• Foto
  • Tumpah di Asia Africa Festival

Tumpah di Asia Africa Festival

Helaran budaya lintas negara Asia Africa Festival kembali digelar di Bandung, setelah tiga tahun alfa karena pandemi. Delegasi asing tak semeriah dulu.

Fotografer Prima Mulia5 Agustus 2023

BandungBergerak.idRangkaian peringatan Konferensi Asia Afrika ke-68 sejak bulan April lalu ditutup dengan helaran atau parade budaya di Jalan Asia Afrika, Kota Bandung, Sabtu (29/7/2023). Parade dimulai dari depan hotel Savoy Homann, Gedung Merdeka, dan berakhir di Jalan Cikapundung. Namanya keren, Asia Africa Festival 2023 dengan tema Universe of Creative Culture.

Warga menyemut di sebagian ruas Jalan Asia Afrika, Braga, Homann, Cikapundung, dan Naripan, sejak tengah hari di bawah sengatan terik matahari musim kemarau. Waktunya juga pas, saat libur akhir pekan. Sebuah panggung dan tenda khusus untuk para pejabat dan tamu delegasi asing berdiri di ujung Jalan Braga pendek dan depan gedung De Vries. Kabarnya ada 17 negera mengirimkan delegasi, delapan di antaranya ikut berpawai bersama perwakilan sejumlah daerah dalam helaran budaya.

Setelah tiga tahun tak lagi digelar selama pandemi Covid-19, pantas jika masyarakat begitu antusias menunggu pawai budaya Asia Afrika yang selama ini menjadi agenda tahunan sejak tahun 2015. Warga kota yang haus hiburan berupa festival di luar ruang ini terus mendesak kerumunan sampai menutup jalur jalan yang akan dilalui peserta parade.

Petugas kepolisian dan Satpol PP juga terus meminta warga untuk tertib dan membuka ruang agar bisa dilalui peserta parade. Para penonton terus mendesak demi dapat sudut pandang yang luas. Mereka kompak berteriak-teriak agar barisan penonton paling depan bisa duduk tak menghalangi pandangan. Suasanaya mirip di tribun pertandingan sepak bola.

Suasana makin panas di tengah sengatan matahari dan ribuan warga yang berkerumun. Para pejabat pun makin semangat menyampaikan pidato-pidato pembukaan yang "membosankan".  Saat parade budaya dibuka dengan membunyikan angklung serentak oleh para pejabat dan tamu undangan, para penari jaipongan beraksi dengan memadukan koreografi tradisional dan kontemporer.

Penonton semakin merangsek ke jalanan. Dalam hitungan menit, sejumlah warga yang sudah menunggu berjam-jam di bawah cuaca panas roboh ke tanah. Para petugas PMI dan relawan lalu lalang mengevakuasi para penonton yang pingsan.

Parade jalan terus, beberapa remaja membawa papan nama negara-negara yang mengirim perwakilannya ke festival ini. Beberapa peserta parade perwakilan asing mulai melintas "catwalk" jalanan, para penonton pun berebut merekam video, update status di media sosial, atau sekedar berfoto bersama peserta parade.

Banyak remaja Bandung yang berpartisipasi mewakili peserta parade delegasi asing maupun dari daerah. Untung wajah orang Indonesia masih ada kesamaan dengan negara-negara lain di wilayah Asia, tak terlalu kentara jadinya. Peserta parade dari daerah di antaranya dari Lampung, Sulawesi Utara, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Delegasi asing yang terlihat melintas di antaranya dari Jepang, Thailand, dan Mesir.

Yang paling mencolok adalah peserta parade yang membawa papan Bandung Culture. Mereka berpakaian atau berkostum dengan gaya kontemporer, dengan ukuran kostum yang besar-besar dan warna emas mencolok. Ini gaya andalan parade yang selalu muncul di perhelatan hari jadi Kota Bandung. Rombongan peserta bekostum kontemporer itu tetap menarik perhatian para penonton. Mereka bergantian berfoto dengan para peserta. Bahkan para cosplayer hantu yang selama ini jadi ikon sekitar alun-alun dan Gedung Merdeka dibuat pangling. Cosplayer berdandan dan berpenampilan seram itu juga asyik ikut nonton parade.

Warga masyarakat juga sepertinya sangat senang bisa melihat keramaian festival yang meriah tanpa dipungut biaya. Kendati harus rela berdesakan, kepanasan, dan kecopetan.

"Seru, acaranya keren, biar panas tapi asyik bisa lihat lagi festival Asia Afrika. Apalagi ada peserta parade dari Sulawesi Utara," kata Anisa dan Davi yang berasal dari Manado.

Rahma, warga Kota Bandung, tak kalah senangnya. Meski repot harus membawa anak-anak, ia datang sekitar pukul 11.00. Saat tiba di lokasi, ia harus berusaha mencari tempat di tengah kerumunan massa.

“Kasihan juga kalau anak kecil ga bisa lihat terlalu jelas. Tapi tadi kita bergeser ke area yang lebih leluasa. Iya senang saja akhirnya bisa lihat parade dengan kostum-kostumnya yang unik," kata Rahma.

Peserta parade budaya melepas lelah di atas trotoar. , Sabtu (29/7/2023). (Foto: Prima Mulia/BandungBergerak.id)

Berbeda karena Pandemi

Kepala Musium KAA Dahlia Kusuma Dewi tersentuh dengan begitu gempitanya warga masyarakat yang tumpah ruah di sekitar Asia Afrika. "Setelah beberapa tahun didera pandemi, akhirnya hari ini kita bisa berkumpul untuk merayakan Asia Africa Festival," katanya.

Menurutnya, semua perhelatan seputar peringatan Konferensi Asia Afrika tak pernah lepas dari nuansa solidaritas, kerja sama, dan perdamaian dunia.

Festival tahun ini terasa jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelum pandemi di mana jumlah peserta parade dari delegasi asing sangat banyak, termasuk para wisatawan asing yang ikut menonton dan berbaur di tengah parade. Mungkin masih dalam masa transisi pascapandemi, begitu kalau kata pejabat saat pembukaan festival tadi.

Adew Habsta musikus balada sekaligus pegiat komunitas Sahabat Musium Konferensi Asia Afrika mengatakan, memang sudah semestinya Bandung menyediakan festival gratis tahunan untuk warganya.

"Tapi hebat Bandung, memang semestinya punya event tahunan yang selalu dinanti warganya. Siapa pun, dari arah mana pun," kata penulis buku Ledeng Oh Ledeng.

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//