• Foto
  • Orang Jepang dan Toekang Saeh

Orang Jepang dan Toekang Saeh

Seniman Jepang Natsumi Ito beresidensi di Toekang Saeh, Bandung. Menggarap kertas tradisional kekayaan Nusantara.

Fotografer Prima Mulia23 Agustus 2025

BandungBergerak.idNatsumi Ito memukul-mukul kulit pohon saeh atau daluang dengan peralatan dari kayu. Ia memukul kulit pohon bergetah itu sedikit demi sedikit, setelah itu mengupas lagi kulit bagian dalam pohon lalu memukulnya lagi. Lama-lama kulit pohon itu jadi semakin tipis dan melebar, mulai berubah bentuk jadi mirip lembaran kertas dengan tekstur kasar.

Proses ini dikerjakan dari pagi sampai sore hari di workshop atau bengkel kerja Toekang Saeh milik seniman Ahmad Mufid Sururi di Kampung Ciseupan, Kecamatan Ujungberung, Bandung, Jawa Barat, 24 Juli 2025. Lembaran-lembaran kulit pohon yang masih basah lalu dijemur. Setelah kering lembaran tersebut dihaluskan lagi memakai batu pipih yang halus atau kulit kerang jika ingin mendapat efek glossy. Jika ingin mendapat efek tekstur yang agak kasar bisa didapat dari saat proses pemukulan.

Persinggungan Natsumi Ito dengan daluang dimulai sejak masa residensi seninya di Bandung. Ia menelusuri ritme dan tanda dari aksara-aksara kuno yang pernah dilihatnya. Dari riset selama perjalanannya di Jawa dan Bali, ia merekonstruksi narasi-narasi yang tak terdengar. Menggali kemungkinan bahwa tulisan, gestur, pola kebiasaan masyarakat, dan kerajinan tangan bisa jadi medium penyimpan memori serta merefleksikan hubungan antarbudaya yang tidak selalu dapat dijelaskan melalui bahasa formal.

Perempuan Jepang berusia 32 tahun tersebut banyak merekonstruksi pola-pola kebiasaan dan budaya masyarakat di kampung-kampung melalui goresan garis dan sapuan warna. Ekspresi bergaya abstraknya tertuang di atas kertas daluang. Kertas daluang atau kertas saeh sejak masa lalu dipakai untuk menulis naskah-naskah kuno di Nusantara yang terbuat dari kulit bagian dalam pohon saeh (Broussonetia papyrifera) atau juga di kenal sebagai paper mulberry. Pembuatan kertas dilakukan dengan cara dipukul-pukul hingga mencapai ketipisan dan ukuran tertentu.

Lama waktu pemukulan dan kekuatan pukulan sangat menentukan tekstur dan tebal tipis kertas. Natsumi sengaja menciptakan tekstur dan tebal tipis yang berbeda dalam selembar kertas. Ia ingin mendapat efek yang berbeda saat gambar dan warna mulai mengisi bidang-bidang kosong kertas buatan tangan tersebut.

“Hasil akhir kertas daluang ini tergantung dari gerakan tubuh si pembuatnya, suasana hati, dan temperatur suhu di workshop. Eksplorasi ini belum selesai, saya sudah bisa menguasai dasar-dasar pembuatannya. Ke depan bisa berkembang lagi dengan kemungkinan-kemungkinan baru,” kata seniman asal Tokyo jebolan Joshibi University of Art and Design tersebut.

Di bawah panduan Ahmad Mufid  Sururi, Natsumi bukan saja belajar bagaimana caranya membuat kertas tradisional Nusantara yang dulunya di gunakan untuk membuat catatan naskah kuno atau untuk bahan pakaian. Ia bahkan belajar dari sejak memanen sebatang pohon saeh, memotongnya sendiri sesuai dengan apa yang ia butuhkan.

“Dia cepat sekali belajarnya, ini tergolong sangat cepat untuk orang asing yang awam dengan pembuatan kertas daluang. Dia bahkan mulai banyak bereksperimen saat membuat kertas daluang. Makanya saya tidak terlalu banyak intervensi, intinya dia mengerti dan menguasai dasar pembuaatan kertas daluang,” kata Ahmad Mufid.

