Keruh Laut Waruduwur
Merosotnya tangkapan hasil laut nelayan Waruduwur, Cirebon memberikan pukulan pada buruh-buruh perempuan pengupas kerang hijau dan kepiting.
Merosotnya tangkapan hasil laut nelayan Waruduwur, Cirebon memberikan pukulan pada buruh-buruh perempuan pengupas kerang hijau dan kepiting.
BandungBergerak.id - Sabtu pagi di dermaga kampung nelayan Waruduwur, 4 Januari 2024, jam masih menunjukan pukul 5 lewat 30 menit, bayangan sebuah kapal nelayan terlihat samar berbalut kabut. Asap hitam mesin disel meliuk ke udara. Kapal itu melewati hutan bakau di muara sungai menuju pantai utara Jawa tersebut.
Masih berkain sarung, Darsono (50 tahun) mulai melepas tali tambat kapal bernama Erlaut miliknya. "Ayo ikut saya coba njaring rajungan, nggak perlu jauh-jauh siapa tau ada rejekinya," ajaknya ramah. Tanpa pikir dua kali saya melompat ke kapalnya ikut melaut.
Setelah melewati muara dengan hutan bakau di kanan kiri kapal mulai memasuki wilayah perairan tangkap nelayan. Cerobong dua unit PLTU batu bara Cirebon yang menjulang di bibir pantai semakin manjauh. Kapal mendekat ke arah dermaga tongkang batu bara yang menjorok ke laut lepas, mungkin jaraknya lebih dari satu kilometer dari garis pantai. Sebuah konstruksi jembatan baja yang kokoh menghubungkan dermaga batu bara dengan area pembangkit PLTU Cirebon 1 di pantai.
Beberapa nelayan di tengah laut tampak sibuk memperbaiki semacam bagang laut perangkap kerang hijau, cumi-cumi, udang, atau ikan. Darsono menjelaskan bagang milik kawan-kawan sekampungnya itu gagal mendapat hasil, malah rusak terkena ombak besar.
Beberapa nelayan lain juga jelas terlihat menarik jala yang panjangnya lebih dari 50 meter. Jala nylon berwarna putih itu berkilat-kilat terkena paparan sinar matahari yang mulai meninggi. Tak ada rajungan atau udang cakrek yang terperangkap di sana. Darsono mulai menurunkan jala secara perlahan.
"Ini juga jala saya belum diperbaiki lagi, kayanya harus mulai diganti ini, nanti saja nunggu ada ada duit," ujarnya.
Setelah 15 menit menunggu ia mulai menarik jala perlahan, gulungan jalan yang ditarik tergulung di dek kapal kayu miliknya. Ia menghela napas sambil tersenyum kecut. "Nggak ada yang kena, ikan kecil pun tak ada, malah uwur-uwur yang muncul, kalau laut tenang seperti ini rajungan susah munculnya, harus ombak agak besar," katanya tertawa sambil menunjuk seekor ubur-ubur dekat jaringnya.
Akhirnya kami kembali ke kampung tanpa membawa hasil. Seekor burung blekok (Ardeola speciosa) dan seekor trinil pantai(Actitis hypoleucos) hinggap di batang-batang bakau saat mencari mangsa. Kecuali blekok, trinil pantai adalah burung migran dari Erasia yang bermigrasi ke Asia Tenggara saat musim dingin.
Darsono menambatkan Erlaut ke dermaga, ia tak mendapat rajungan pagi itu. Terakhir melaut beberapa hari lalu ia hanya mendapatkan 1,5 kilogram rajungan, setelah dikupas laku dijual Rp 150.000, untuk solar dan bekal ia habis Rp 100 ribu. Beruntung istrinya di rumah masih bisa jadi buruh pengupas rajungan dengan upah Rp 100 ribu jika pasokan rajungan ada. Saat pasokan rajungan atau kerang hijau dari daerah lain masuk ke Waruduwur sampai dua atau tiga kali, dalam sehari para perempuan bisa mendapat upah sampai Rp 200.000 sehari. Tapi sesekali juga pasokan rajungan dan kerang hijau tersendat, artinya hari itu warga tak dapat penghasilan..
Waruduwur, salah satu kampung nelayan penghasil rajungan dan kerang hijau di pesisir Cirebon, kini tak bisa lagi mengandalkan tangkapan laut di daerahnya sendiri. Waruduwur masih dikenal sebagai salah satu penghasil rajungan dan kerang hijau di Cirebon, walau kini terpaksa bergantung pada pasokan dari daerah lain, bukan dari perairan sendiri.
Dulu Melimpah Kini Punah
Arto mengurai dan menggulung jaring rajungan di depan rumahnya di kampung nelayan Desa Waruduwur, Kecamatan Mundu, Kabupaten Cirebon, jelang sore hari, 3 Januari 2024. Rumah Arto terpaut jarak 20 meter saja dari kapal-kapal yang tertambat di pinggir sungai. Sejumlah perempuan di teras rumah sibuk mengupas kepiting rajungan dan urus-urus, sejenis kepiting yang ukurannya lebih kecil dan berdaging lebih tipis.
Nelayan berusia 51 tahun ini telah pergi melaut menemani orang tuanya sejak masih sangat belia. "Pertama kali melaut umur saya waktu itu 10 tahun," katanya seraya tertawa.
Sekitar 300 meter dari rumahnya, tepatnya di seberang sungai, tampak menjulang tinggi cerobong asap PLTU Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt berbahan bakar batu bara yang dikelola PT Cirebon Electric Power, sebuah konsorsium Indonesia, Jepang, dan Korea Selatan. Di kejauhan juga terlihat cerobong asap PLTU Cirebon Unit II berkapasitas 1.000 megawatt.
Arto ingat betul saat para nelayan masih sangat mudah menjaring rajungan di perairan dekat desa mereka.
"Dulu nggak perlu jauh melaut, paling melaut setengah jam saja sudah dapat banyak rajungan. Sekarang harus berlayar jauh selama tiga jam, itupun tidak lagi melimpah seperti dulu terus tiga jam lagi berlayar pulang. Kita bisa di laut selama 12 jam jadi beban ongkos melaut makin besar, tangkapan makin dikit," katanya.
Ia butuh 15 liter solar seharga 8.000 rupiah per liter untuk sekali melaut. Untuk bekal makanan, rokok, kopi untuk 2 orang nelayan, paling tidak Arto perlu 300 ribu rupiah sekali melaut. Arto tak pasang target terlalu muluk, dapat 10 kilogram rajungan saja ia sudah bersyukur walau untungnya tipis.
"Masih bisa dapat 1 juta (rupiah) lalu dipotong ongkos dan dibagi teman melaut ya masih ada lah sedikit lebihnya," kata Arto.
Sebelum ada PLTU nelayan Waruduwur bisa menjaring 20-30 kilogram rajungan dengan cukup mudah tanpa harus pergi jauh melaut. Butuh waktu 30 menit saja untuk menebar jala di sekitar pantai yang kini jadi lokasi dermaga tongkang batu bara dan akses infrastruktur dari dermaga tongkang ke area pembangkit di daratan. Solar nonsubsidi yang dibutuhkan hanya sekitar 5 liter saja. Nelayan kesulitan mengakses solar subsidi seharga 6.800 rupiah per liter karena terkendala sejumlah persyaratan dari pemerintah ditambah terbatasnya jumlah SPBU yang melayani solar subsidi.
Sebanyak 20-30 kilogram rajungan kira-kira bisa mendapat hasil sebesar 3 juta rupiah, waktu melaut tak perlu semalaman, solar yang dibutuhkan hanya sekitar 5 liter saja. Nelayan masih bisa meraup pendapatan yang cukup besar dalam semalam, tapi itu dulu saat rajungan masih melimpah sebelum beroperasinya PLTU Cirebon.
Nelayan Waruduwur sejak dulu mengandalkan perikanan tangkap berupa hasil laut ikan, rajungan, kerang hijau, dan udang cakrek. Saat ini hasil-hasil laut tersebut sudah semakin langka. Nelayan harus melaut lebih jauh sampai ke perbatasan Indramayu.
Langkanya tangkapan dari laut tentu sangat berdampak pada minimnya pendapatan para nelayan. Kaum perempuan di Waruduwur tak bisa begitu saja menyerah pada keadaan, saat tangkapan hasil laut suami mereka semakin menyusut atau bahkan nihil, para perempuan ini beralih menjadi buruh pengupas rajungan dan kerang hijau.
Jika semula para perempuan Waruduwur mengupas rajungan dan kerang hijau hasil tangkapan nelayan dari kampung sendiri atau tangkapan suami mereka sendiri, kini rajungan dan kerang hijau banyak didatangkan dari luar daerah oleh bandar-bandar hasil laut di Waruduwur.
Menurut salah seorang nelayan dan bandar pengolahan rajungan di Waruduwur, Warcita, menghilangnya rajungan, kerang hijau, udang cakrek, dan ikan dari perairan Waruduwur mulai dirasakan sejak tahun 2016, atau empat tahun setelah PLTU Cirebon 1 beroperasi tahun 2012.
"Bukan kapasitas saya untuk menuduh apakah limbah PLTU berpengaruh pada lingkungan perairan di Waruduwur, tapi yang saya rasakan memang kini semakin sulit mencari rajungan, udang cakrek, atau kerang hijau di sekitar wilayah kami,” katanya.
Sebelum ada PLTU, Warcita bercerita, gampang sekali menjaring rajungan dan udang cakrek. Para nelayan tidak perlu jauh-jauh melaut.
“Sekarang untuk bikin tambak bandeng atau udang saja sulit, kualitas airnya mungkin sudah jelek. Saya pernah dapat rajungan yang cangkang bagian dadanya itu warnanya hitam, rajungan itu di dasar kan, itu hitam-hitam semua, kita juga pernah angkat endapan batu bara di dasar pantai sampai dua dump truck," kata nelayan berusia 56 tahun ini.
Tambak-tambak budidaya seperti tambak bandeng dan udang di sekitar perkampungan juga kini tak bisa diandalkan lagi. "Sekarang budidaya saja jelek, jika ikan atau udangnya hidup juga pertumbuhannya sangat lambat dan kualitasnya jelek, ya pasti ada hubungannya dengan kualitas air di tambak," katanya.
Tangkapan di laut tak pasti dan budidaya di tambak juga mati, Wacitra terpaksa harus mendatangkan rajungan dari Kalimantan atau dari nelayan daerah lain, termasuk kerang hijau, untuk memasok industri pengolahan daging rajungan dan kerang hijau miliknya.
Namun ada beberapa nelayan yang tak sependapat dengan Wacitra, mereka minta namanya tak disebut. Mereka membantah jika keberadaan PLTU Cirebon dituding jadi biang kerok hilangnya tangkapan nelayan di Waruduwur.
"Kita nggak salahin PLTU, itu ada anggaran untuk kompensasi kerusakan lingkungan, tapi entah nyangkut di mana anggarannya," kata mereka kata mereka saat tengah mempersiapkan peralatan untuk melaut. Nelayan-nelayan ini mengakui ada kerusakan lingkungan di Waruduwur, namun menurut pemahaman mereka kerusakan itu bisa dikompensasi dengan nilai anggaran untuk mengatasi kerusakan lingkungan yang entah seperti apa bentuknya karena mereka tidak menjelaskan lebih lanjut.
Jumat sore 3 Januari 2025, Supri (31 tahun) terpaksa harus membeli kerang hijau dari luar kampung halamannya demi menjaga dapurnya tetap ngebul. Pria pemilik pengolahan daging kerang hijau ini tak bisa lagi mengandalkan pasokan kerang hijau dari nelayan di kampungnya. Supri kini bergantung pada pasokan kerang hijau dari daerah lain di luar Waruduwur.
Ia tak mau berandai-andai kenapa kerang hijau tak lagi tersedia di pesisir pantai Waruduwur dan tidak mau menyalahkan pihak mana pun. Meski demikian, kenyataannya sekarang tidak ada lagi kerang hijau di Waruduwur. Jika kerang-kerang hijau benar-benar lenyap di Waruduwur, usaha Supri otomatis mati. Begitu juga dengan warga kampung yang sehari-hari kerja membersihkan dan mengupas daging kerang hijau.
“Tapi kadang barang juga tak pasti datang hari ini, ya namanya kita adu harga dengan pembeli lain, siapa berani lebih tinggi, transportasi pengangkutan juga kena biaya lagi. Jadi lebih enak jika nelayan-nelayan kita sendiri yang bisa memasoknya, tapi kan kerang hijaunya juga sudah sulit didapat di sini," jelas Supri.
Sekali mengolah Supri membutuhkan pasokan kerang hijau antara 1 sampai 2 ton, melibatkan lebih dari 10 orang pengupas kerang. Dari 1 ton itu hanya akan didapat sekitar 200 kilogram daging kerang hijau.
"Daging kerang hijau bukan untuk ekspor tapi untuk memasok pasar-pasar di kota-kota besar, termasuk ke Bandung," katanya.
Mengupas Berjamaah di Teras Rumah
Samiah (52) bersama Asih Lestari (32) bergegas mengupas kepiting laut yang mereka sebut urus-urus di teras rumahnya, 3 Januari 2025. Bentuk urus-urus mirip rajungan tapi lebih kecil dan kurus. "Ini kan hari Jumat mumpung masih agak pagi biar beres sebelum waktu jumatan," kata Samiah.
Menurut Samiah urus-urus didapatnya dari tangkapa nelayan di sekitar muara. "Tapi cuma sedikit, kepiting jenis ini dagingnya sedikit, nggak seperti rajungan. Ini dapat 5 kilo setelah dikupas jadi sekilo daging, dihargai pengepul 60.000 (rupiah) sekilo," kata Samiah.
Rekan Samiah, Asih, hari itu cuma dapat mengupas sedikit kepiting. Ia berharap besok bisa dapat rajungan juga selain urus-urus. Dari harga 60.000 rupiah itu, Asih kebagian 25.000 rupiah. Sisanya buat Samiah. "Harganya lebih mahal rajungan, urus-urus murah,” ujarnya.
Di sisi kampung dekat sungai, Apsa (42 tahun) dengan cekatan mengupas kulit keras rajungan bersama beberapa orang perempuan kerabatnya. Sore itu mereka mengumpukan daging rajungan di halaman rumah, ada terlihat kepiting urus-urus di antara tumpukan rajungan. Menurut Apsa total berat kepiting tangkapan suaminya hasil melaut semalam sekitar 10 kilogram.
Daging rajungan dihargai lebih mahal dari urus-urus. Dari 3 kilogram rajungan Apsa bisa dapat satu kilogram daging. Oleh pengepul rajungan dihargai 210.000 rupiah. “Dagingnya harus bersih tanpa cangkang, lalu kita kemas dengan rapi, kalau daging urus-urus dihargai 60.000 (rupiah) sekilogram. Dari 5 kilo urus-urus cuma didapat sekilo daging," kata Apsa.
Apsa sangat mengandalkan rajungan tangkapan suaminya yang bernama Arto. Rajungan dari perairan sekitar Waruduwur sudah sangat sulit didapat, artinya nelayan harus berlayar lebih jauh dan lebih lama di laut yang berarti ongkos melautnya bakal membengkak. Apsa dan Arto sangat bergantung pada tangkapan rajungan.
Apsa, Asih Lestari, dan Samiah, adalah potret perempuan-perempuan Waruduwur yang membantu penghasilan keluarga mereka dengan menjadi buruh pengupas rajungan atau kerang hijau. Saban pagi sampai siang hari suasana kampung nelayan ini diwarnai celoteh dan senda gurau para buruh pengupas yang beraktivitas di teras rumah, emperan jalan kampung, atau di halaman rumah bandar pemasok daging rajungan dan kerang hijau.
Kampung nelayan ini terbagi menjadi dua wilayah permukiman, yaitu di pinggir sungai sampai sekitar muara dan di sepanjang jalan desa dengan kolam-kolam tambak air payaunya. Namun tambak-tambak ini tak lagi bisa diandalkan karena kualitas air buruk. Tambak tak bisa lagi ditanami udang vanamei atau ikan bandeng.
Warga benar-benar mengandalkan profesi nelayan tangkap, atau jadi buruh pengupas rajungan dan kerang hijau. Buruh pengupas kerang hijau 4.000 rupiah untuk setiap kilogram daging yang dikupas. Buruh yang bertugas mencuci dan membersihkan kerang hijau diupah 8.000 rupiah untuk setiap ember kerang.
Para pengupas rajungan dan kerang hijau ini bisa mendapat upah antara 70.000 rupiah sampai 100.000 rupiah sehari. Jika pasokan rajungan dan kerang cukup melimpah bisa mendapat upah sampai 200.000 rupiah dengan catatan jam kerja bisa sampai malam.
Dari data BPS Kabupaten Cirebon tahun 2020 dengan pemutakhiran data per Oktober 2021, di Kecamatan Mundu jumlah nelayan perikanan tangkap ada 851 orang dengan profesi nelayan penuh dan 1.670 dengan profesi nelayan sambilan utama. Di Desa Waruduwur sendiri ada sekitar 600 orang warga yang berprofesi sebagai nelayan. Sesuai keterangan dari pengurus Kelompok Perikanan Bintang Muara di Desa Waruduwur. Kampung nelayan Desa Waruduwur dihuni oleh sekitar 4.789 jiwa. Dengan komposisi 2.441 orang laki-laki dan 2.348 perempuan (BPS Kabupaten Cirebon 2022).
Energi Kotor Berbalut Korupsi
Wahana Lingkungan Hidup Jawa Barat terus bersuara terkait pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berbahan bakar batu bara yang selalu bertentangan antara pemenuhan kebutuhan energi listrik Jawa Bali dan kerusakan lingkungan di kawasan sekitar PLTU.
Menurut Walhi Jawa Barat, pembangunan dan beroperasinya PLTU Cirebon 1 dan 2 telah menimbulkan dampak sosial dan ekologis yang signifikan. Proses pembangunannya dipenuhi intimidasi kepada warga untuk melepas tanahnya. Sejak beroperasinya PLTU Cirebon tangkapan nelayan terus merosot dan banyak warga desa yang mengeluhkan gangguan kesehatan seperti penyakit di saluran pernapasan.
Kontroversi juga mewarnai berdirinya PLTU Cirebon 2 di mana mantan Bupati Cirebon periode 2014-2019 Sunjaya Purwadisastra terbukti bersalah atas kasus korupsi dan pencucian uang di proyek PLTU Cirebon 2. Bekas orang nomor satu di Kabupaten Cirebon ini diganjar tujuh tahun bui. Kasus ini menyeret raksasa industri Korea Selatan Hyundai
Walhi Jabar mengungkap dugaan keterlbatan Hyundai dalam pusaran korupsi proyek pembangunan PLTU Cirebon setelah Kejaksaan Distrik Pusat Seoul menggeledah kantor Hyundai dan menyita sejumlah dokumen terkait pembangunan PLTU di Cirebon pada 6 November 2024. Walhi mendesak KPK agar mengusut tuntas dan mengadili semua yang terlibat dalam pendanaan pembangkit listrik berenergi kotor ini.
Walhi juga memandang perlunya perluasan kampanye terkait perkembangan kasus (korupsi) di proyek strategis nasional PLTU Cirebon 2 serta melantangkan upaya-upaya mereka yang tetap menuntut keadilan iklim untuk mendorong kebijakan energi dan lingkungan yang berkeadilan.
PLTU Cirebon 1 berkapasitas 660 megawatt ini memiliki pembangkit listrik supercritical yang diklaim lebih efisien berkat boiler yang disebut memakai teknologi batu bara bersih dengan nilai efisiensi tinggi dan emisi rendah. Instalasi pembangkit listriknya berdiri diatas lahan seluas 150 hektare. Emisi buang dari PLTU ini disebut berada dibawah ambang batas, sistem sirkulasi airnya juga diklaim lebih ramah lingkungan dengan sistem pendingin cooling tower.
PLTU Cirebon 1 menghasilkan 5 TWh listrik per tahun melalui sistem interkoneksi Jawa-Madura-Bali. PLTU Cirebon 1 akan segera pensiun dini pada tahun 2035, 7 tahun lebih cepat dari rencana. PLTU berteknologi canggih karena mampu membakar batu bara berkalori rendah ini membutuhkan sekitar 8.000 ton batu bara per hari. Menghasilkan sekitar 4.445 ton emisi karbon per hari. PLTU Cirebon 1 dibangun oleh konsorsium perusahaan multinasional PT Cirebon Electric yang terdiri dari Marubeni, Korea Midland Power Co, Samtan Co Ltd, dan PT Indika Energy.
Saat PLTU Cirebon 1 pensiun dini, proyek pembangkit listrik berenergi kotor ini dilanjutkan oleh PLTU Cirebon 2 yang beroperasi dengan teknologi ultra super critical, disebut mampu mengurangi emisi CO2 700 ton/MWh atau 70 persen lebih rendah dibanding PLTU batu bara konvensional. PLTU Cirebon 2 berkapasitas 1.000 megawatt ini berdiri di area seluas 195 hektare, tak jauh dari area PLTU Cirebon 1, tepatnya di Desa Kanci, Kecamatan Astanajapura.
12 Januari 2025, Warcita mengirimkan rekaman video. "Ini dari nelayan yang melaut semalam," katanya, melalui pesan percakapan WhatsApp. Berarti video diambil pada 12 Januari dini hari saat nelayan pergi melaut.
Dalam video berdurasi 30 detik itu seorang nelayan merekam perairan di sekitar area dermaga PLTU di lepas pantai Waruduwur yang dipenuhi busa berwarna putih. Lampu-lampu sorot di dermaga dan sepanjang akses jembatan laut menuju PLTU Cirebon 1 itu sangat terang memperlihatkan air laut berwarna hitam berbusa putih.
Polutan berupa limbah batu bara berimbas pada kualitas air dan perubahan suhu air laut di perairan Waruduwur. Faktor-faktor tersebut diduga jadi beberapa penyebab hilangnya rajungan dan kerang hijau di perairan sekitar Waruduwur, sama persis dengan penyebab hilangnya udang rebon di perairan sekitar PLTU Indramayu di pantai Kampung Pulo Kuntul, Desa Mekarsari di pesisir utara Indramayu.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS