Panjang Jimat Keraton Cirebon
Tradisi Panjang Jimat di Keraton Cirebon memiliki sejarah panjang. Keraton terbuka bagi warga yang ingin mendapat air sumur keramat.
Tradisi Panjang Jimat di Keraton Cirebon memiliki sejarah panjang. Keraton terbuka bagi warga yang ingin mendapat air sumur keramat.
BandungBergerak - Menjelang maghrib kerumunan warga memadati area Pasar Kanoman, Kecamatan Lemahwungkuk, Cirebon, 5 September 2025. Mereka berduyun-duyun menuju gapura Siti Inggil Keraton Kanoman untuk mengikuti tradisi tua Panjang Jimat yang bertepatan dengan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW.
Warga berkumpul di sekitar Mande Manguntur dan Bale Sekaten. Dahulu, Mande Manguntur digunakan Sultan untuk memberi wejangan kepada rakyat, sementara Bale Sekaten adalah bangunan terbuka tempat gamelan pusaka Sekaten dimainkan. Di dua tempat inilah warga secara bergiliran mengambil air bekas cucian gamelan dan menyentuh gong Sekaten sambil didoakan oleh abdi dalem yang menjaga perangkat gamelan tersebut.
Selain mengambil air yang ditampung dalam botol plastik, mereka juga membasuh wajah. Praktik ini dipercaya membawa berkah.
“Ada berkahnya. Jadi tadi antre untuk mengambil air pusaka cucian gamelan buat di rumah, tiap tahun selalu ke sini,“ kata Dian, 33 tahun, perempuan asal Palimanan yang datang bersama anak serta kerabat.
Di sudut keraton yang lain, warga berduyun-duyun mencari jajanan di lapak-lapak pedagang makanan dan minuman. Suasananya khas pasar malam, ada gerai busana dan permainan anak-anak. Di pojokan yang sedikit gelap beberapa remaja dan orang tua terlihat sedang dibaca garis nasibnya melalui telapak tangan.
Semakin malam semakin semarak, malam itu bertepatan dengan pelaksanaan tradisi Panjang Jimat untuk memperingati hari kelahiran atau Maulid Nabi Muhammad SAW. Jadi semua warga masyarakat yang datang dari berbagai daerah boleh memasuki komplek Keraton Kanoman, bisa bertemu sultan di sebuah sesi khusus, dan tentu saja bisa masuk ke Kebon Jimat di mana warga atau pengunjung berharap berkah dari air, mandi, atau sekadar membasuh muka di beberapa sumur tua seperti sumur Witana, Penganten, dan Sumur Bandung.
Dekat sumur Witana terdapat bangsal Witana, sebuah pendopo berlantai tanpa dinding yang disebut sebagai bangunan pertama di Cirebon. Dulunya bangsal ini dipakai para sultan untuk menimba ilmu kebatinan.
Seorang bocah nyaris telanjang menerima siraman air Sumur Bandung di sekujur tubuhnya.
“Saya juga tadi mandi air sumur ini,” kata Wati, 40 tahun, perempuan asal pesisir Gebang ini kemudian menghanduki bocah laki-laki yang baru dimandikan. “Sekarang giliran anak-anak, biar pinter, biar dapat berkahnya sultan.”
Sayangnya perilaku warga yang malam itu bergerombol di sekitar bangsal Witana dan Kebon Jimat tidak mengindahkan kesakralan tempat tersebut. Sampah berserakan di mana-mana, bungkus makanan dan botol-botol minuman dibuang sembarangan.
Begitu pula di sekitar Siti Hinggil, sebuah area paling tinggi di keraton, warga berkumpul di sekitar Mande Manguntur dan Bangsal Sekaten. Kerumunan warga antre untuk mendapat air cucian gamelan sekaten.
Dinding-dinding pada gerbang dan dinding Bale Manguntur dihiasi piring-piring keramik. Bangunan ini dulunya digunakan untuk menyampaikan pidato sultan, dan hanya boleh dimasuki sultan, ratu, dan anak-anaknya. Saat muludan warga bebas berkumpul di tempat ini tentu dengan tetap memperhatikan adab dan menjaga kebersihan lingkungan sekitarnya.
Pukul 9 malam, lonceng Raffles berdentang, lonceng ini hadiah dari Sir Thomas Stamford Raffles untuk Kesultanan Cirebon. Warga bergegas menuju ke arah langgar alit dan memenuhi pinggiran jalur jalan yang akan dipakai prosesi Panjang Jimat dari langgar alit ke Masjid Agung Kanoman. Lonceng jadi pertanda prosesi akan dimulai.
Sambil bersalawat, warga merekam prosesi yang dilaksanakan oleh seluruh kerabat dan abdi dalem keraton, termasuk Pangeran Patih Raja Muhammad Qodiran, adik dari Sultan Kanoman XII Sultan Raja Muhammad Emirudin. Sebagian warga ada yang melambaikan selendang atau sapu tangan saat rombongan melintas. Pangeran Patih memakai jubah berwarna emas yang disebut jubah rasul. Jubah ini hanya boleh dikenakan oleh sultan atau patih.
Para abdi dalem memakai kebaya kuning sambil membawa benda-benda pusaka yang tertutup kain warna hijau, merah, dan kuning. Mereka juga memegang lilin-lilin besar sebagai penerang. Sesampainya di Masjid Agung Kanoman, satu per satu benda-benda pusaka diserahkan kepada kerabat dan sesepuh keraton, lalu disusun rapi di depan patih.
Setelah semua pusaka tersusun dan semua kerabat sudah lengkap berada di dalam masjid, pintu-pintu besar masjid ditutup. Pembacaan kitab Barzanji yang menceritakan kelahiran Nabi Muhammad SAW dimulai. Semua yang ada di dalam masjid terdiam sambil menyimak.
Tradisi Panjang Jimat diyakini sudah berlangsung sejak masa kepemimpinan Pangeran Cakrabuana sekitar tahun 1470 sebagai bagian dari syiar agama. Panjang Jimat sendiri berasal dari nama piring yang disebut Panjang, sedangkan Jimat sendiri adalah nasi yang proses pembuatannya berasal dari gabah yang dikupas butir demi butir sambil membaca shalawat.
Keraton Kanoman sendiri berdiri sekitar tahun 1678 (sumber lain menyatakan tahun 1588) oleh salah seorang cicit Sunan Gunung Djati, yaitu Sultan Muhammad Badridin Kertawijaya atau Sultan Anom.
Abad demi abad berlalu, tradisi Panjang Jimat tetap melekat dalam ingatan warga Cirebon dari generasi ke generasi sampai ke generasi terkini, dari para orang-orang tua yang gagap teknologi sampai anak-anak muda yang piawai bermedia sosial dengan perangkat gawainya, mereka tetap merawat tradisi dan budaya nenek moyang. Anak-anak muda itu begitu hormat saat rombongan kerabat dan abdi dalem keraton melintas, mereka tetap percaya berkah Panjang Jimat, tradisi sakral yang dilaksanakan setahun sekali.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS