Ruang Sunyi Santri Difabel
Di dua ruang berbeda di Kota dan Kabupaten Bandung para santri difabel membaca Al Quran dan menghafalkannya. Ramadan memacu semangat mereka.
Di dua ruang berbeda di Kota dan Kabupaten Bandung para santri difabel membaca Al Quran dan menghafalkannya. Ramadan memacu semangat mereka.
BandungBergerak.id - Stiker besar berwarna biru dengan tulisan Rumah Quran Isyaroh, Arcamanik, Kota Bandung menempel di pintu besi berwarna abu-abu. Setelah melepas alas kaki saya masuk ke ruang tunggu. Sekelompok perempuan tengah berbincang. "Terus saja ke lantai atas, belajarnya ngajinya di sana semua," kata salah seorang perempuan yang ternyata orang tua santri yang sedang menunggu anaknya belajar.
Saya melangkah ke lantai atas, tak terdengar suara orang mengaji Al Quran yang biasanya terdengar bergema-gema di dinding-dinding ruangan. Di area atas yang luas itu kelompok santri laki-laki berkumpul di sisi sebelah kanan. Jari jemari mereka bergantian membentuk konfigurasi tertentu, setiap kelompok dibimbing beberapa pengajar yang sudah mahir mengaji Al Quran menggunakan huruf hijaiyah atau huruf Arab isyarat.
Kelompok santri perempuan melakukan hal yang sama di sisi ruangan yang lain. Cepat sekali jemari mereka berganti-ganti gerakan saat membaca Al Quran.
Sejak memasuki sepekan Ramadan 1446 H, 6 Maret 2025, ada sekitar 70 orang mulai dari anak-anak SMP sampai perguruan tinggi yang mengaji di Rumah Quran Isyaroh.
Ica (19 tahun), gadis tunarungu mahasiswi jurusan DKV Unikom menggerakan jari jemarinya sesuai buku belajar membaca huruf hijaiyah iqro. Ia ditemani Nanda (25 tahun), sarjana lulusan UPI yang kini tengah mengambil kuliah S2 di jurusan desain ITB.
"Saya bukan tunarungu, tapi saya tertarik dengan bahasa, khususnya bahasa isyarat. Jadi saya belajar bersama Ica disini untuk belajar berkomunikasi dan belajar membaca Al Quran dengan huruf isyarat," kata Nanda.
Belajar huruf hijaiyah dengan bahasa isyarat juga menarik perhatian Fatimah (22 tahun), mahasiswi UPI jurusan Pendidikan Khusus semester delapan. "Bahasa isyarat hijaiyah ini agak berbeda dengan bahasa isyarat biasa, jadi saya harus bisa menguasainya supaya mudah untuk nantinya kita bagikan lagi ilmunya," ucap Fatimah.
Rumah Quran Isyaroh (RQI) digagas oleh Siti Umayah yang akrab disapa ibu Maya oleh para santri. Wanita berusia 51 tahun ini adalah seorang aktivis sosial dan juga pengajar di RQI. Maya punya anak berkebutuhan khusus yang dulunya kerap dikucilkan di sekolahnya.
"Jadis saya berjuang untuk kebutuhan pendidikan anak saya, termasuk cari guru ngaji untuk anak saya. Itulah yang jadi ide awal pendirian RQI ini," jelasnya.
Tahun 2017 ia mulai aktif mengajar anak-anak. Yayasan lalu dibuat tahun 2021. Pesantren atau pusat pendidikan tunarungu ini tidak menarik bayaran dari muridnya alias gratis. Maya mengunakan kocek pribadinya untuk operasional, lama-lama mulai banyak donator yang ikut membantu sampai saat ini.
Rata-rata setiap hari ada sekitar 70 orang yang datang untuk belajar bahasa isyarat ke RQI, siapa saja yang tertarik untuk belajar bahasa isyarat bisa datang dan bergabung, khususnya bagi penyandang tunarungu.
Cahaya dari Pesantren
Di dataran tinggi Kawasan Bandung Utara, sinar matahari menerobos masuk melalui celah jendela kobong pesantren yang dihuni santri tunanetra Saman Quran Darushudur di Kampung Sekegawir, Kecamatan Cimenyan, Kabupaten Bandung, 4 Maret 2025. Cahaya alam itu menerangi wajah Ilsan Supriyanto (28 tahun).
Jari Supriyanto meraba lembar demi lembar kitab suci Al Quran Braille, mulutnya melafalkan ayat demi ayat dengan suara perlahan. Sesekali ia mendengar speaker tahfidz untuk memastikan tajwidnya sudah benar dan mendengar terjemahan ayat yang ia baca dan hafalkan.
"Saya sedang proses menghafal juz ke-5," katanya.
Di masjid pesantren sayup-sayup terdengar gema suara orang mengaji. Di sana telah berkumpul lebih dari 10 orang santri dengan kitab sucinya masing-masing. Seorang santri yang lain berbaring sambil mendengar speaker tahfidz.
Di sana ada Sidqi (22 tahun) dan Abdullah Abdul Jawad (30 tahun) yang membimbing adik-adik kelasnya membaca Al Quran Braille sekaligus membantu proses menghafal Al Quran. Dua orang santri ini adalah penghafal Al Quran jebolan pesantren yang kini sedang mengabdi dan berbakti untuk almamaternya.
Di bagian belakang ruang utama masjid, dibatasi sekat berwarna putih, santri perempuan melakukan hal yang sama. Beberapa dari mereka ada mendengar speaker tahfidz di teras masjid, sesekali mereka meraba lembaran Al Quran Braille untuk memastikan bacaannya sesuai dengan pelafalan yang keluar dari speaker.
"Saya baru saja setor hafalan juz 1, saya baru masuk tahun ke-2 di pesantren ini," kata Lita Amalia (20 tahun), santri perempuan asal Cianjur.
Ismaya Ayinadiya (24 tahun) sudah menyetor hafalan sebanyak 24 juz. Ia sudah dua tahun belajar di pesantren. “Rencana kalau sudah hafidz (lulus dan hafal Al Quran 30 juz) saya mau mengabdi dulu di pesantren untuk mengajar," katanya.
Dalam kesunyian, jari-jemari Ica dengan fasih dan lantang menyuarakan lantunan ayat-ayat suci di lantai dua Rumah Quran Isyaroh. Di masjid pesantren Sam'an Quran Darushudur, jari jemari Lita Amalia jadi penerang dalam gelap, saat suaranya lantang melantunkan ayat-ayat suci.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS