BandungBergerakAbah Soleh tinggal di petak kontrakan sempit yang merangkap ruang kerjanya. Di teras depan jemarinya cekatan mengupas dan mengukir kepala wayang yang bentuknya masih belum sempurna.

“Ini bentuk wayang klasik Cibiruan,” kata Abah Soleh, di Kampung Cipondoh Girang, Desa Cinunuk, Kecamatan Cileunyi, Kabupaten Bandung, 12 Agustus 2025.

Ia menjelaskan, sejak zaman Belanda, tradisi pembuatan wayang di Bandung dan beberapa wilayah lain di Jawa Barat bermula di Cibiru. Wayang Cibiru disebut wayang purwa atau wayang klasik, berbeda dengan wayang-wayang golek modern Sunda yang lainnya.

Usai mengukir beberapa kepala wayang, maestro pembuat wayang golek berusia 65 tahun ini pindah ke ruang dalam kontrakan. Ia berkutat dengan cat kayu dan kuas lukis. Dengan hati-hati dan perlahan ia mulai mewarnai seluruh permukaaan kepala wayang, membuat detail di sekitar wajah dan kepala.

Tak lupa ia menawarkan kopi, lalu membuatkan dua cangkir. Ruang kontrakan ini cukup berantakan. Penanak nasi listrik, dispenser air, selembar kasur tipis, puluhan wayang golek yang tertata di pojok ruangan, dan sisa makan malam yang masih tercecer.

“Orang-orang bule itu lebih mengenal dengan wayang Cibiruan, sebaliknya orang Cibiru (orang Bandung) lebih mengenal wayang golek itu wayang dari Jelekong,” ujarnya sambil tertawa.

Abah Soleh ingin wayang golek Cibiruan lebih dikenal dan lebih sering dipentaskan seperti di masa lalu.

Tak ada bukti tertulis yang pasti tentang kapan wayang golek mulai ada di tanah Jawa. Konon Sunan Kudus sudah mulai mengenalkan wayang golek dalam bentuk wayang purwa yang dipentaskan pada siang hari pada abad ke-16 untuk syiar Islam.

Perkembangan wayang golek berlanjut di Kesultanan Cirebon dari abad ke-16 sampai ke-17. Wayangnya disebut wayang papak atau wayang cepak karena bentuk kepalanya datar. Wayang golek menyebar ke Bandung atas prakarsa Dalem Karang Anyar yang meminta Ki Darman untuk membuat wayang dari kayu di Cibiru. Ki Darman adalah seorang penyungging wayang kulit asal Tegal. Bentuk wayang kayu ini atas anjuran Dalem Karang Anyar, berbentuk tiga dimensi seperti yang kita kenal sekarang.

Konon dahulu wayang golek dipentaskan dalam bahasa Jawa. Setelah orang Sunda belajar dan pandai mendalang, bahasa yang digunakan adalah bahasa Sunda. Sejarah wayang ini sesuai dengan apa yang dituturkan abah Soleh. Menurutnya, Ki Darman mulai mengembangkan pembuatan wayang kayu di masa pemerintahan Dalem Bandung.

Ki Darman adalah salah seorang anak buah Pangeran Diponegoro yang mengungsi ke Cirebon lalu pindah dan menetap di Cibiru. Di Cibiru Ki Darman memperkenalkan kesenian wayang kulit dan wayang beber. Selanjutnya Ki Darman mengembangkan wayang kayu yang disebut wayang golek.

Setelah itu lahirlah maestro-mestro pembuat wayang golek yang menyebar ke beberapa wilayah. Abah Ardi di Bandung, Abah Asrip ke Selacau (daerah Cihampelas, Kabupaten Bandung Barat), Abah Ahim ke Bogor, dan Abah Padma di Cibiru. Pantas Cibiru jadi titik awal penyebaran wayang golek di Jawa Barat.

Abah Soleh menjelaskan, wayang golek Cibiruan atau wayang golek klasik, mengikuti bentuk dasar serta pakem atau tetekon yang serupa dengan wayang kulit. Ia mencontohkan bahwa pada wayang golek modern, wajah tokoh seperti Gatotkaca dan Rahwana kerap dibuat lebih bebas, bahkan ada yang menggunakan topeng. Sebaliknya, dalam wayang Cibiruan, bentuk wajah para tokoh tetap mempertahankan bentuk aslinya.

Dalam tradisi Cibiruan, proporsi antara telinga, mata, dan mulut wayang diatur secara ketat dan tidak boleh sembarangan; semua harus mengikuti ketentuan yang sudah ditetapkan.

“Berbeda dengan wayang golek modern yang lebih bebas,” jelas Abah Soleh.

Pendeknya, wayang Cibiruan lebih presisi karena bentuknya sejak berabad lalu tidak berubah, sesuai dengan pakem-pakem pembuatan wayang kulit klasik. Menurut Abah Soleh, wayang golek modern bentuknya tidak proporsional karena proses pembuatannya di luar pakem.

Abah Soleh mulai membuat wayang Cibiruan sejak tahun 1968. Harganya waktu itu sekitar 8.000 rupiah per buah. Kini harga wayang Cibiruan di kisaran 750.000 rupiah sampai di atas 2 juta rupiah per buah. Ribuan karya Abah Soleh telah menyebar ke seluruh dunia, dari sekedar benda koleksi sampai jadi ornamen penghias hotel dan properti-properti komersial lainnya.

Hidup Abah Soleh didedikasikan untuk kelestarian wayang. Ia menekuni tradisi membuat wayang bukan untuk mencari kekayaan atau ketenaran.

“Cuma ingin kembali mengenalkan wayang golek Cibiruan sebagai cikal bakal wayang golek Sunda,” katanya.

Ia kembali berharap wayang Cibiruan tidak punah. Orang-orang muda diharapkan bisa melanjutkan tradisi ini.

“Abah ingin ada padepokan wayang Cibiruan disini, supaya terus terbentuk generasi penerus,” katanya.

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//