Friday Football Street, Mencari Lapangan yang Setara di Antara Beton Kota
Para anggota komunitas Friday Football Street banyak menghadapi hambatan ketika mencari ruang bermain sepak bola yang tidak memandang perbedaan gender di Bandung.
Para anggota komunitas Friday Football Street banyak menghadapi hambatan ketika mencari ruang bermain sepak bola yang tidak memandang perbedaan gender di Bandung.
BandungBergerak - Setiap Jumat sore, di sebuah sudut Teras Cihampelas yang riuh oleh kemacetan dan bau knalpot, sekelompok anak muda berkumpul dengan modal sederhana: sebuah bola plastik seharga lima ribu rupiah. Mereka tumbuh sebagai bobotoh, akrab dengan hiruk pikuk stadion, tapi memilih menciptakan ruang aman mereka sendiri di tengah padatnya jalan kota. Di atas lantai beton, mereka membentuk lingkaran kecil, bermain, bercanda, dan menata ulang cara mereka hadir di Bandung.
Dari pertemuan-pertemuan tanpa struktur itu, lahirlah Friday Football Street (FFS), sebuah ruang sosial yang tumbuh dari keresahan dan solidaritas. Bagi mereka, sepak bola jalanan bukan sekadar permainan, tetapi cara merawat pertemanan dan menghalau kekerasan yang kian akrab di lingkungan suporter muda.
“Di Bandung sekarang khususnya anak remaja, geng-gengan dan kekerasan di lingkungan supporter meningkat, banyak yang masih remaja, masih labil, maka tujuan kami adalah bagaimana membina dan mewadahi mereka dengan sepakbola jalanan ini,” ujar Carok, salah satu anggota FFS.
Tidak bisa dipungkiri bahwa perjalanan Friday Football Street dalam pencarian ruang publik tidak pernah mulus. Tempat-tempat yang mereka pilih terus berubah karena pengusiran demi pengusiran. Di Saparua misalnya, mereka bermain di bawah terang lampu lapangan basket sampai satpam mematikan lampu dan mengusir mereka yang sedang asyik-asyiknya bermain bola. Lalu pindah ke Taman Cikapayang, muncul tuduhan “mengganggu ketertiban” oleh polisi setempat.
Setelah itu di Taman Musik situasinya lebih buruk. Saat sedang bermain, tiba-tiba ada serangan yang membuat beberapa anggota panik, satu orang bahkan sempat dibawa polisi dan ditahan karena adanya gesekan.
Mereka tidak pernah diberi ruang aman, seolah aparat mencurigai aktivitas sederhana seperti bermain bola, musik, dan perkumpulan orang muda adalah sesuatu yang dilarang
Friday Football Street pernah mengalami perlakuan tidak menyenangkan dari sebuah ormas setempat saat mereka bermain di Taman Musik. Ketika FFS mencoba menjadikan taman itu sebagai lokasi tetap, seorang yang mengaku pengurus meminta bayaran dengan alasan “biaya tempat”. FFS menolak, dan menawarkan kontribusi dalam bentuk barang—dari perlengkapan kamar mandi hingga kebutuhan musala.
Namun tawaran itu ditolak mentah-mentah. Karena tidak memberikan uang, lampu taman sengaja dimatikan ketika mereka bermain, seolah memberi pesan bahwa kehadiran mereka tidak diinginkan.
Gaya sepak bola nomaden ini akhirnya membawa mereka ke Teras Cihampelas, sebuah ruang publik terbuka sekaligus proyek kontroversial Ridwan Kamil saat menjabat jadi Wali Kota Bandung. Tempat itu dipilih FFS karena lokasi yang strategis dan juga ruang publik yang tak terpakai.
Selama bermain di Teras Cihampelas, mereka harus bersiap apabila jam menunjukkan pukul sepuluh malam, waktu ketika Satpol PP meminta mereka bubar.
Namun di antara semua kecurigaan terhadap Friday Football Street, komunitas ini mulai membangun cara kerja kolektif agar aparat bisa mempercayai mereka. Mereka selalu berinisiatif membawa wadah sampah sendiri, membersihkan area, dan berkoordinasi dengan Satpol PP agar tidak salah paham.
Di balik semua cara kerja mereka mempertahankan ruang publiknya, FFS tumbuh juga menjadi ruang yang sangat aman bagi perempuan.
Dalam kultur sepak bola, yang dianggap olahraga maskulin, FFS berusaha memberikan pengalaman berbeda berupa inklusivitas. Di sini perempuan dan laki-laki bisa bermain bersama tanpa dibedakan, tanpa diragukan kemampuannya, dan tanpa merasa terasingkan. Semua anggota diperlakukan setara dan saling menjaga.
