BandungBergerak.idKonstruksi baja ringan kini menutupi seluruh bagian atap bangunan heritage atau cagar budaya Gedung Pusat Kebudayaan atau lebih dikenal dengan nama Gedung YPK, Jumat, 6 Desember 2024. Atap gedung ini nyaris semuanya roboh 28 Oktober 2024 lalu. Kayu lapuk dimakan rayap dan terekspos air hujan selama bertahun-tahun ditengarai jadi biang keladinya.

Robohnya atap gedung GPK milik pemerintah ini bisa jadi pelajaran untuk instansi atau badan yang terkait dengan pelestarian bangunan cagar budaya, bahwa betapa pentingnya pemantauan dan perawatan berkala terhadap bangunan-bangunan cagar budaya di Kota Bandung. Bisa jadi seperti Gedung YPK yang dari luar terlihat baik dan seperti terawat, dindingnya kokoh berwarna putih kinclong, ternyata di bagian atapnya sudah keropos.

Atap gedung cagar budaya ini roboh saat berlangsung pameran lukisan Enigma of Life karya seniman AR Sudarto yang menyebabkan tiga orang luka dan sejumlah karya rusak. Kayu penopang atap dari masa Hindia Belanda lapuk dimakan rayap sejak bertahun-tahun lalu tanpa upaya pencegahan dan perawatan. Bangunan bersejarah ini dibangun tahun 1930 oleh arsitek G.J. Bel yang berfungsi sebagai gedung tempat golongan masyarakat menengah berkumpul dan berpesta. Di gedung ini juga sering digelar rapat oleh tokoh pergerakan dan politik di masa prakemerdekaan.

Berangkat dari robohnya gedung tempat berkumpul para seniman dan budayawan Kota Bandung tersebut, BandungBergerak menyusuri beberapa wilayah kota untuk mendokumentasikan sedikit gedung-gedung tua dari ratusan bangunan heritage yang ada di Kota Bandung.

Fasad gedung De Zon di Jalan Asia Afrika masih terlihat utuh dengan tulisan De Zon NV dan bentuk gambar menyerupai matahari terbit di atas tulisannya. Bangunan cagar budaya golongan A ini dibangun sekitar tahun 1925. Waktu itu gedung ini dimiliki orang Jepang, konon ada kaitannya dengan kegiatan mata-mata. Gedung De Zon rencananya akan dibangun jadi hotel dengan hanya menyisakan fasad seperti aslinya.

Di deretan bangunan pertokoan tua depan Pasar Kosambi, ada plakat kantor biro arsitek Brinkmann-Voorhoeve yang menempel di dinding salah satu toko. Di Jalan Jawa ada satu bangunan tua tak terawat dan tidak dihuni. Ada spanduk besar dengan tulisan 'tidak dijual' membentang di pagar.

Berbanding terbalik dengan kondisi gedung De Drie Kleur di Jalan Ir H Djuanda. Gedung yang kini dimiliki oleh Bank BTPN ini terawat sangat baik hingga diganjar penghargaan khusus dari Unesco Asia-Pacific Awards for Cultural Heritage Conservation 2015.

Di sekitar Jalan Bima dan Arjuna masih banyak ditemui rumah-rumah dari era Hindia Belanda termasuk gedung-gedung yang kini ditempati pabrik panci Bima dan RPH Arjuna. Satu lagi yang cukup mencolok gaya arsitekturnya kini berfungsi sebagai pusat perbaikan salah satu merek produk elektronik terkemuka.

Bicara tentang ragam arsitektur mungkin kawasan Jalan Braga dan Asia Afrika jadi salah satu titik paling ikonik 'wisata' bangunan heritage di Kota Bandung. Gedung Merdeka, Majestic, PGN, Hotel Preanger dan Savoy Homann, eks gedung Jiwasraya, menara jam Bank Mandiri, Bank bjb, kantor pos besar, dan sepanjang Jalan Braga, kini tak pernah sepi dari riuhnya wisatawan lokal maupun dari luar daerah.

Ada beberapa bangunan heritage yang tengah direstorasi untuk mengembalikan kondisinya seperti semula. Seperti sebuah bangunan di Jalan Braga panjang dan simpang Braga Naripan, dan tentu saja gedung GPK.

Merujuk pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 7 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Cagar Budaya, Pemerintah Kota Bandung mencatat  ada 1.770 bangunan heritage atau cagar budaya di wilayah kota yang terbagi jadi golongan A, B, dan C. Bangunan cagar budaya harus memiliki beberapa kriteria yaitu:

  1. Minimal 50 tahun
  2. Memiliki nilai arsitektur
  3. Nilai sejarah
  4. Nilai pengetahuan
  5. Nilai sosial budaya.

Jadi bangunan cagar budaya golongan A adalah bangunan berusia minimal 50 tahun dan sedikitnya memenuhi tiga kriteria. Golongan B bangunan berusia minimal 50 tahun ditambah dua kriteria lainnya. Golongan C bangunan berusia minimal 50 tahun ditambah paling sedikit satu kriteria lainnya.

Dari 1.770 bangunan cagar budaya di Bandung, 254 bangunan cagar budaya masuk golongan A, 455 bangunan masuk golongan B, dan 1.061 bangunan masuk golongan C. Pemerintah kota dan masyarakat sama-sama memiliki hak dan peran untuk menjaga kelestarian cagar budaya yang ada di Kota Bandung.

Aturan atau regulasi sudah ada, namun tetap saja ada bangunan-bangunan cagar budaya yang dirobohkan berganti jadi bangunan modern, pertokoan, atau hotel. Ada juga bangunan dibiarkan rusak dan roboh. Insentif dari pemerintah berupa pengurangan pajak juga dibutuhkan mengingat bangunan-bangunan cagar budaya umumnya berada di pinggir jalan besar, di mana nilai jual obyek pajaknya sangat tinggi.

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//