Menyambut Sura
Suraan bukan sekadar sebuah perayaan tahun baru bagi masyarakat penghayat. Peringatan ini sebagai momen mawas diri menghadapi tahun yang baru.
Suraan bukan sekadar sebuah perayaan tahun baru bagi masyarakat penghayat. Peringatan ini sebagai momen mawas diri menghadapi tahun yang baru.
BandungBergerak.id - Udara pagi yang dingin merayu Kampung Cibedug pada saat perayaan Tanggap Warsa Tahun Baru Saka Indonesia 1 Sura 1958 di Pasewakan Saka Binangun, Senin, 15 Juli 2024. Saya tiba di kampung yang terletak di perbatasan Kecamatan Ciloke dan Lembang, Kabupaten Bandung Barat itu pukul delapan pagi, sedikit lebih awal dari acara utama.
Nanda—salah satu penghayat muda yang ada di sana—mengajak saya menyaksikan ritual sebelum acara utamanya dimulai. Ritual dimulai dengan hening panggalih atau pinerja yang dipimpin oleh para sesepuh yang ada di sana. Asap kemenyan dari sajen menyeruak menambah kekhusyukan masyarakat penghayat menghayati Sang Pencipta.
Setelah hening panggalih selesai, ritual diikuti dengan numbal, penyembelihan satu ekor kambing dan satu ekor ayam. “Itu untuk tolak bala, kak,” jelas Nanda, menjawab pertanyaan saya makna numbal tersebut.
Ritual ini bukan hanya sekedar tradisi melainkan simbol membersihkan diri dan lingkungan dari energi-energi negatif.
Setelah ritual pagi terlaksana, masyarakat penghayat kemudian membagikan kurang lebih sebanyak 850 kilogram beras kepada 172 warga yang membutuhkan. Masyarakat penghayat dengan pakaian adat mereka secara bergantian mengangkat satu karung beras yang kemudian akan didistribusikan kepada warga di beberapa RW.
“Itu juga salah satu ajaran yang diturunkan oleh sepuh, nulung kanu butuh nalang kanu susah,” ucap Fajar, salah satu penghayat muda.
“Kan kami sering ditanya, penghayat gimana sih dampaknya bagi lingkungan sekitar, ya ini salah satunya. Kami juga sering bagi-bagi beras ke jompo, anak yatim piatu, bahkan ke janda, ya ngebantu lah walau gak begitu banyak. Namun ini sudah menjadi kebiasaan yang diajarkan oleh sesepuh kami,” lanjutnya.
Hari semakin siang, tamu undangan dari berbagai penjuru mulai berdatangan untuk merayakan bersama. Masyarakat penghayat menyambut hangat para tamu di pintu masuk. Suasana kebersamaan di sekitar pasewakan begitu terasa di antara senyum dan sapaan yang mereka lontarkan satu sama lain.
Ketika malam tiba, panggung kesenian dipenuhi dengan kreasi seni dari masyarakat sekitar, terutama anak-anak. Mereka menampilkan tarian tradisional dan juga berbagai pertunjukan kreatif lainnya. Setiap penampilan disambut meriah oleh penonton yang hadir, mereka siap memberikan dukungan dengan cara tradisional yaitu saweran. Sebelum penampilan dimulai, warga yang menonton sudah bersiap dengan beberapa lembar uang dengan berbagai nilai yang nantinya dilemparkan ke atas panggung sebagai bentuk apresiasi terhadap kreativitas dan keberanian mereka.
Malam semakin larut, hari Senin di Kampung Cibedug ditutup dengan Ketuk Tilu. Musik dan nyanyian tradisional menggema di udara malam, tiap warga bergantian naik ke atas panggung, menari dengan piawai mengikuti ritme musik yang dimainkan. Puncak perayaan datang di esok harinya dengan penampilan wayang golek yang dimulai tepat pukul satu siang, menarik perhatian warga untuk berbondong-bondong duduk di depan panggung menyaksikan lakon wayang.
Tanggap Warsa Tahun Baru Saka Indonesia 1 Sura 1958 Saka Indonesia, atau yang dikenal dengan Suraan, bukanlah sekedar sebuah perayaan tahun baru bagi masyarakat penghayat. Fajar menegaskan bahwa Suraan memiliki manfaat dan tujuan. Perayaan ini bukan hanya tentang memulai tahun baru dengan semarak, tetapi juga sebagai momen untuk mawas diri bagi masyarakat penghayat. Dalam momen ini mereka diajak mengevaluasi diri dan mempersiapkan diri dalam menghadapi tantangan dan peluang yang mungkin muncul di tahun yang baru.
*Foto dan Teks: Fitri Amanda
COMMENTS