Jeje, salah satu anggota perempuan FFS yang aktif bermain di matchday hari Jumat awalnya tertarik bergabung setelah mengetahui FFS lewat status Whatsapp temannya. Tadinya ia ragu karena mayoritas yang hadir laki-laki. Namun ketika melihat ada perempuan lain yang bermain, ia memberanikan diri.
“Aku merasa aman, karena di sini ada aturan antiseksisme dan antipelecehan yang tertulis,” kata Jeje.
Jeje adalah anggota perempuan yang aktif membranding dirinya di media sosial dengan kegiatan olahraga baik profesional maupun senang-senang. Sembilan tahun ia bermain futsal dan sepak bola, bahkan pernah menyambangi kompetisi Liga Pertiwi Jawa Barat, Liga Bandung, dan sering menjadi guest star di tim Viva La Pesa.
Tapi yang membuat Jeje bertahan di FFS bukan soal kemampuan. Di sini para pemain tidak dinilai dari skill, melainkan dihargai sebagai manusia.
“Cowok-cowoknya asyik. Ngelindungin. Bikin nyaman,” tambah Jeje.
Meski begitu, tidak semua perempuan berani masuk ke Friday Football Street. Jeje sering melihat temannya ragu karena takut dinilai, takut jadi pusat perhatian, atau sekadar takut salah menggunakan pakaian. Namun baginya, dengan masuk ke ruang permainan ini sebenarnya sudah cukup untuk membuktikan bahwa rasa takut tersebut tidak selalu benar.
Pengalaman itu juga dirasakan oleh Astri, anggota perempuan yang kini menjadi bagian dari pengurus FFS. Ia pertama kali datang ketika FFS masih bermain di Taman Musik. Awalnya canggung, tidak kenal siapa pun tapi ia mendapat banyak pengalaman bahwa bermain bola tidak harus kompetitif, tapi cukup untuk sekadar bersenang-senang, tertawa, dan merasa dekat satu sama lain.
Ketika berbicara soal seksisme, Astri sangat mendukung adanya imbauan tegas di FFS. Terlebih masih kuatnya kultur menilai perempuan dari cara mereka berpakaian.
“Sekarang di Bandung masih banyak yang ngomongin cewek dari pakaian, tapi di sini cowok-cowoknya menghormati,” katanya.
Bagi Astri ruang aman untuk perempuan bukan dilahirkan dari janji, tapi dari konsistensi komunitas. Di antara anggota tumbuh budaya saling menjaga dan bahkan menegur satu sama lain untuk saling mengingatkan.
Melalui FFS, Jeje, Astri dan banyak permpuan lainnya yang menemukan ruang yang jarang ditemukan di Kota Bandung. Ruang yang menerima tanpa syarat dan tanpa prasangka, ruang yang aman bagi perempuan yang memiliki kegemeran sepak bola dan sama-sama mencintai klub lokal mereka Persib Bandung.
Di sisi lain, FFS secara tidak langsung menunjukkan bahwa ruang publik bisa kembali ke tangan warga jika ada keberanian untuk memanfaatkannya. Jalan yang awalnya hanya proyek gagal yang tak berfungsi, kini menjadi arena bermain yang inklusif. Bola plastik yang selalu hilang karena tendangan mereka yang terlalu keras menuju langit menjadi ingatan bahwa kota ini masih bisa memberikan kenangan selain kemacetan dan keramaian.
Orang Muda Merawat Ruang Publik
Friday Football Street menunjukkan bahwa ruang publik akan tetap hidup selama ada warga yang merawatnya dengan solidaritas dan kepedulian. Mereka membuktikan bahwa ruang publik adalah tempat untuk berkumpul, bermain, dan saling menjaga. Selama masih ada orang muda yang memilih cara hidup seperti ini, ruang publik akan terus berfungsi, dan Kota Bandung akan memiliki komunitas yang semakin inklusif bagi semua.
Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengenal berbagai jenis ruang yang membentuk cara kita bergerak dan berinteraksi: ruang privat yang melindungi kepentingan pribadi, ruang komersial yang penuh hubungan transaksional, ruang komunitas yang mempertemukan kelompok tertentu, hingga ruang digital yang menghubungkan kita dengan dunia global.
Di antara semuanya, ruang publik memiliki peran yang paling krusial. Ruang ini dapat digunakan oleh siapa saja, kapan saja, dan untuk berbagai keperluan selama saling menghormati. Di sinilah seharusnya warga dapat berekspresi, berkumpul, dan membangun relasi yang setara tanpa sekat.
*Kawan-kawan dapat mengikuti kabar terkini dari BandungBergerak dengan bergabung di Saluran WhatsApp Kami
COMMENTS