Meniti Hening Tahura
Menelusuri pagi di Tahura Djuanda, tempat warga kota mencari tenang di antara embun, akar, rimbun pohon, dan gemericik air Curug Omas Maribaya.
Menelusuri pagi di Tahura Djuanda, tempat warga kota mencari tenang di antara embun, akar, rimbun pohon, dan gemericik air Curug Omas Maribaya.
BandungBergerak - Sekitar pukul delapan pagi, pengunjung mulai memadati gerbang Taman Hutan Raya Ir. H. Djuanda, atau yang akrab disebut Tahura. Setelah membayar tiket gelang seharga 17.000 rupiah per orang, wisatawan dan warga lokal berbondong-bondong menjelajahi kawasan hutan, termasuk mengunjungi Goa Belanda dan Goa Jepang.
Bagi sebagian orang, Tahura bukan sekadar tempat rekreasi, tetapi juga jalur rutin untuk berolahraga. Sesekali, Ratna mengajak keluarganya ikut menyusuri jalur hiking di kawasan hutan Bandung Utara itu.
“Sebulan dua kali saya menyempatkan diri berjalan kaki dari Goa Belanda sampai Curug Omas di Maribaya,” ujar Ratna, 45 tahun, warga Kota Bandung.
Jarak jalur jalan kaki dari goa Belanda sampai Curug Omas, Maribaya sekitar 5 kilometer. Terdapat dua tanjakan terjal cukup menantang namun masih ramah untuk dilalui anak-anak atau mereka yang baru pertama kali menjajal jalur hiking ini. Kita akan melibas jalur jalan kaki dari ketinggian 770 sampai 1330 mdpl.
Langkah kaki terlindungi naungan kanopi hutan yang cukup lebat, udaranya segar tanpa asap rokok (ada larangan merokok di seluruh kawasan hutan). Monyet ekor panjang berkejaran di pepohonan, beberapa individu terlibat perkelahian untuk mempertahankan teritori kelompoknya.
Suara tupai, aneka jenis burung, dan serangga hutan bersahutan. Sementara di jalur jalan kaki yang tak terlalu lebar, kita harus bersabar mengatur langkah karena cukup banyaknya warga yang mendaki maupun turun. Pepohonan yang menaungi Tahura sangat meragam, mulai dari damar, tusam, beringin, gaharu, rasamala, puspa, kisireum, kayu manis, pinus, bungur, ekaliptus, dan beragam pohon buah-buahan.
Ada beberapa titik istirahat dengan warung-warung yang menjajakan makanan dan minuman. Beberapa pejalan kaki ada yang singgah dulu sejenak di area penangkaran rusa dan peternakan lebah madu hutan. Lokasinya di dekat kolam pemisah aliran Sungai Cikapundung untuk intake PLTA Bengkok.
Beberapa pejalan kaki juga ada yang singgah dulu untuk melihat pemandangan di Curug Koleang dan Batu Dayang Sumbi. Batu ini terbentuk dari aliran lava yang membeku hingga berbentuk seperti untaian selendang. Lokasinya berada persisi di sisi Sungai Cikapundung yang membelah hutan Tahura. Sebagian lagi memilih untuk terus berjalan sampai titik akhir di Maribaya.
Setelah melewati satu jembatan yang membentang di atas Sungai Cikapundung, kita akan menemui jalan menanjak dan papan petunjuk arah. Dari situ jarak ke Curug Omas Maribaya hanya sekitar 100 meter. Sampailah kita di air terjun dengan curug yang terbentuk dari aliran lava basalt yang membeku membentuk tingkatan setinggi 30 meter. Air Sungai Cigulung mengalir deras dalam tiga buah air terjun. Aliran sungai ini lalu bergabung ke badan Sungai Cikapundung.
Di Maribaya menghampar area lapang rumput hijau dengan kontur berbukit. Warung-warung makan tersebar di sekelilingnya. Kita bisa mengistirahatkan otot sambil minum dan duduk di tikar yang disediakan pengelola warung. Maribaya sudah jadi area wisata terkenal sejak tahun 1930-an.
Tahura Djuanda merupakan kawasan konservasi dengan jenis Kawasan Pelestarian Alam untuk tujuan koleksi tumbuhan dan baik jenis asli ataupun bukan, yang tidak invasif. Kawasan ini juga dimanfaatkan untuk kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, budaya, pariwisata, dan rekreasi. Selain flora dan fauna, Tahura Djuanda juga seperti museum geologi di alam terbuka.
Di aliran sungai di Tahura Djuanda, khususnya di Maribaya, dua lapisan batu lava basalt bertemu. Batu tersebut merupakan aliran magma purba peninggalan letusan gunung api Tangkuban Parahu antara 125.000 tahun dan 48.000 tahun yang lalu. Aliran magma ini terus meluncur ke hilir, sampai ke Curug Dago, Ciumbuleuit, dan wilayah Kota Bandung.
Goa Belanda semula adalah bukit yang terbentuk dari lontaran magma letusan gunung api yang menumpuk dan menyatu. Bukit ini yang digali dan dibuat terowongan sepanjang lebih dari 100 meter oleh Belanda pada tahun 1912. Awalnya goa ini untuk kanal penyalur air Sungai Cikapundung sebagai pembangkit listrik tenaga air. Beberapa tahun setelah itu Belanda merubah fungsi goa untuk kepentingan militer. Goa Belanda kini jadi salah satu daya tarik di Tahura Djuanda.
Menurut Kepala UPTD Tahura Djuanda Lutfi Erizka, pengunjung Tahura di akhir pekan berkisar 3.000-5.000 orang, saat libur panjang bisa meningkat ampai 5.000-7.000 orang.
“Selain hiking ke Maribaya, penangkaran rusa dan warung perkedel Ceu Kokom jadi dua tempat yang banyak didatangi pengunjung,” katanya, merujuk pada warung perkedel di tengah hutan.
Secara geografis, Tahura Ir. H. Djuanda masuk ke wilayah Kabupaten Bandung, Kabupaten Bandung Barat, dan Kota Bandung dengan luas total 528,393 hektare. Menurut penelitian I-Tree Eco di area pemanfaatan hutan seluas 15 hektare dengan lebih dari 5.000 individu pohon tersebut mampu menyimpan karbon sebanyak 3.656.000 ton per tahun, karbon yang terserap sebesar 197 ton per tahun atau setara dengan penyerapan CO2 lebih dari 900.000 unit mobil per kilometer. Hutan ini juga mampu memproduksi 502,1 ton oksigen per tahun dan mengurangi limpasan air sebanyak 5.931 meter kubik per tahun.
*Teks dan Foto: Prima Mulia
COMMENTS