Mufid adalah pakar di bidang pembuatan daluang sebagai kertas dan produk tekstil. Beberapa karyanya juga jadi koleksi di Perpustakaan Nasional dan Musium Tekstil. Salah satu karya tekstil kulit saeh Mufid pernah lolos ke babak final kontes seni kontemporer Bark Rhythms Contemporary Innovations & Ancestral Traditions kategori tekstil di Amerika Serikat 2024, bersaing dengan lebih dari 200 karya dari seluruh dunia.

Pada 28 Juli 2025, Natsumi mulai menyelesaikan lukisan dan instalasi yang dibuat dari kertas daluang, kawat, bambu, batang pohon saeh, batang pisang, serta kayu-kayu di sekitar bengkel kerja Toekang Saeh. Semua elemen itu menjadi medium ekspresinya dalam merespons ruang dan waktu selama risetnya di Indonesia.

Goresan tangannya mulai membentuk imaji dan sapuan warna di kertas daluang saat membuat karya berjudul What Was Forbidden To Be Expressed. Ada bentuk seperti bambu runcing dan warna-warna merah putih.

“Inspirasinya dari masa penjajahan Jepang di Indonesia dan semangat rakyatnya untuk merdeka,” katanya.

Ia juga membuat karya lukisan dan instalasi berjudul A Human Habit Since Birth. Konstruksi rangka bambu menopang batang pisang. Di batang pohon pisang tertancap selembar lukisan. Ide ini berasal dari pertunjukan wayang beber yang pernah ia lihat di kampung.

[baca_juga]

Pameran Karya

Pada 9 Agustus 2025, Natsumi mondar mandir di ruang pamer galeri SemAta di kawasan Pecinan Cibadak, Bandung. Ia memperbaiki sebuah karya instalasi yang miring. Rupanya ada batang pisang penopang yang membusuk. Ia menggantinya dengan batang pisang baru yang masih segar.

Salah satu instalasi dan lukisan daluang berjudul A Rhythm That Cannot Be Sung, Yet Faintly Felt Within The Body. Natsumi merekonstruksi suasana kampung pada masa penjajahan Jepang, ketika rakyat dilarang menyanyikan lagu Indonesia Raya dan lagu-lagu daerah. Lukisan daluangnya dipasang di tiang-tiang kayu hijau berbentuk pulau atau lahan sawah terasering.

Bukan kebetulan juga jika banyak karyanya mengambil tema perayaan Hari Kemerdekan Republik Indonesia, karena itu yang ia tangkap selama melakukan perjalanan dari satu kota ke kota lain, suasana 17-an yang begitu kental mewarnai setiap persinggahannya di kampung-kampung.

Karya-karya Natsumi dipamerkan dalam pameran bersama seorang seniman Jepang lainnya bernama Mio Mino. Karya-karya Natsumi mendominasi ruang pamer dengan tema The Gesture That Carries.

Hampir sepanjang bulan Juli 2025 ia bergelut dengan proses belajar membuat kertas daluang di Bandung. Apa yang membuat ia tertarik menempuh perjalanan ribuan kilometer seorang diri dari Tokoyo ke Bandung?

“Saya sangat terkesan dengan cara orang Indonesia di masa lalu bisa membuat kertas atau mengolahnya jadi tekstil dari pohon saeh. Saya sangat menikmati proses pembuatan dari sejak panen, mengolahnya, dan jadi selembar kertas. Mufid banyak sekali membantu proses ini,” katanya.

Kultur masyarakat tentang menanam, merawat, lalu memanen, jadi salah satu sumber inspirasi dari karya-karya saya, termasuk pola grafik kuno dari tanaman dan hewan seperti di relief Candi Borobudur. “Ada karya saya yang menggambarkan kepulauan Sumatera, Jawa, Bali,” katanya.

Ia menyatakan akan terus mengeksplorasi daluang dan berencana membuat karya berukuran lebih besar, dikombinasikan dengan medium lain dalam bentuk karya mix media berskala besar.

Seniman ini sangat responsif dalam membaca suasana di setiap sudut daerah yang ia kunjungi. Seperti ketertarikannya pada buah-buah kapuk yang pecah dan jatuh di tanah saat kunjungannya ke Candi Prambanan. Kapuk-kapuk itu akhirnya bersanding dengan lubang-lubang yang ia buat di lembaran kertas daluang berjudul Artificial Growth. Sebuah ekspresi yang terbentuk dari interaksi dan komunikasi dalam keseharian selama ia tinggal di Indonesia. 

 

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//