Sepak Bola Api dari Cibiru Hilir
Tidak banyak daerah di Indonesia yang memainkan tradisi sepak bola api. Di Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, tradisi ini masih dimainkan.
Tidak banyak daerah di Indonesia yang memainkan tradisi sepak bola api. Di Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, tradisi ini masih dimainkan.
BandungBergerak.id - Usai salat Isya berjamaah di Masjid Safinatussalam, warga permukiman di sekitar Bumi Harapan Cibiru, Desa Cibiru Hilir, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, berkumpul di lapangan samping masjid. Wajah-wajah berpendar tersapu cahaya oranye ratusan obor yang mereka genggam, menerangi gelap malam kawasan permukiman yang berada di dekat eks stasiun kereta api Cimekar lama tersebut.
Perlahan iring-iringan anak-anak, remaja, ibu-ibu dan bapak-bapak, berjalan keliling kampung, sambil bersalawat. Pawai obor ini jadi penanda datangnya Tahun Baru Islam 1 Muharam 1445 H atau Selasa (18/7/2023).
Warga yang tak ikut pawai keluar dari rumah masing-masing sambil menunggu di halaman atau teras rumah, menanti iring-iringan pawai melintas. Keriuhan ini diwarnai juga dengan atraksi para penyembur api dan pemain tongkat api. Iring-iringan pawai akhirnya tiba kembali di lapangan samping masjid.
Dan acara puncak yang ditunggu-tunggu pun tiba, yaitu sepak bola api. Tradisi ini digelar rutin setiap peringatan Tahun Baru Islam di kawasan tersebut. Setelah 3 tahun ditiadakan karena pandemi Covid-19, sepak bola api akhirnya untuk pertama kalinya bisa digelar kembali pascapandemi.
Tim pun dibentuk secara dadakan mewakili masing-masing Rukun Tetangga (RT) yang ada di lingkungan tersebut. Satu tim terdiri dari lima pemain, setiap pemain wajib memakai sarung. Dua buah ember besar berisi air disiapkan. Masing-masing pemain membasuh kedua kakinya dalam ember tersebut sebelum kick off.
Buah kelapa kering yang sudah direndam minyak tanah selama beberapa waktu jadi bolanya. Wasit memastikan tim yang sudah siap. Pemain mulai mengatur strategi, pemain belakang berjaga di sekitar gawang yang lebarnya hanya sekitar 1 meter saja.
Wasit menyulut kelapa yang seketika berubah jadi bola api berwarna merah oranye. Lidah api menjalar ke mana-mana tertiup angin. Saat tersapu cahaya api yang menyala-nyala, tampak wajah para pemain meringis ragu.
"Giring dan tending bola pakai telapak, jangan pakai punggung kaki atau sisi kaki, tidak akan panas," teriak wasit kepada para pemain.
Dan peluit pun berbunyi diiringi sorak sorai penonton saat bola api menggelinding liar di tendang para pemain.
Bunga api memercik ke mana-mana. Sesekali para pemain tiba meloncat menghindar bersamaan dengan ekspresi wajah kaget saat bunga api memercik. Penonton pun kembali tergelak sambil terus memberi semangat.
Kali ini giliran para wartawan peliput yang blingsatan loncat ke sana ke mari dan lari tak karuan saat bola yang ditendang tiba-tiba melenceng dan mengarah ke mereka. Penonton kembali tertawa senang melihat penderitaan para juru foto dan juru kamera televisi yang tunggang langgang menghindar.
Malam itu, semua senang dan tak ada raut persaingan baik antara penonton pendukung maupun para pemain tim bola api. Semua semata dilakukan untuk menyambung tali silaturahmi antarwarga sambil memberi tontonan yang menghibur. Tradisi sepak bola api ini boleh dibilang jarang digelar lagi, apalagi di wilayah kota besar.
"Benar, sepak bola api ini bukan untuk kompetisi, selain untuk menjaga silaturahmi, juga sebagai jalan dakwah agar masyarakat semakin giat melaksanakan ibadah berjamaah di masjid kita ini," kata Ketua DKM Safinatussalam Abdurrahman Elfikri.
Sesuai dengan tema yang diusung, momentum peringatan 1 Muharam 1445 H ini untuk melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan menuju baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur yang menurut sejumlah pendapat ahli tafsir bisa diartikan sebuah negeri yang mengumpulkan kebaikan alam dan kebaikan perilaku penduduknya.
Permainan sepak bola api pekan lalu hanya dimainkan oleh orang dewasa saja, karena anak-anak tidak ada yang berani bertanding. Namun bukan berarti mereka tak berani memainkannya. Usai pertandingan orang dewasa, anak-anak malah asyik menendang-nendang bola kelapa yang menyala itu di lapangan.
"Nggak panas ah, nendangnya pakai telapak kaki kata pas ustaz, seru juga ya," kata bocah perempuan usia 10 tahun bernama Syifa. Ia terus meminta bola pada teman-temannya yang mulai berani bermain menendang-nendang bola api.
Entah sejak kapan sepak bola api dimainkan dan jadi tradisi. Ada yang menyebutnya tradisi ini merupakan permainan tradisional khas Indonesia. Ada yang menyebut permainan ini berasal dari Sumba Barat lalu menyebar ke Jawa. Yang jelas, sepak bola api jadi permainan tradisi dari generasi ke generasi yang umum dimainkan para santri di pesantren-pesantren di Pulau Jawa sejak dahulu.
Para santri biasanya memainkan sepak bola api pada hari-hari besar keagamaan. Saat menjelang Ramadan atau Tahun Baru Islam, contohnya. Di wilayah Bandung, tak banyak lagi daerah atau pesantren yang melaksanakan permainan sepak bola api. Di beberapa perkampungan di Bandung Timur, hanya di Cibiru Hilir yang masih terdengar gaungnya.
Di daerah lain, misalnya Garut yang berencana untuk menghidupkan kembali permainan tradisional yang pamornya meredup setelah tahun 1965. Tahun ini pemerintah daerahnya akan membalut event unik ini jadi agenda wisata religi yang identik dengan Garut. Di Cirebon lain lagi. Selain dimainkan saat hari-hari besar keagamaan, sepak bola api juga kerap dimainkan untuk hiburan rakyat pada puncak akhir tahun ajaran baru di pesantren-pesantren.
COMMENTS