Merawat Tradisi Adu Domba
Seni Ketangkasan Domba Garut lebih dari tradisi yang berlangsung turun-temurun. Dalam kontestasi ini ada upaya pelestarian budaya dan meningkatkan ekonomi rakyat.
Seni Ketangkasan Domba Garut lebih dari tradisi yang berlangsung turun-temurun. Dalam kontestasi ini ada upaya pelestarian budaya dan meningkatkan ekonomi rakyat.
BandungBergerak.id - “Sok, ngawahan heula cing jauh,” sorak komentator. Di saat yang sama bobotoh (suporter domba adu) saling menyemangati domba-domba yang akan bertandang di tengah lapangan. Semakin jauh ancang-ancang kedua domba itu. Lengkingan peluit dari wasit menandai kontestasi Seni Ketangkasan Domba Garut (SKDG), diikuti musik gamelan dan gemuruh penonton.
Acara seni ketangkasan domba garut digelar oleh Himpunan Peternak Domba dan Kambing Indonesa (HPDKI) Kota Bandung di Yonzipur 09, Ujung Berung, Kota Bandung, Sabtu, 2 Maret 2024. Kesenian ini digelar secara turun-temurun alias sudah menjadi tradisi.
“Ada budaya turun-temurun dari leluhur kita yang patut kita lestarikan,” kata Fandri Dwitama (30 tahun), Ketua Dewan Pembina Cabang HPDKI.
Terhitung ada 1.200 ekor domba Garut yang terbagi ke dalam kelas lomba. Mereka berasal dari 27 kota/kabutaten Jawa Barat. Masing-masing domba akan saling beradu dengan terget capaian 20 kali pukulan. Ada lima kriteria penilaian dalam kontestasi Seni Ketangkasan Domba Garut ini, mencangkup kesehatan domba, adeg-adeg yang berarti penampilan.
“(adeg-adeg) Itu kasepnya si domba,” terang Fandri.
Kriteria lainnya, teknik bertanding domba di mana semakin jauh ancang-ancangnya semakin bagus; teknik pukulan yang dihasilkan; serta keberanian dari domba itu sendiri. Penilaian ini dilihat oleh tiga juri yang memantau dari sudut lapangan dan di dalam lapangan yang terdiri dari tiga wasit, serta dua orang inspektur pertandingan yang memantau di atas panggung.
Usia domba garut yang ideal untuk mengikuti kontestasi ini antara 3 sampai 5 tahun yang mengacu pada usia produktif untuk menikuti kotestasi seni ketangkasan domba garut.
Antara Budaya dan Ekonomi
Seni ketangkasan domba garut lekat dengan budaya tradisional Sunda. Kontestasi ini selalu diwarnai iringan musik kendang penca yang diyakini akan meningkatkan adrenalin domba-domba petarung. Dalam kontestasi ini, para bobotoh saling berjoget dengan riang gembira.
“Itu karena mereka senang ya. Mereka melihat dombanya bagus, jalannya juga bagus, saling menujukan ekspresi. Nah, itulah tradisi yang tidak bisa dipisahkan dengan domba garut,” kata Fandri.
Tak dipungkiri seni tradisional ini memiliki risiko cedera pada domba-domba yang beradu, antara lain patah tanduk hingga kaki. Para bobotoh SKDG melihat cedera ini bukan suatu hal yang aneh.
“Paling sudah ini mah pensiun aja si dombanya,” ungkap salah satu bobotoh, merujuk kepada domba yang cedera dan tidak bisa lagi mengikuti seni ketangkasan.
Di samping melestarikan budaya, kontestasi SKDG juga sebagai peningkatan ekonomi bagi peternak domba atau masyarakat penggemar domba garut. Keberadaan acara-acara seperti SKDG dianggap mampu mendongkrak nilai jual domba garut.
“Kita mempertahankan (SKDG) domba garut sebagai hewan khas Indonesia. Juga meningkatkan ekonomi kemasyarakatan. Dengan adanya SKDG ini harga domba garut bisa menjadi daya tawar yang tinggi,” ucap Fandri.
*Foto dan Teks: Hizqil Fadl Rohman
COMMENTS