• Berita
  • Mendefinisikan Ulang Ruang Aman dalam Gerakan Kolektif

Mendefinisikan Ulang Ruang Aman dalam Gerakan Kolektif

Kekerasan seksual masih menjadi masalah serius di berbagai lapis aktivitas masyarakat. Tak terkecuali di gerakan kolektif. Mendesak pendefinisian ulang ruang aman.

Sejumlah aktivis memperingati Hari Perempuan Internasional di depan Gedung Sate Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). Massa yang tergabung dalam Aliansi Para Puan menyerukan penegakan hukum tegas atas tindakan kekerasan seksual. (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Penulis Emi La Palau21 Maret 2022


BandungBergerak.id - Kasus kekerasan seksual belum lama ini mencuat dan mengguncang dunia aktivisme anak-anak muda di Bandung. Yang mendesak segera dilakukan adalah upaya serius mendefinisikan ulang ruang aman dalam gerakan kolektif atau gerakan massa.

Kekerasan seksual terbukti masih menjadi masih menjadi masalah serius yang bisa terjadi di lingkup apa saja, mulai dari pendidikan, agama, sosial masyarakat, hingga gerakan sosial. Komunitas Aksi Kamisan Bandung dalam pernyataannya di akun Instagram pekan lalu mengungkap tujuh laporan kekerasan seksual oleh salah satu peserta aksi. Ironisnya, kejahatan ini terjadi di tengah rangkaian peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 yang salah satu tuntutan utamanya adalah penuntasan kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan.

“Aksi Kamisan Bandung tidak mentolerir segala bentuk kekerasan seksual,” demikian tertulis dalam unggahan tersebut, diikuti keputusan mengeluarkan pelaku dari komunitas dan mempertanggungjawabkan perbuatannya.

Perwakilan Aliansi Para Puan, Nitasya, mengungkapkan, betapa ironisnya kasus kekerasan seksual terjadi dalam gerakan massa yang selama ini dikenal masyarakat memperjuangkan nilai-nilai keseteraan. Dia berharap agar kasus ini menjadi yang terakhir.  

“Memang kekerasan seksual bisa terjadi di semua ranah, tapi aku memandang kalau ini terjad di sebuah massa solidaritas yang memang secara value itu mengedepankan nilai-nilai kesetaraan dan keadiilan, agak mengganjal juga,” tutur Nitasya kepada BandungBergerak.id dalam diskusi publik, umat (19/3/2022) malam, di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bandung di Jalan Terusan Jakarta, Kota Bandung.

Bersama Nitasya, hadir sebagai pemantik diskusi malam itu Khodizah dari Pembebasan Bandung dan Deti dari Suara Perempuan Bandung. Diskusi perdana ini merupakan tanggapan cepat karena kondisi semakin genting dan tak bisa terus dilakukan pembiaran. Kasus yang mencuat dalam komunitas Aksi Kamisan Bandung mencederai nilai-nilai yang telah diusung, dan menceredai gerakan yang seharusnya menjadi ruang aman untuk seluruh anggotanya, baik perempuan maupun laki-laki.

Baca Juga: Berontak Perempuan dalam Bus Patriarki
Mengecam Kapitalisme dan Oligarki dalam Peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di Bandung
Kekerasan Seksual Termasuk Pelanggaran HAM Berat

Mendefinisikan Ruang Aman

Gerakan sosial sejatinya menjadi ruang alternatif bagi siapa pun untuk mengekspresikan diri, berpendapat, juga belajar. Termasuk perempuan, yang masih menjadi kelompok yang termarjinalkan, pun juga juga kelompok minoritas lainnya, seperti LGBTQ+.

Deti dari Suara Perempuan Bandung tak menampik bahwa kekerasan seksual dapat terjadi di kondisi dan tempat mana pun. Masih ada potensi seseorang menjadi pelaku. Latar belakang berbeda terkait pemahaman persoalan gender yang berbeda juga menjadi salah satu penyebabnya.

“Gerakan jadi salah satu ruang yang jadi harapan untuk dia (perempuan) berekspresi, tetapi pengharapan itu tidak sejalan. Jadi ketika ngomongin ruang aman, kita perlu bertanya apakah ruang ini sudah ada terbentuk tanpa cela. Aku lebih mendefinisakn ruang aman itu adalah sebuah upaya kita untuk membentuk atau menciptakan ruang yang aman bagi siapa pun,” ungkapnya.

Untuk menciptakan ruang aman, menurut Deti, dibutuhkan kepedulian bersama lewat langkah langkah konkret. Membuat pendidikan bersama, kemudian membuat kampanye dengan skala berkala dan melibatkan berbagai elemen masyarakat sipil. Dalam gerakan juga perlu ada parameter bagaimana penanganan ketika ada kasus kekerasan seksual.  

Senada dengan Deti, Khodizah mengungkapkan bahwa persoalan ruang aman bukan hanya persoalan fisik saja. Ia tak terbatas pada ruang dan tempat saja. Lebih dari itu, ruang aman lahir dari kesadaran bersama untuk menciptakannya. Kesadaran ini diawali dari pemahaman akan hak-hak bersama setiap individu ke individu lainnya.

“Ruang aman tak bisa dibatasi ruang semacam ini (gedung), tapi intinya ada pada komunikasi, pola. Atau orang-orang yang ada di dalamnya. Mereka punya kesadaran bahwa kita sama-sama manusia yang tidak boleh dibjektifikasi,” ucapnya.

Aktivis perempuan membentangkan spanduk dan poster berisi pesan perlawanan terhadap tindak kekerasan seksual dalam aksi peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di depan Gedung Sate Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)
Aktivis perempuan membentangkan spanduk dan poster berisi pesan perlawanan terhadap tindak kekerasan seksual dalam aksi peringatan Hari Perempuan Internasional 2022 di depan Gedung Sate Kota Bandung, Selasa (8/3/2022). (Foto: Virliya Putricantika/BandungBergerak.id)

Seksisme dan Ketimpangan Pemahaman Gender

Latar belakang pendidikan dan pemahaman terhadap persoalan gender menjadi salah satu akar terus bermunculannya kasus kekerasan seksual. Pendidikan gender tak didapatkan di ranah sekolah formal. Umumnya didapat di dunia kampus, namun itu tak serta merta langsung dapat dipahami. Butuh waktu dan jangka cukup panjang.  

“Yang perlu digarisbawahi adalah pemahaman kita terhadap sebuah prinsip, dan pemahaman itu bisa terjadi di setiap orang, kemudian kolektif atau organisasi. Itu dijalankan dengan komunikasi pendidikan yang rutin, pendidikan macam-macam. Diskusi. Pendidikan yang prinspnya itu humanis, kesetaraan gender, feminis, itu perlu ditekankan,” kata Deti.

Menurut Khodizah, salah satu penyebab kekerasan seksual dalam ranah gerakan adalah seksisme. Berangkat dari latar belakang sosial berbeda, juga dengan minimnya pemahaman persoalan gender, perilaku-perilaku seksis tanpa sadar masih terus dilakukan.

Menurut Khodizah, seksisme sudah terpola. Di masyarakat, perempuan hanya menjadi objek seksual. Hal ini juga didukung oleh iklan-iklan komersial di media massa yang memperlihatkan adanya perbedaan perempuan dan laki-laki. Perempuan hanya menjadi peletak dan hanya menjadi objek.

“Sebenarnya ini jadi otokritik juga. Apakah misalnya ketika gerakan, wah ada pelaku, padahal di gerakannya, pernah nggak sih melakukan pendidikan tentang kekerasan seksual?” ucapnya.

Khodizah berpendapat, maraknya kekerasan seksual yang terjadi baik di ranah ruang gerakan massa atau gerakan kolektif maupun di masyarakat umum, tidak lepas dari belum tumbuhnya kesadaran terhadap “consent” atau persetujuan. Consent atau persetujuan dibuutukan dalam satu hubungan. Kerap kali kesalahan memahami consent menyebabkan pelaku tak sadar telah melakukan kekerasan seksual.

Editor: Tri Joko Her Riadi

COMMENTS

//