Lembur Katumbiri
Kampung Katumbiri awalnya bernama Kampung Pelangi atau Kampung 200. Menjadi tujuan wisatawan lokal. Namun dampak ekonominya kurang terasa bagi warga sekitar.
Kampung Katumbiri awalnya bernama Kampung Pelangi atau Kampung 200. Menjadi tujuan wisatawan lokal. Namun dampak ekonominya kurang terasa bagi warga sekitar.
BandungBergerak.id - Dinding dengan grafis menarik penuh mural dan warna mencolok mata di lembah bukit Manteos, terlihat kontras dari kejauhan dengan warna air coklat keruh aliran Sungai Cikapundung, 6 Mei 2025. Sungai ini membelah permukiman padat Kampung Katumbiri tersebut. Desain mural dan komposisi warna digagas oleh seniman kondang John Martono dengan melibatkan tim kesenian dan masukan dari warga.
Beberapa hari sebelumnya, petugas dari dinas-dinas pemerintah dan warga mengecat ulang seluruh dinding dan atap genting lebih dari 300 rumah, tepatnya di lingkungan RW 12 Kelurahan Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung. Seluruh biaya pengecatan ditanggung oleh pemerintah kota.
Lorong-lorong gang terhubung satu sama lain seperti membentuk labirin melewati ribuan anak-anak tangga di perkampungan dengan kontur tanah miring. Banyak warga yang beriwsata sambil olahraga lari jogging atau sekadar hiking. Mereka kerap blusukan ke sudut-sudut kampung.
Di sebuah anak tangga berwarna cerah dengan mural di dinding rumah, mereka berhenti sejenak untuk berfoto. Setelah itu menghilang lagi di balik dinding rumah dan gang-gang sempit perkampungan yang dulunya bernama Kampung Pelangi atau Kampung 200. Katumbiri sendiri adalah bahasa Sunda yang artinya pelangi.
Akses menuju Kampung Katumbiri hanya bisa dilalui sepeda motor atau berjalan kaki dari arah Lebak Siliwangi. Suasananya menyenangkan, gangnya bersih dan suasananya asri. Saat jalan menyusuri gang kita bisa melihat kanopi pepohonan dan gedung-gedung apartemen yang menjulang. Gangnya persis berada di sisi Sungai Cikapundung dengan kontur datar. Setelah sampai di Kampung Katumbiri kita bisa menjajal lorong-lorong perkampungan yang naik turun cukup curam. Dibutuhkan kondisi fisik yang bugar jika Ingin mengelilingi seluruh kawasan kampung ini.
“Kita baru pertama kali ke kampung ini, tahunya dari TikTok lucu warna warni, makanya ke sini saja sambil hiking,” kata Ayudia dan Alifa, dua remaja perempuan berusia 18 tahun yang baru saja lulus SMA.
Mereka membawa minuman dan makanan sendiri karena khawatir tidak ada yang jualan. Kenyataannya, mereka menemukan banyak pedagang makanan.
Serombongan anak TK juga terlihat bersama guru-gurunya untuk melihat semaraknya peresmian Kampung Katumbiri. “Ini memang bagian dari edukasi untuk anak-anak, kebetulan tema yang diambil tentang gejala alam dengan topik pelangi. Kami bawa anak-anak kesini tujuannya untuk mengenal warna, bersosialisasi dengan warga, dan mengenal alam,” kata Ani Suryani (56 tahun), guru TK Al Husainiyyah.
Menurut warga, banyak sekali wisatawan yang datang ke Kampung Katumbiri saat masih proses pengecatan. Bahkan sehari sebelum diresmikan oleh Walikota M Farhan, pengunjungnya sampai berjejal di gang, di jembatan, sampai semua sudut-sudut kampung. Mereka rela berdiri menunggu hanya untuk gantian berfoto dengan latar lembah Kampung Katumbiri.
“Warga sih senang saja dinding rumahnya dicat ulang dengan warna-warna cerah dan mural yang bagus, tapi harus ada juga dampaknya secara ekonomi ke warga,” kata Siti (50 tahun).
Siti mengatakan, kampung ini disebut wisata berbasis masyarakat. Namun jualan warga setempat kurang ramai. “Kurang strategis untuk jualan makanan misalnya di sini, yang ramai itu justru di jalur gang diatas yang ke arah Cibarani,” katanya.
Siti besar dan lahir di kampung ini, ia menyaksikan perubahan kawasan yang tadinya kampung di antara sawah, kebun, dan hutan, kini hampir seluruhnya jadi permukiman. Siti kecil juga masih sempat merasakan bersihnya air Cikapundung yang masih aman digunakan untuk mandi dan mencuci.
Yayah, pemilik warung di dekat jembatan satu-satunya yang membentang di atas Sungai Cikapundung Kampung Katumbiri juga belum merasakan dampak dari banyaknya para wisatawan yang melintas.
“Kampung ini viralnya sudah lama, banyak memang yang jalan-jalan ke sini, tapi jarang juga sih yang belanja ke warung saya. Banyaknya mampir di gang di atas yang ke Cibarani, di situ juga kan banyak warung dan kios-kios makanan street food,” kaya Yayah (30 tahun).
Benar apa kata Siti dan Yayah. Wasno (68 tahun), pedagang bakso yang berjualan persis di gang Kampung Cibarani di atas jembatan Sungai Cikapundung, jembatan pemisah antara Kampung Katumbiri dan Kampung Cibarani, cukup kewalahan saat melayani wisatawan dan rombongan warga yang mendadak datang untuk melihat peresmian kampung.
“Banyak sekali yang datang, kemarin apalagi, sampai udara yang biasanya sejuk itu jadi gerah saking banyaknya orang,” kata Wasno yang sudah jualan bakso sejak tahun 1986.
Kebanyakan mereka yang datang adalah wisatawan lokal yang berolahraga jalan kaki. Mereka menuju ke tempat kumpul di Cibarani dan mampir ke warung bakso Wasno.
Dalam sehari ia bisa menjual 150 porsi bakso. Di saat peresmian atau akhir pekan ia bahkan bisa menjual 3 kali lipatnya.
Kampung Cibarani berada di sisi barat Kampung Katumbiri, dipisah oleh Sungai Cikapundung. Kampung Cibarani berada di Kelurahan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap. Jika Kampung Katumbiri menjual citra kampung kota warna warni maka Kampung Cibarani dikenal sebagai kampung “konservasi” berupa ruang publik di sisi Sungai Cikapundung dan hutan-hutan tersisa yang masih terjaga. Di sana juga ada weekend market dengan melibatkan warga kampung untuk berjualan apa saja.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS