Air Menangis di Bawah Prasasti Curug Dago
Curug Dago memiliki jejak ledakan dahsyat Gunung Tangkubanparahu, peninggalan raja Thailand, hutan yang tersisa, dan Sungai Cikapundung yang tercemar aneka limbah.
Curug Dago memiliki jejak ledakan dahsyat Gunung Tangkubanparahu, peninggalan raja Thailand, hutan yang tersisa, dan Sungai Cikapundung yang tercemar aneka limbah.
BandungBergerak.id - Gemuruh air terjun di antara dinding batu perselingan aliran lava, breksi, piroklastik hasil endapan letusan Gunung Tangkubanparahu antara 125.000 hingga 48.000 tahun yang lalu, menghujam deras dari ketinggian sekitar 15 meter. Kabut tipis uap air menebar, membasahi kaca-kaca bangunan paviliun pelindung prasasti Raja Rama V dan Rama VII dari Siam atau Thailand di pinggir aliran Sungai Cikapundung, kawasan Curug Dago, Kecamatan Coblong, Kota Bandung, 23 Juli 2025.
Pavilion itu berada di sisi kanan di bagian bawah air terjun. Dekat Curug Dago juga terdapat kaldera bekas letusan Gunung Sunda. Bekas letusan gunung api purba itu membuat Curug Dago dan sekitarnya menjadi kawasan sumber air bagi wilayah hilir Bandung, begitu menurut T Bachtiar dan Dewi Syafriani dalam buku Bandung Purba.
Bangunan paviliun prasasti tampak sangat terawat dengan warna merah menyala dalam balutan arsitektur Thailand. Akses jalan setapak berupa anak-anak tangga dan pagar pengaman di lereng curam dari atas sampai ke bawah di area sekitar prasasti juga sudah di renovasi, tak ada lagi pagar yang miring dan roboh. Anak-anak tangga yang jumlahnya sekitar 85 undakan yang semula rusak sudah disemen kembali. Pagar pengaman berwarna hijau cerah itu juga kelihatannya baru saja dicat ulang.
“Semua sudah di renovasi, supaya nyaman dan bersih, jadi wisatawan yang datang bisa dengan aman menuruni anak tangga sampai ke prasasti,” kata Ukay (64 tahun), juru pelihara prasasti sambil membuka pintu paviliun yang menaungi prasasti.
Ukay mengabarkan, hari itu ada kunjungan dari Kedutaan Besar Thailand untuk melihat prasasti Curug Dago. Rupanya perbaikan dan renovasi di situs prasasti Raja Thailand ini di gagas oleh Kedutaan Besar Thailand di Indonesia bersama PTTEP Indonesia. Kawasan ini sekarang namanya Paviliun Thailand. Duta Besar Kerajaan Thailand Prapan Disyatat bersama sejumlah staf kedutaan berkenan meresmikan renovasi situs sejarah dan budaya kerajaan Thailand di tanah Sunda tersebut.
Bergantian mereka masuk ke dalam paviliun lalu berdoa di depan parasasti. Ada dua paviliun yang direnovasi, yaitu paviliun Raja Rama V dan VII dengan gambar wajah masing-masing raja. Pelataran yang terbentuk dari formasi batuan lava beku di sekitar paviliun juga sudah diperbaiki. Ada papan informasi yang menjelaskan sejarah kedatangan kedua raja Thailand ke Curug Dago dalam bahasa Indonesia, Inggris, dan Thailand.
Menurut buku Journey to Java by Siamese King karya Imtip Pattajoti Suharto, Rama V atau Chulalongkorn II tiga kali mengunjungi Jawa, yaitu tahun 1871, 1896, dan 1901. Ia datang pertama kali ke Curug Dago tahun 1896 dan tahun 1901. Di kunjungan kedua inilah Raja Rama V membuat prasasti penanda kunjungannya.
Kunjungan ke Curug Dago diikuti oleh raja penerusnya, yaitu Raja Rama VII atau Prajadiphok Sakdidejana pada tahun 1929. Seperti mendiang ayahnya, Rama VII juga membuat prasasti untuk menandai kedatannya ke Curug Dago.
Menurut Ukay, di masa lalu kawasan ini masih sangat rapat hutannya. Warga kampung sekitar masih bisa memanfaatkan air sungai untuk mandi dan mencuci. “Kalau sekarang tidak bisa, airnya kotor dan tercemar,” jelas Ukay.
Menurutnya, di hulu terdapat pabrik tahu, rumah potong ayam, peternakan sapi, dan buangan limbah rumah tangga yang mengalir ke Sungai Cikapundung melalui Curug Dago.
Paviliun Thailand pertama dibangun tahun 2005 oleh PTTEP dan kedutaan untuk melindungi keberadaan situs dan prasasti. Berada di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cikapundung dan tutupan hutan yang cukup rapat sebagai bagian dari area Taman Hutan Raya Ir H Djuanda. Setelah 20 tahun berlalu, baru sekarang dilakukan renovasi dan perbaikan fasilitas di situs tersebut.
Renovasi ini jadi salah satu bentuk kepedulian pemerintah Thailand terhadap pelestarian warisan budaya antardua negara sekaligus untuk meningkatkan kenyamanan bagi pengunjung lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke situs prasasti di Curug Dago. Paviliun Thailand di Curug Dago sendiri berada di bawah otoritas Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Jawa Barat. Dinas Kehutanan melalui UPTD Tahura Djuanda akan menata kawasan Curug Dago seluas 5 hektare agar area ini bisa jadi area konservasi sekaligus destinasi wisata.
Penemu prasasti Raja Thailand di Curug Dago adalah Omas Witarsa pada tahun 1988. Ia adalah salah saeorang staf pegawai di Unit Sumber Daya Informasi ITB. Omas secara tak sengaja menemukan prasasti tersebut bersama Abah Iyun.
“Saat akhir pekan banyak wisatawan yang berkunjung dan berfoto di situs ini, apalagi sekarang sudah di renovasi, pasti makin banyak yang berkunjung,” kata Ukay.
Pengunjung destinasi wisata ini banyak juga dari kalangan ibu-ibu. Biasanya mereka berfoto dan membuat video di sekitar situs prasasti. Mereka memanfaatkan pemandangan alam yang masih asli dengan latar belakang bangunan paviliun merah menyala, air terjun, dan hutan.
Berbeda dengan kondisi beberapa tahun lalu yang terlihat kusam dengan akses jalan setapak yang rusak sebagian dan sangat licin saat musim hujan. Suasana Paviliun Thailand dan akses jalan setapaknya pascarenovasi sekarang lebih kinclong dan terawat.
Kawasan ini bisa jadi contoh penataan kawasan wisata sejarah/budaya yang mengikat Bandung dengan keluarga Kerajaan Thailand. Curug Dago juga merupakan laboratorium alam bagi penikmat wisata geologi. Curug Dago sudah seharusnya jadi kawasan wisata konservasi, karena kawasan ini adalah sisa daerah resapan air yang masih hijau di antara derasnya pembangunan properti mewah di kawasan Dago atas.
Namun, sejak dulu ada satu yang tak berubah di sini, yaitu warna air Sungai Cikapundung yang coklat kehijauan tercemar berat coliform, tingkat keasaman di atas ambang batas aman, dan tentu saja berbau tak sedap.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS