Azan Pitu di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon
Azan Pitu di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon dikumandangan oleh tujuh orang. Dilatarbelakangi sejarah menolak wabah.
Azan Pitu di Masjid Sang Cipta Rasa Cirebon dikumandangan oleh tujuh orang. Dilatarbelakangi sejarah menolak wabah.
BandungBergerak.id - Jam masih menunjukan angka 10, namun kerumunan umat Islam, entah itu peziarah, wisatawan, dan warga lokal, telah berkumpul di ruang utama dan serambi Masjid Agung Sang Cipta Rasa di area komplek Keraton Kasepuhan, Cirebon, Jumat, 3 Januari 2025.
Ruang utama atau ruang dalam masjid yang dibangun oleh Sunan Gunung Djati dan Wali Songo ini sudah penuh. Sejumlah umat terlihat masih mencoba mencari ruang-ruang kosong di bagian dalam, hampir 3 jam sebelum azan salat Jumat pertama di tahun 2025 ini berkumandang.
Dua puluh menit sebelum pukul 1 siang, tujuh orang berpakaian jubah putih-putih berdiri di antara dua pilar sokoguru masjid, mereka adalah tujuh orang muazin yang akan melantunkan azan secara bersamaan atau yang disebut adan pitu, sebuah tradisi yang telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu yang masih lestari sampai sekarang.
Rupanya tradisi ini yang ditunggu banyak umat, begitu azan dilantunkan beberapa dari mereka ada yang merekam video atau memotretnya, sedangkan sebagian besar umat lainnya menyimak dengan khidmat. Azan dilantunkan dengan tujuh alunan nada berbeda oktaf yang terdengar unik. Nada suaranya seperti efek pitch shifter dalam balutan harmoni.
Tradisi azan pitu dimulai sejak masa Sunan Gunung Djati, saat wabah penyakit berjangkit di sekitar lingkungan keraton yang menyerang dan berakibat fatal pada muazin yang sedang melantunkan azan. Saat azan dikumandangkan oleh tujuh muazin wabah ini lenyap, dan sejak itu tradisi ini terus lestari sampai sekarang.
Setelah azan pitu selesai semua umat melaksanakan salat sunat. Setelah salat sunat seorang muazin berjalan ke depan sampai mimbar untuk melaksanakan azan sekali lagi. Mimbar ini bentuknya seperti singgasana raja, tertutup kain kelambu di bagian sisi dan belakang. Mimbar ini disebut Sang Rengga.
Imam salat Jumat berkhotbah di atas mimbar Sang Rengga, ia menyampaikan isi ceramah dalam bahasa Arab. Salat Jumat segera dimulai setelah imam selesai menyampaikan ceramah. Usai salat satu per satu umat meninggalkan ruang utama melewati 9 pintu setinggi sekitar 160 cm dengan lebar 68 cm dan yang tingginya 122 cm dengan lebar 55 cm.
Jadi semua orang yang keluar masuk harus membungkuk. Sembilan pintu ini konon disesuaikan dengan jumlah penyebar agama Islam di tanah Jawa Wali Songo atau Wali Sembilan yang memiliki pintu masuk masing-masing. Masjid ini kerap digunakan oleh para wali untuk beribadah dan melakukan pertemuan rutin.
Ada ruang khusus berpagar kayu di sisi Sang Rengga, area ini khusus untuk tempat salat Jumat sultan dan kerabatnya. Sebagian besar umat lain memenuhi serambi masjid yang ada di bagian luar bangunan utama berlantai merah. Ukuran serambi di sisi selatan ini sekitar 29 X 6,40 meter disebut prabayaksa. sedangkan pamandangan adalah nama serambi di sisi timur berukuran 33 X 6,50 meter.
Di luar ruang utama masjid, ada Sang Guru Mangir, beduk yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga, digantung di sudut antara serambi barat dan utara masjid. Sedangkan Narpati adalah gerbang masuk utama masjid dengan tinggi lebih dari 2 meter dan lebar 1,24 meter. Gerbang memilik dua daun pintu berhiaskan ukiran bunga bakung, motif sulur, dan bingkai cermin masing-masing setinggi 1,95 meter dan lebar 53,5 cm.
Ada ritual unik usai salat Jumat, yaitu saat imam memimpin doa yang diikuti ratusan orang umat di ruang utama masjid, laki-laki dan perempuan dewasa, lansia, dan anak-anak. Usai berdoa mereka bergegas antre di depan dua sumur yang dulunya dipakai untuk berwudhu para wali dan umat Islam yang akan melaksanakan salat berjamaah.
Sumur yang mirip kolam kecil berbentuk lingkaran ini disebut banyu cis. Airnya tak pernah habis dengan Ph air yang diyakini mendekati air zam-zam. Warga tua muda satu per satu berwudhu dan menampung airnya dalam botol. Sebagian lagi meminumnya langsung, bahkan anak-anak langsung diguyur air oleh para orang tuanya di area sumur. Konon airnya membawa berkah.
Masjid ini memiliki 12 batang saka guru atau tiang utama berbahan kayu jati yang berdiri di atas umpak batu, ini termasuk satu tiang yang disebut saka thatal, dan 18 tiang lain. 12 tiang utama saat ini sudah diperkuat dengan empat batang besi di masing-masing tiang utnuk memperkuat. Tiang saka thatal sendiri konon dibuat oleh Sunan Kalijaga dari serpihan-serpihan kayu jati lalu diikat tali dari rerumputan.
Atap masjid berbentuk limasan susun tiga. Mimbar atau mihrab dengan langit-langit memiliki hiasan ukiran bunga teratai kuncup. Di bagian atas mihrab ada motif Surya Majapahit berbentuk seperti matahari, di sisi kanan kirinya motif lidah api, bagian tengah berhias lengkungan-lengkungan, dan motif sulur-sluruh di bagian bawah.
Arsitektur Masjid Agung Sang Cipta Rasa memiliki perpaduan berbagai unsur budaya, Jawa (Majapahit/Demak) dan Cina. Konon masjid ini dibangun dalam waktu sehari semalam. Masjid Agung Sang Cipta Rasa diperkirakan dibangun tahun 1480 masehi, namun versi lainnya dibangun antara tahun 1498-1500 masehi. Pastinya masjid ini sudah berdiri sejak awal abad ke 15.
Lebih dari 500 tahun masjid ini berdiri di tanah Cirebon jadi saksi bisu perjalanan sejarah Nusantara dari sisi budaya, politik, dan agama. Hingga sekarang Masjid Agung Sang Cipta Rasa tetap jadi magnet para peziarah, wisatawan, dan umat Islam secara umum, untuk datang beribadah dan membedah sisi sejarahnya yang sangat menarik dan penuh warna, dan tentu saja mendengar seruan adzan pitu di setiap salat Jumat, adzan dengan tujuh orang muadzin yang mungkin hanya ada satu-satunya di dunia.
COMMENTS