Ahung!
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba ke-16 di Gunung Tangkuban Parahu sebagai bentuk penghormatan manusia (masyarakat adat Sunda) pada alam dan bersyukur kepada Sang Ahung.
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba ke-16 di Gunung Tangkuban Parahu sebagai bentuk penghormatan manusia (masyarakat adat Sunda) pada alam dan bersyukur kepada Sang Ahung.
BandungBergerak.id - Udara pagi yang segar dan sejuk menyapa ribuan orang yang berkumpul di kaki Gunung Tangkuban Parahu, Lembang, Kabupaten Bandung Barat, Minggu, 23 Juni 2024. Rata-rata mereka berpakaian adat Sunda. Mereka siap mengikuti upacara Ngertakeun Bumi Lamba yang ke-16, sebuah ritual tahunan yang diadakan setiap bulan Kapitu (bulan ke-7) dalam hitungan Suryakala, bertepatan dengan perjalanan matahari yang baru kembali dari paling utara bumi menuju selatan.
Waktu menunjukkan pukul 9, asap dupa dan wangi bunga menyatu dengan dinginnya udara di pagi. Upacara dimulai dan prosesi-prosesi sakral pun dilaksanakan, termasuk doa-doa dan persembahan kepada alam. Sesajen berupa bunga, buah-buahan, dan hasil bumi lainnya dibawa oleh peserta sebagai bentuk syukur dan penghargaan kepada alam.
Hari semakin siang, upacara Ngertakeun Bumi Lamba hampir sampai pada puncak acaranya, yaitu Ngalung Sesajen. Semua sesajen dari hasil bumi disimpan ke dalam sebuah perahu kecil yang kemudian digotong oleh sembilan orang, salah satu di antaranya ada seorang perempuan berambut panjang lengkap dengan pakaian adat.
Menempuh kurang lebih tiga kilometer dengan medan jalan yang menanjak, deru napas setiap orang yang ikut mengawal dan menggotong perahu terdengar berat. Meski terasa lelah, mereka semangat membawa perahu menuju kawah Tangkuban Parahu.
Perempuan berambut panjang tersebut berkali-kali berteriak "Ahung!" (Sang Pencipta, dalam rajah Sunda) yang kemudian disahut oleh yang lain dengan kompak, seakan-akan berusaha untuk mempertahankan semangat sampai ke tujuan. Perempuan tersebut berkali-kali diajak untuk bergantian menggotong, namun ia menolak dengan senyuman dan berkata, "Aman, aman. Masih kuat."
Selama 46 menit berjalan, akhirnya mereka sampai pada tujuan akhir. Masyarakat yang sudah lebih dahulu sampai bergegas menyambut dan membantu membawa sesajen ke tepian kawah Tangkuban Parahu. Semua sesajen akan dilemparkan ke arah kawah itu.
"Upacara ini bukan seperti kita memberi makan kepada hal gaib, namun sebagai bentuk penghormatan kepada semesta," ucap salah satu masyarakat adat sebelum melakukan proses ritual puncak.
Masyarakat adat menjelaskan, upacara yang dilakukan ini bukanlah untuk membuang-buang makanan tetapi melakukan ngalungkeun atau memberikan kalung penghormatan sebagai simbol terima kasih mereka kepada alam khususnya pada gunung yang telah memberikan kesuburan tanah. Semua makanan dan minuman berasal dari gunung.
Upacara Ngertakeun Bumi Lamba adalah wujud menjalankan pesan kasepuhan yang menitipkan tiga gunung—Gunung Tangkuban Perahu, Gunung Wayang, dan Gunung Gede—sebagai paku alam, yang harus diperlakukan sebagai tempat suci. Ketiga gunung ini dianggap sebagai "kabuyutan", yang berarti tempat yang harus dijaga dan dihormati.
"Kami berterima kasih karena gunung tuh kan ngasih kehidupan, ya. Apalagi gunung berapi bukan gunung mati, tanahnya lebih subur gitu," ucap salah satu masyarakat penghayat.
Berdasarkan falsafah hidup dan aturan dasar adat istiadat, upacara ini merupakan manifestasi hubungan harmonis manusia dengan alam dan pencipta.
*Foto dan Teks: Fitri Amanda
COMMENTS