dialami oleh para penghayat kepercayaan, khususnya para perempuan penghayat. Seperti masih kentalnya stigma dari sejumlah masyarakat terhadap penghayat kepercayaan, atau masih kurangnya implementasi dari regulasi yang telah ditetapkan sehingga menghambat layanan terhadap para penghayat kepercayaan.
Masih Rendahnya Sosialisasi
“Semua regulasi terkait penganut aliran kepercayaan sebenarnya sudah terbuka. Sekarang penghayat sudah bisa membuat KTP dan KK, begitu juga melakukan pernikahan hingga menjadi anggota TNI, Polri, atau PSN. Jadi semua regulasi sudah terbuka, tinggal kitanya yang membuka diri untuk tidak ekslusif,” ungkap Ketua Puanhayati Jawa Barat, Rela Susanti.
Kendati demikian, Rela menyebut bahwa regulasi yang sudah ditetapkan tersebut masih belum disosialisasikan secara maksimal. Akibatnya, di sejumlah tempat masih ada para penganut kepercayaan yang masih mendapat diskriminasi dan hambatan layanan administrasi.
Rela mengaku, pengimplementasian regulasi hingga sekarang masih sangat rendah penyebarannya, pemahaman dari pusat belum sampai ke akar rumput sehingga masih ada informasi yang tersumbat di beberapa tingkatan. Oleh karenanya ia berharap juga peran pemerintah untuk membantu mensosialisasikan atas regulasi yang telah ditetapkan, karena ia mengaku cukup kesulitan ketika melakukan sosialisasi di tingkat instansi pemerintahan.
Saat ini di Jawa Barat, Rela menyebut baru Kesbangpol Kota Bandung saja yang baru membuka dirinya dan membantu untuk mensosialisasikan tentang penganut penghayat kepercayaan melalui audensi. Ia harap kegiatan yang diinisiasi oleh Kesbangpol Kota Bandung dapat diduplikasikan di tingkat Jawa Barat agar proses sosialisasi dapat lebih efektif.
Baca Juga: Kolom Agama dan Jalan Panjang Penghayat
Laga Para Penghayat Muda
Ruang bagi Transgender dan Penghayat Kepercayaan di Kolom KTP Kota Bandung
Harapan Perempuan Penghayat Kepercayaan
Kegiatan pelatihan yang dihadiri oleh 28 peserta, yaitu yang terdiri dari Aliran Kebatinan Perjalanan, Budidaya, Kejiwaan Ibu Pertiwi dari Karawang, Persatuan Sapta Darma (Persada), dan perseorangan, sangat disambut dengan antusias. Semua para peserta tentunya berharap dapat meningkatkan kapasitas dan kualitas mereka, selepas mengikuti pelatihan tersebut.
Salah satu peserta dari Aliran Kebatinan Perjalanan (AKP), Sintia Soniawati berharap pelatihan tersebut dapat memberikan manfaat dan dampak yang baik untuk pribadi masing-masing dan tentunya untuk masyarakat yang lebih luas. Tentunya hal ini dapat diraih dengan merubah pola pikir dan mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan terkait yang digelar.
“Sebenarnya kapasitas mereka itu sungguh luar biasa apabila kita gali kembali. Namun karena adanya bentukan budaya dan terdapat diskriminasi-diskriminasi membuat kapasitas perempuan itu menjadi tertutup dan tidak terlihat. Jadi ketika ada kesempatan untuk mendobrak atau menggerakan kapasitas yang dimiliki perempuan penghayat itu menjadi sulit,” ungkap Sintia kepada BandungBergerak.id.
Oleh karenanya ia menaruh harapan besar terhadap kegiatan-kegiatan seperti ini mampu menumbuhkan kembali kapasitas yang dimiliki oleh para perempuan penghayat kepercayaan.