Bandung 24 Jam
Ada 24 foto yang ditangkap mata-mata lensa KawanBergerak yang menandai 214 tahun Kota Bandung. Ada yang estetis tetapi lebih banyak yang realistis dan kritis.
Ada 24 foto yang ditangkap mata-mata lensa KawanBergerak yang menandai 214 tahun Kota Bandung. Ada yang estetis tetapi lebih banyak yang realistis dan kritis.
BandungBergerak.id - Kota Bandung baru saja menggenapi usianya yang ke-214 tahun. Teramat banyak momen yang terjadi selama lebih dari dua abad silam, sejak peristiwa dramatis Gubernur Hindia Belanda Herman Willem Daendels menancapkan tongkat sebagai titik kilometer nol di Jalan Raya Pos (Groote Postweg) yang kini Jalan Asia Afrika, sampai sekarang di era Bandung heurin ku tangtung (padat).
Era romantisme Bandung sudah jauh berlalu walau peninggalan-peninggalannya berserak di sejumlah penjuru. Di kawasan kota tua Jalan Asia Afrika, Jalan Braga, dan sekitarnya dinding-dinding masa lau itu masih tampak jelas. Penggalan kisah orang-orang di kota tua ini kami abadikan melalui cerita foto “Bandung 24 Jam”, sebuah kerja kolaborasi dengan komunitas audiens kami, KawanBergerak.
Ada 24 foto yang kami ambil di 24 sudut Kota Bandung selama 24 jam antara tanggal 24-25 September 2024, bertepatan dengan 214 tahun kota ini. Foto-foto ini memotret realitas yang terjadi di kota berpenduduk 2,5 juta jiwa. Hasil jepretan KawanBergerak menunjukkan bahwa Bandung tidak bisa dilihat dari sudut pandang saja. Kota ini memang memiliki nilai-nilai sejarah yang melimpah, kota ini pun memiliki masalah sosial yang mendesak segera ditangani.
Kawasan kota tua Bandung bisa jadi menjadi tempat yang sering diromantisasi. Setiap hari banyak warga kota maupun wisatawan yang berjalan-jalan di kawasan ini, berfoto bersama hantu-hantuan, bergaya dengan latar belakang dinding-dinding arsitektur kuno, atau sekadar menikmati hari.
Namun kawasan kota tua juga memiliki wajah lain: warga miskin kota yang setiap hari mengais sisa-sisa rezeki untuk bekal bertahan hidup esok hari. Di sana, tepat dini hari, seorang pemulung mengangkut beban empat kali lebih lebar dari tubuhnya. Ia adalah Mentari atau akrab dipanggil Neneng.
Ia berusaha menahan letih dan kantuk bermodalkan karung putih yang penuh rongsokan. Di sepanjang Jalan Braga ia memungut satu per satu sampah plastik yang bisa dijual. Walaupun tak seberapa, ia selalu optimis demi memenuhi kebutuhan pendidikan ketiga anaknya.
Hal serupa dilakukan Hadi (41 tahun). Ketika semua warga sedang terlelap, Hadi masih menjalani rutinitasnya sebagai driver ojek online. Setiap hari dari siang hingga subuh menjelang, ia tak pernah absen berkeliling kota untuk menghidupi istri dan dua anaknya. Setiap perjalanan yang ia tempuh adalah langkah kecil untuk memastikan keluarganya agar bertahan hidup. Pekerjaan ini ia lakoni sejak 2015.
Bergerak ke utara, aktivitas ekonomi rakyat berdenyut di pasar tradisional Dago Elos. Pasar di Terminal Dago ini terasa riuh pada pukul 03.00 WIB. Pusat ekonomi rakyat ini sekaligus menjadi saksi bisu sengketa lahan yang berlangsung sejak 2016. Kini, warga menghadapi babak baru di meja hijau. Warga akan terus melawan upaya perampasan tanah leluhur mereka.
Masih di sekitar Dago, Abah Agus (67 tahun), sibuk mengambil sampah rumah tangga di lingkungan warga Gang Wardia, Dago Asri. Di saat orang-orang masih di alam mimpi, Abah Agus reka mengotori tangannya untuk menciptakan kebersihan lingkungan.
Geliat kota mulai terasa menguat ketika matahari mulai memancarkan sinar pertamanya. Antara pukul 06.00 - 06.59 ‘pertarungan’ hidup terpusat di jalan raya, orang-orang berpacu dengan bel masuk sekolah. Jalanan pun macet. Di balik itu, ada pelukan orang tua kepada anaknya yang pergi menuntut ilmu.
Soal kehidupan di jalanan, jangan lupakan hak-hak pejalan kaki. Sayang, infrastruktur Kota Bandung belum sepenuhnya memenuhi hak-hak mereka. Para pejalan kaki atau mereka yang biasa menggunakan angkutan umum harus bersabar dengan kondisi trotoar dan halte yang tak terawat. Di banyak sudut kota mudah ditemui fasilitas-fasilitas publik yang kurang terawat.
Sinar matahari masih hangat. Di balik kota yang banyak memiliki julukan ini, ada sosok-sosok yang bekerja tanpa lelah, sering kali diabaikan dan kurang dihargai. Mereka adalah petugas kebersihan, pahlawan sejati yang menjaga kebersihan lingkungan kita.
Sampah memang menjadi permasalahan laten di Kota Bandung. Ketika kota berkali-kali menghadapi Bandung lautan sampah, ada pihak-pihak lain yang menekuni pengelolaan sampah dengan maggot. Hewan melata ini mampu mengolah 8-10 ton sampah organik.
Bergeser ke tengah kota, tanaman di Lapangan Saparua sedang diremajakan oleh para petugas pertamanan. Ruang-ruang terbuka hijau dan sarana prasarana olahraga merupakan kebutuhan warga yang mesti dipenuhi Pemerintah Kota Bandung. Pertanyaannya, bagaimana dengan fasilitas publik yang terletak di pinggiran? Apakah sama-sama dirawat atau diabaikan?
Kota Bandung pun masih menghadapi persoalan mendasar kesehatan, khususnya stunting atau kekurangan gizi pada balita. KawanBergerak mendapati Siti (27 tahun) yang tengah berbadan dua. Ia menggendong putra ketiganya yang divonis stunting. Mereka tinggal di permukiman padat penduduk Bojongloa Kaler.
Stunting terkait erat dengan kemampuan ekonomi keluarga. Ketersediaan lapangan pekerjaan berperan penting dalam menopang ekonomi warga yang ujungnya berpengaruh pada pemenuhan gizi anak atau ibu hamil. Namun tidak semua warga Bandung bisa mengakses lowongan kerja yang tersedia. Sebagian warga memilih jualan atau berwirausaha, seperti yang dilakukan Leo yang sudah sejak 90-an membuka jasa pembuatan stempel, cinderamata, pin, pelat nomor kendaraan, dan lain-lain.
Ada juga Nunu yang bekerja serabutan. Selain tukang becak, ia mengandalkan proyek bangunan. "Selama belum ada panggilan proyek bangunan, saya jalani aja pekerjaan yang ada, salah satunya jadi tukang becak, hitung-hitung olahraga," ujar Nanu, sambil tersenyum.
Beberapa orang memilih berdagang kaki lima. Mereka menembus iklim Bandung yang tak lagi bersahabat dan lalu lintas kota yang selalu didera kemacetan. Bandung tak lagi romantis seperti tertuang dalam teks-teks sejarah atau cerita fiksi.
Kemacetan Kota Bandung semakin terasa di kala sore hari di saat orang-orang dalam perjalanan pulang. Mereka menggunakan kendaraan pribadi maupun transportasi publik, seperti yang terlihat di terminal Cicaheum. Di pintu masuk Kota Bandung dari arah timur itu juga muncul masalah sosial, misalnya seperti anak jalanan.
Mereka hidup di jalan, seperti dilakukan Deni dan Ina, adik kakak yang mencari rezeki dengan bernyanyi di lampu merah. Mereka tidak peduli dengan cuaca yang dingin dan hujan. Mereka berdua percaya apa yang dilakukan hari ini tidak akan sia-sia dan esok hari akan ada sesuatu yang indah untuk mereka.
Namun momen ulang tahun Kota Bandung tak melulu muram. Di sudut lainnya, hujan rintik-rintik menemani permainan kartu yang dilakukan warga. Setelah seharian bekerja, warga butuh melepas penat dengan hiburan.
Aktivitas warga di pusat kota sedikit berkurang menjelang malam. Suasana ini terasa di Jalan Braga, sekitar Pasar Baru, dan Tegalega. Sementara di Pasar Andir, aktivitas perdagangan baru saja dimulai.
Geliat juga masih terasa di Stasiun Kiaracondong. Menjelang pergantian hari, masih terlihat semangat dan senyuman bapak-bapak porter yang cekatan menawarkan jasa angkutnya kepada setiap calon penumpang Kereta Api Serayu Malam. Kereta pun melaju menjadi saksi bahwa kota ini semakin tua saja dengan beban yang kian berat.
*Cerita foto Bandung 24 Jam merupakan hasil kolaborasi BandungBergerak dan KawanBergerak dengan kurasi foto oleh Virliya Putricantika
COMMENTS