Seni Tradisi dan Fotografi dalam Pusaran Arus Waktu
Pameran foto bertajuk Arus Waktu garapan KMJ Unisba berlangsung di Dermond, Jalan Sumbawa No. 14, Kota Bandung, 21 - 23 Maret 2022.
Penulis Reza Khoerul Iman22 Maret 2022
BandungBergerak.id – Pengaruh teknologi digital ibarat pisau bermata dua bagi seni warisan tradisi. Di satu sisi, revolusi digital ini bisa memperkuat seni leluhur. Namun, di sisi lain ada warisan tradisi yang tergerus dan di ujung tanduk.
Situasi seni tradisi dalam arus teknologi itu terangkum dalam pameran foto bertajuk Arus Waktu garapan Keluarga Mahasiswa Jurnalistik Universitas Islam Bandung (KMJ Unisba). Pameran yang berlangsung di Dermond, Jalan Sumbawa No. 14, Kota Bandung, 21 - 23 Maret 2022, itu dimeriahkan seminar tentang foto setiap harinya.
Foto yang dipamerkan merupakan karya 13 orang anggota KMJ Unisba, dengan curator fotografer Djuli Pamungkas. Riko Pinanggit, selaku Ketua Pelaksana Pameran Foto Arus Waktu, menjelaskan pameran ini menampilkan lima foto single dan delapan foto story. Seluruh karya memperlihatkan bagaimana perubahan dan perkembangan budaya di tengah arus modern.
“Arus waktu ini tuh memperlihatkan bahwa zaman sekarang dari waktu ke waktu masih terus berlanjut berkembang dan berinovasi. Akan tetapi di era modern ini, ada beberapa orang juga yang masih mempertahankan budaya dan tradisinya. Jadi arus waktu ini lebih memperlihatkan transisi dari waktu ke waktu,” tutur Riko, dalam sambutan pembukaan pameran.
Foto-foto pameran Arus Waktu membandingkan potret antara era modernisasi dan zaman tradisional. Di sini terlihat bahwa perkembangan teknologi bagi beberapa seni tradisi menjadi pendukung dalam pelestariannya.
Photo story milik Vera Sukma Maghfirah, misalnya, menampilkan aktivitas pembuatan batik di Rumah Batik Komar, Jalan Cigadung Raya, Kota Bandung. Vera menunjukkan geliat pembuatan batik tradisional yang bertahan di tengah perkembangan zaman.
Dalam kasus ini, Vera menampilkan transisi pembuatan batik di Rumah Batik Komar yang telah menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekarang. Upaya tersebut dilakukan salah satunya untuk mempertahankan eksistensi batik.
“Perkembangan arus teknologi dan semacamnya membuat batik yang dulunya pakai canting atau yang diukir, sekarang berubah memakai alat cap dalam pembuatan batiknya. Selain itu, Rumah Batik Komar juga menjadi tempat estetik dengan nuansa kafe sambil membatik,” ucap Vera Sukma Maghfirah, kepada BandungBergerak.id.
Namun dalam kasus lain, perkembangan teknologi malah memberikan dampak yang cukup buruk. Misalnya, photo story milik Dimas yang menampilkan penggunaan gadget oleh anak, baik di dalam lingkungan pendidikan atau di luar lingkungan tersebut. Akibatnya anak yang keseringan memakai gadget sudah memiliki penyakit rabun jauh sejak dini.
Riko Pinanggit berharap, pameran ini dapat menjadi media bagi mahasiswa Unisba sebagai ruang belajar dalam mengasah keahlian dan kreativitasnya di bidang memotret. Selain itu pameran ini diharapkan menjadi inspirasi untuk para pengunjung.
Baca Juga: Mendefinisikan Ulang Ruang Aman dalam Gerakan Kolektif
Indo Graff Day 2022 Bandung sebagai Regenerasi Pelukis Mural dan Grafiti
KABAR DARI REDAKSI: BandungBergerak.id Membutuhkan Dukunganmu
Eksistensi Foto di Era Digital
Selama beberapa puluh dekade foto menjadi kekuatan visual dalam memperkuat penjelasan terkait suatu hal. Termasuk pada bidang jurnalistik, foto menjadi satu pokok yang memperkuat tulisan jurnalistik.
Pada era digital, setiap orang memiliki dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memotret. Sementara pada periode yang lalu, memotret menjadi sesuatu yang hanya dimiliki kesempatannya oleh orang yang memiliki peralatannya saja.
Hal ini dirasakan oleh Fauzan Abdul Syukur Kesuma, fotografer Dinas Pendidikan Jawa Barat. Hal kentara yang ia rasakan adalah transisi kegiatan memotret dari waktu ke waktu.
“Dulu saya masih motret pakai film. Saya masih ingat dulu 2005 masih pakai kamera Fujifilm Mdl, kemudian ganti pakai kamera Nikon F3. Perasaan kentara yang terasa sih, pengambilan gambar jadi lebih cepat dan mudah,” ucap Fuzan, pada sesi diskusi.
Fauzan melanjutkan, meski era digital dapat memudahkan pekerjaan jurnalis, tapi para pewarta foto mesti mewajibkan dirinya masing-masing untuk selalu menyiapkan waktu buat memantau dan mempelajari kemajuan tersebut.
Ia menilai, jangan sampai kualitas foto pewarta menjadi turun nilainya atau tidak ada bedanya dengan foto yang terdapat di media mainstream.
“Dalam hal ini jurnalis foto mesti lebih nilainya daripada jurnalis warga, seperti keakuratan, komprehensif; mencakup kedalaman informasi, banyak sisi, perencanaan yang matang dan utuh, mengungkapkan apa dan kenapa di balik berita hingga menampilkan data yang lengkap,” tutur Fauzan.
Fauzan yakin trend fotografi tidak akan pernah pudar eksistensinya. Namun yang berubah hanya media yang digunakan dan kelengkapan peralatannya saja.