Seabad PLTA Bengkok Menerangi Tanah Priangan
PLTA Bengkok beroperasi sejak 1923. Sudah seabad. Bisa bertahan beberapa abad lagi dibandingkan teknologi pembangkit listrik batu bara yang tidak ramah lingkungan.
PLTA Bengkok beroperasi sejak 1923. Sudah seabad. Bisa bertahan beberapa abad lagi dibandingkan teknologi pembangkit listrik batu bara yang tidak ramah lingkungan.
BandungBergerak.id - Seekor elang brontok (N. cirrhatus) melayang di antara tutupan hutan dan permukiman cukup padat di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Bengkok, Dago, Bandung, 10 Februari 2025. PLTA peninggalan kolonial Belanda ini sejak awal menerapkan teknologi ramah lingkungan. Meski mesin-mesinnya manual, PLTA ini lebih ramah lingkungan dibandingkan PLTA bendungan apalagi PLTU batu bara yang menghasilkan polusi.
PLTA Bengkok mulai beroperasi sejak tahun 1923, memiliki area komplek pembangkit dan tangkapan air seluas 14 hektare. Posisinya diapit aliran Sungai Cikapundung dan permukiman penduduk. Bangunan utama berupa gedung pembangkit (power house) menjulang di antara aliran sungai, ruang terbuka hijau hutan raya, dan rumah-rumah warga.
Aliran sungai yang melintasi PLTA Bengkok berwarna cokelat keruh kehijauan meliuk di antara batuan lava beku. Pipa-pipa air pembuangan dari kandang sapi dan pabrik tahu deras mengeluarkan isinya, mengalir langsung ke badan sungai. Pipa-pipa air lainnya mengeluarkan limbah rumah tangga dari permukiman di pinggir sungai.
Kolam intake untuk memasok air PLTA Bengkok berada di tengah hutan Taman Hutan Raya Ir Djuanda. Di sana ada kolam penampungan, tak jauh dari penangkaran rusa dan area budidaya lebah hutan. Dari sana air mengalir ke kolam penampungan di Bengkok dengan volume 30.000 meter kubik. Selanjutnya, pipa pesat kuning mengalirkan air dari kolam penampung ke gedung pembangkit, aliran air deras itu memutar turbin-turbin tua di gedung pembangkit dengan kapasitas 3 x 1.050 kilowatt.
Bicara PLTA Dago Bengkok tak akan terpisah dari PLTA Dago yang ada di kawasan lebih rendah sekitar 1,8 kilometer dari Bengkok. Pembangkit yang ada di kawasan Dago Pojok itu berkapasitas 700 kilowatt, jadi total listrik yang dihasilkan jika keempatnya bekerja sebesar 3,85 megawatt.
Lorong khas bangunan tua Belanda mengarah ke ruang instalasi pembangkit listrik dan ruang panel-panel pengendali. Langit-langitnya tinggi sekali. Di kanan kiri lorong berjajar sekering listrik tua yang ukurannya besar-besar. Keluar lorong ada ruang mesin pembangkit listrik dengan suaranya yang lumayan bergemuruh. Mesin-mesin itu berwarna merah menyala, kontras dengan lantai ruangan yang berwarna hijau dan bergaris kuning.
Mesin pembangkit berusia lebih dari seabad itu tetap optimal bekerja berkat perawatan berkala yang baik. Aliran deras air dari pipa pesat mengoperasikan turbin-turbin tua Escher Wyss dan generator General Electric nonstop di Bengkok. PLTA Dago dilengkapi dengan turbin tua Strok & Co dengan generator General Electric. Semua air yang keluar dari dua PLTA ini dimanfaatkan sebagai sumber air baku PDAM Tirtawening.
Preventive maintenance dan periodically maintenance mutlak harus rutin dilakukan. Ada juga perawatan yang disebut general maintenance di mana setelah 24.000-30.000 jam operasi akan dilakukan pengukuran, pemeriksaan, visul check, dan penggantian minor pada mesin. Overhaul atau perawatan besar dilakukan setiap 40.000-45.000 jam operasi atau sekitar 6-7 tahun sekali. Semua mesin dibongkar, dibersihkan, dan suku cadang yang rusak diganti.
Perusahaan PLTA dan listrik Hindia Belanda yang menggagas pembangkit listrik berenergi hijau ini adalah Landiswaterkrachtbedrijf Bandoeng en Omstreken dan Gemeenschappelijk Electrisch Bedrijf Bandoeng en Omstreken. Kini PLTA zaman Belanda tersebut di bawah PLN yang dikelola PT Indonesia Power melalui Unit Pembangkitan Saguling.
