Buruh Kerupuk Cimaung
Pabrik kerupuk Cimaung menjadi tumpuan ekonomi sebagian warga Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Remaja lulusan SMP pada kerja di sini.
Pabrik kerupuk Cimaung menjadi tumpuan ekonomi sebagian warga Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung. Remaja lulusan SMP pada kerja di sini.
BandungBergerak.id - Silvi urung berangkat ke pabrik kerupuk mie tempat ia bekerja di Desa Cimaung, Kecamatan Cimaung, Kabupaten Bandung, 4 Juni 2024. Perempuan lulusan SMP berusia 16 tahun ini merasa tubuhnya kurang sehat dan memilih untuk istirahat saja di rumahnya.
Silvi biasanya pergi ke pabrik kerupuk bersama Ai, ibunya. Mereka berdua adalah buruh pabrik yang tugasnya mencetak kerupuk mie sejak pukul 7 pagi sampai pukul 3 sore. "Dia izin tak masuk kerja hari ini, biar istirahat saja dulu mungkin besok sudah bisa kerja lagi," kata Ai (39 tahun), kepada BandungBergerak.
Pagi itu sekitar 20 orang pekerja perempuan mulai sibuk mencetak kerupuk mie. Alat cetaknya berupa mesin kayu manual dengan pedal kaki besi untuk menekan adonan keluar dari pipa. Adonan yang keluar ditampung di atas cetakan dengan alas logam dan pegangan kayu. Mereka memutar-mutar cetakan saat adonan keluar dari pipa, lalu kerupuk yang sudah tercetak disusun diatas tampah bambu.
Satu ruang cetak di dalam ruangan dengan belasan mesin-mesin kayu berjajar. Di teras luar ada lima mesin kayu berjajar, perempuan-perempuan itu konsentrasi untuk mencetak sebanyak-banyaknya kerupuk. Saat adonan habis mereka tinggal teriak minta tambah. Pekerja pria yang khusus bertugas di bagian pengolahan adonan akan segera mengirimkannya.
Nur (21 tahun) dengan cekatan memutar-mutar alat cetaknya. Ia memenuhi tampah persegi yang bisa memuat 28-30 kerupuk. Setelah tampah menumpuk sampai 10 para pekerja pria akan mengambilnya dan langsung dijemur di halaman pabrik yang cukup luas itu. Pegunungan Malabar tampak menjulang di latar belakang.
Di belakang Nur ada Siti. Ibu satu anak berusia 32 tahun ini juga terus mencetak kerupuk sebanyak mungkin. Sesekali mereka juga bergurau sambil tangannya terus mencetak kerupuk.
"Rata-rata minimal bisa sekintallah," kata Siti. Maksud Siti rata-rata pekerja bisa mencetak kerupuk dari 100-130 kg adonan.
Wina (18 tahun) adalah salah satu pekerja yang belum setahun bekerja di pabrik. Perempuan lulusan SMP ini memilih untuk langsung bekerja sambil membantu perekonomian keluarga.
"Minimal untuk menutup kebutuhan saya sendiri," katanya. Wina tak sendiri, saudara kembarnya bernama Wini juga bekerja di pabrik yang sama. Wini kebagian di ruangan dalam.
Nur, Siti, Wina, dan Wini adalah potret pekerja perempuan lulusan SMP yang memilih untuk bekerja ketimbang meneruskan sekolah. Faktor biaya jadi alasan utama selain faktor ekonomi. Begitu juga dengan Silvi.
"Nggak ada biaya untuk terus sekolah, kerja juga susah kan sekarang, bekerja di pabrik kerupuk ini pilihan yang terbaik," kata Ai saat menjelaskan kenapa anaknya ia bawa bekerja di pabrik kerupuk mie.
Ai mungkin potret pekerja perempuan paling lama yang bekerja di sini, sudah 15 tahun. Ai juga pekerja yang paling terampil, ia bisa mencetak kerupuk dari bahan adonan antara 130-150 kg sehari. Artinya ia bisa mendapat upah secara borongan sekitar 78.000-90.000 rupiah. Upah borongan buruh pencetak kerupuk ini Rp 600 per kg.
Mak Iyah adalah potret pekerja perempuan berusia paling tua di pabrik ini. Perempuan 76 tahun ini masih gesit mengoperasikan mesin cetak kerupuknya. Dia tidak terlalu ngoyo mengejar target cetakan, ia hanya ingin hari tuanya diisi dengan kegiatan produktif. "Emak bukan diupah borongan, ya sedapatnya saja."
Di jam kerja antara pukul 7 pagi sampai 3 sore, mereka akan dapat jatah istirahat malah pada jam 9, nanti pukul 12 ada waktu untuk menunaikan ibadah salat, setelah itu kerja lagi. Sabtu dan Minggu libur, sedangkan khusus pada bulan Ramadan tak ada hari libur karena pesanan dari luar kota harus dipenuhi.
Pabrik ini jadi salah satu opsi paling masuk akal bagi warga desa untuk mengatasi masalah ekonomi keluarga, juga jadi harapan lapangan kerja bagi mereka yang putus sekolah. Seperti yang dirasakan Nur.
"Setelah lulus SMP sulit untuk bisa terus ke SMA, biayanya tidak sedikit, kerja di sini jadi jalan keluar, sekarang cari kerja sulitnya bukan main, apalagi cuma lulusan SMP."
COMMENTS