• Foto
  • Macondo di Saguling

Macondo di Saguling

Sejak empat dekade lebih Waduk Saguling memisahkan kampung-kampung di Desa Karanganyar yang sebelumnya terhubung oleh daratan. Warga hidup terisolir tanpa jembatan.

Fotografer Prima Mulia8 Juni 2025

BandungBergerak.idKokom meniti rakit bambu yang bersandar di tepian Kampung Sampora, Desa Karanganyar, Kecamatan Cililin, Kabupaten Bandung Barat, pada 3 Juni 2025. Di atas rakit, ia membawa padi hasil panen dari sawahnya di Kampung Cijigud. Dahulu, Kampung Sampora dan Cijigud berada di satu daratan, namun kini keduanya dipisahkan oleh perairan Waduk Saguling.

Genangan Waduk Saguling membelah daratan Dusun I dan IV dari Dusun II dan III, menciptakan batas alami yang hanya dapat dilintasi dengan rakit bambu. Jalur air ini menghubungkan Kampung Sampora di Dusun II dengan Kampung Cijigud di Dusun I. Tidak ada jembatan bagi kendaraan bermotor—penyeberangan hanya diperuntukkan bagi pejalan kaki dalam jumlah terbatas.

Kantor Desa Karanganyar berada di daratan Dusun II. Karena itu, warga di lima RW yang tersebar di Dusun I dan IV harus menyeberangi waduk dengan rakit jika hendak ke kantor desa. Bagi yang memiliki sepeda motor, jalur darat menjadi pilihan, meskipun harus memutar jauh melalui Kecamatan Cipongkor dan memakan waktu sekitar satu jam.

Nurjanah Solehah, warga Kampung Cijigud, mengatakan warga akan kesulitan jika menghadapi situasi darurat, seperti harus memeriksakan diri ke Puskesmas Pembantu yang berada di kantor desa. Warga harus menyeberang dengan rakit ke Kampung Sampora, lalu melanjutkan perjalanan dengan sepeda motor. Berjalan kaki bukan pilihan, apalagi dalam kondisi sakit.

“Kalau jalan kaki mah ya jauh itungannya. Masa orang sakit harus jalan kaki jauh, bisa sejam kalau jalan kaki,” kata Nurjanah.

Nurhasanah, petani asal Cijigud yang tengah memanen jagung pipilan, berharap pemerintah membangun jembatan yang bisa dilalui kendaraan, seperti di kampung tetangga yang telah memiliki jembatan.

“Tolong bantuan beritanya atuh supaya bisa dibuat jembatan apung seperti yang dari Desa Tanjungjaya ke Karanganyar, sepeda motor juga bisa lewat, jadi kita kalau mau ada urusan ke desa bisa cepat,” kata Nurhasanah.

Desa Tanjungjaya di Kecamatan Cihampelas memiliki dermaga Kampung Bunder, dermaga transportasi perikanan di Waduk Saguling. Desa ini juga memiliki jembatan apung sepanjang sekitar 400 meter yang menghubungkan Tanjungjaya dengan Karanganyar. Jembatan itu populer disebut Jembatan Bucin.

Perjalanan dari Kampung Sampora ke Kantor Desa Karanganyar dapat ditempuh dalam waktu 15 menit dengan sepeda motor. Jika ada jembatan yang menghubungkan Kampung Sampora dan Cijigud, warga bisa menempuh perjalanan dalam 15–20 menit.

Tanpa jembatan, warga Cijigud harus berjalan kaki, naik rakit ke Kampung Sampora, lalu berjalan kaki lagi ke kantor desa, dengan waktu tempuh sekitar 45–60 menit. Jalur ini cukup melelahkan karena kontur jalannya naik turun. Bila memaksakan naik sepeda motor dari Cijigud atau kampung lain di Dusun I dan IV, warga harus menempuh jalan memutar sejauh 15–20 kilometer melalui Kecamatan Cipongkor, dengan waktu tempuh lebih dari satu jam.

Sejak tahun 1984, genangan Waduk Saguling telah memisahkan wilayah Desa Karanganyar, membentang di antara kampung-kampung yang sebelumnya terhubung oleh daratan. Upaya untuk membangun jembatan penghubung dari Kampung Sampora ke Kampung Cijigud telah berulang kali diajukan oleh pemerintah desa. Namun hingga kini, izin dari PT PLN Indonesia Power belum juga diberikan. Padahal, jarak antara kedua kampung itu hanya sekitar 120 meter.

“Jembatan apung di Kampung Bunder saja lebih panjang, lebih dari 400 meter,” kata Sekretaris Desa Karanganyar, Dadan Hidayat.
Kepala Desa Karanganyar Asep Hermawan menambahkan, keberadaan jembatan akan sangat membantu mobilitas warga di empat dusun yang dipimpinnya. “Sudah berulangkali kami memohon ke Pemkab Bandung Barat dan Indonesia Power, tapi belum membuahkan hasil,” kata pria yang memimpin 8.028 jiwa.

Kesunyian menyelimuti dusun-dusun di Desa Karanganyar setiap harinya, seperti di Macondo, kota imajiner dalam novel Seratus Tahun Kesunyian. Namun, Karanganyar bukan negeri fiksi, jaraknya hanya ‘sepelemparan’ batu dari ibu kota Jawa Barat, dengan lanskap alam yang terpencil menyerupai lukisan-lukisan bumi Parahyangan karya seniman Jelekong. Sawah-sawah subur, ladang jagung, kebun sayur, dan buah menghiasi halaman rumah penduduk, berpadu dengan perairan Waduk Saguling yang menjadi sumber mata pencaharian sebagian warga sebagai nelayan jaring apung.

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//