"PLTA Bengkok adalah salah satu pembangkit tertua yang dimiliki Indonesia Power yang masih dioperasikan secara manual seperti pertama kali dulu beroperasi serta terjaga heritagenya,” kata Team Leader PLTA Bengkok Dwi Wijanarko.
PLTA Bengkok jadi salah satu pembangkit listrik cagar budaya kelas A yang mengusung teknologi ramah lingkungan sejak pertama beroperasi. Beda dengan pembangkit lain yang sudah direnovasi dan didigitalisasi. SDM kami memiliki keahlian khusus yang berbeda dengan SDM di PLTA lain.
“Selain mengandalkan teknologi juga harus punya feel yang kuat. Dia bisa merasakan apakah mesin dalam kondisi seperti apa hanya dari getaran dan suara mesin yang keluar," tambah Dwi Wijanarko.
Menurut Dwi, mesin-mesin manual di gedung pembangkit benar-benar dioperasikan oleh tangan manusia. Ini membutuhkan SDM yang mumpuni dan tak bisa sembarangan dilakukan oleh teknisi lain, perlu ada pelatihan khusus sekitar 3 bulan untuk menguasai pengoperasian mesin turbin di Bengkok. Kompetensi ini yang jarang dimiliki oleh SDM di PLTA lain yang lebih modern. PLTA Bengkok jadi salah satu pelopor energi hijau di Indonesia, 100 tahun lebih dahulu dari jargon-jargon sustainable energy yang begitu getol digaungkan pemerintah dalam beberapa tahun terakhir ini.
Memanfaatkan Aliran Sungai Cikapundung
Agus Sukara, salah seorang karyawan di PLTA Bengkok, mempraktikkan langsung cara kerja mesin di PLTA ini. Saat bandungbergerak berkunjung, ia sedang mengarahkan alat pendeteksi thermal ke arah mesin turbin yang sedang bekerja.
"Ini prosedur standar untuk memastikan semua peralatan bekerja dengan optimal," kata Agus.
Agus berkeliling di sekitar 2 instalasi turbin, memeriksa semua panel, matanya terus mengamati indikator di dua mesin turbin tua itu. Kita harus menggunakan helm, rompi bertanda khusus, dan penyumbat telinga saat berada di sekitar turbin-turbin pembangkit. Sebaiknya juga memakai kacamata pelindung.
PLTA Bengkok mengadopsi sistem run off river, jadi sangat bergantung pada aliran air Sungai Cikapundung. Karena itu alih fungsi lahan di wilayah hulu DAS Cikapundung dan pencemaran air oleh kotoran sapi jadi pemicu tingginya sedimentasi di Cikapundung.
Dari total volume kolam penampung atau reservoir sebesar 30.000 meter kubik, saat ini sedimentasi sudah mencapai 20.000 meter kubik. Sebulan sekali 1.000 meter kubik lumpur sedimentasi atau setara 300 dump truck harus dibuang ke area pembuangan khusus di waduk Saguling.
PLTA Bengkok perlu 3,9 meter kubik air per detik untuk memutar 3 unit turbinnya. Di masa lalu saat lingkungan di kawasan hulu dan hutan di Kawasan Bandung Utara (KBU) masih terjaga dan belum banyak beralih fungsi 3 unit turbin bisa beroperasi sekaligus.
"Sakarang hanya mampu 0,8 sampai 1 megawatt dari dua mesin, bukan karena teknologi atau kondisi mesinnya. Tapi kami menyesuaikan dengan aliran air yang masuk, dua per tiga reservoir itu kan isinya sedimen. Jadi kita harus jalankan mesin seusai inflow yang masuk, debit turun bukan karena PLTA nya tapi alih fungsi lahan di kawasan hulu," kata Dwi Wijanarko.
Di masa Hindia Belanda banyak pembangkit listrik memanfaatkan sumber energi ramah lingkungan dan berkelanjutan seperti PLTA. Instalasinya menyebar di dataran-dataran tinggi Bandung, mengandalkan gravitasi hingga PLTA-PLTA seperti membentuk cascade, seperti PLTA Bengkok dan PLTA Dago di utara.
Di wilayah selatan kita bisa melihat dam Cipanunjang dan Cileunca untuk mendukung aliran air deras ke rumah pembangkit di PLTA Plengan (1922) lalu airnya turun lagi ke PLTA Lamajan (1925). Air dari PLTA-PLTA ini selanjutnya jadi air baku untuk PDAM.
PLTA tua seperti Bengkok adalah pembangkit listrik hijau yang sangat mengandalkan ekosistem lingkungan yang terjaga, berbeda dengan PLTA yang memiliki bendungan atau dam. Semakin terjaga dan terlindungi kondisi lingkungan maka mesin-mesin pembangkit di PLTA tua seperti Dago dan Bengkok bakal terus beroperasi mungkin sampai abad-abad yang akan datang.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS