Bandung Raya 2025: Hulu Gundul, Hilir Tenggelam
Hujan ekstrem hanya pemicu. Rusaknya kawasan hulu, hilangnya daerah resapan, dan beban DAS Citarum menjadi akar bencana banjir dan longsor yang berulang.
Hujan ekstrem hanya pemicu. Rusaknya kawasan hulu, hilangnya daerah resapan, dan beban DAS Citarum menjadi akar bencana banjir dan longsor yang berulang.
BandungBergerak - “Hey sedang apa? Dari mana sampeyan? Nggak boleh foto-foto sama video. Nggak lihat itu poster larangan? Kok sampeyan bisa masuk sampai sini. Ini area terbatas, hanya petugas berwenang yang boleh masuk,” kata seorang anggota TNI di lokasi longsor Kampung Condong, Desa Wargaluyu, Kecamatan Arjasari, Kabupaten Bandung, Minggu siang, 7 Desember 2025.
Saya dan dua kawan jurnalis lain mencoba menjelaskan kalau kami dalam tugas peliputan. Sang tentara bergeming dengan keputusannya.
“Kalian nggak boleh masuk ke sini, dari jauh saja. Nanti videonya malah dipakai untuk konten-konten media sosial. Wartawan juga nggak boleh, nanti saya dimarahi komandan,” katanya.
Kami menjauh tapi tak menggubris arahan si tentara. Setelah bertemu dan berbicara dengan seorang perwira akhirnya kami bisa meliput dengan cukup leluasa walaupun harus tetap kucing-kucingan. Sepanjang melakukan peliputan di daerah bencana baru kali ini dilarang cukup keras oleh tentara. Padahal kami datang dengan perlengkapan pengaman diri dan mengikuti arahan petugas SAR gabungan (Basarnas, BPBD, BNPB, TNI, Polri, dan relawan warga) di lapangan. Kami mengerti prosedur, tidak dengan serampangan masuk ke area longsor yang sangat berbahaya.
Hamparan tanah basah berwarna coklat menutupi lereng, meluncur deras ke lembah, areanya cukup luas. Batang-batang pohon bergelimpangan, demikian juga batu-batu gunung berukuran besar menyebar terbawa longsor. Aliran sungai pun berbelok akibat longsor tersebut.
“Tadinya ada jalan di sini, tapi sudah hilang tertutup tanah,” kata seorang warga.
Di lapangan, kami bertemu Deni Sugandi, fotografer profesional sekaligus pemandu geowisata dan penggiat saresehan geologi populer. Ia menggambarkan kondisi titik longsor di Pasir Sinapeul sebagai kawasan yang kini berada dalam keadaan miring dan labil, sehingga sangat rawan mengalami longsor susulan.
Menurut Deni, lokasi tersebut menjadi jalur run off air dari perbukitan di sekitarnya. Debit air yang besar memicu terjadinya longsor, dengan material yang pertama kali terlihat oleh saksi mata berupa campuran tanah dan air deras berwarna hitam, sebelum perlahan berubah menjadi cokelat.
Dihentak Bencana Sumatra
Bencana di mana-mana. Bencana banjir bandang dan tanah longsor yang meluluhlantakkan Aceh, Sumatera Barat, dan Sumatera Utara sepekan lalu masih basah, tiba-tiba Bandung Raya menyusul dengan banjir dan longsor di wilayah Kabupaten Bandung dan Kabupaten Bandung Barat.
Pekan pertama Desember 2025, kawasan sekitar SPBU Pertamina di Andir, Kecamatan Baleendah, Kabupaten Bandung, yang tak pernah lagi banjir dalam beberapa tahun terakhir tiba-tiba jadi kolam pancing dadakan. Warga menangkap ikan dengan jaring dan joran pancing.
Perahu, delman, dan manusia, hilir mudik melewati ruas jalan provinsi di Jalan Raya Dayeuhkolot dan Jalan Raya Banjaran yang banjir sepaha sampai sepinggang orang dewasa. Kendaraan roda empat tak bisa lewat. Transportasi antarkota ke kabupaten putus. Alhasil kendaraan terpaksa mengambil jalur Bojongsoang ke Baleendah lewat jembatan biru Sungai Citarum. Untuk menembus jarak 1 kilometer saja perlu perlu waktu berjam-jam.
Sungai Citarum jadi penampungan air bah setelah hujan lebat dengan durasi lama mengguyur wilayah dataran tinggi Bandung Selatan, Bandung timur termasuk Sumedang, dan wilayah Kota Bandung. Seluruh Daerah Aliran Sungai (DAS) membeludak, air tak lagi meresap ke dalam tanah karena tak ada lagi area tangkapan di dataran-dataran tinggi. Pemerintah memberlakukan status tanggap darurat setelah 15 kecamatan di Kabupaten Bandung terdampak bencana hidrometeorologi.
Tanda-tanda kerusakan lingkungan karena aktivitas manusia yang memicu bencana di tahun 2025 ini sudah mulai terlihat sejak awal tahun. Banjir, longsor, dan banjir bandang, terjadi di sejumlah wilayah di Bandung raya.
Alih fungsi lahan hutan di kawasan dataran tinggi jadi resor wisata, pertanian, tambang, dan perkebunan komersial diyakini banyak orang jadi pemicu bencana-bencana tersebut. Walaupun akhirnya yang disalahkan selalu cuaca atau hujan ekstrem.
Masih hangat dalam ingatan saat pembangunan resor wisata di area perkebunan teh Sukawana yang berada di lembah antara kaki Gunung Burangrang dan Tangkubanparahu. Udara dingin dengan pemandangan menawan khas lereng perbukitan Bandung Utara jadi magnet investor untuk membuka resor wisata di sana.
Pembabatan kebun teh di lahan negara di kawasan Pangalengan untuk dijadikan ladang kentang dan sayuran semusim baru-baru ini juga menuai gelombang protes petani. Polisi sudah menetapkan sejumlah tersangka, namun entah pemodal besarnya tertangkap atau belum. Karena dugaan yang jadi aktor utama adalah pemodal besar, mengingat perbukitan Bandung selatan di Pangalengan adalah sentra kentang, bawang, dan sayur-sayuran lainnya.
Mundur beberapa bulan ke belakang, bencana hidrometeorologi di Jawa Barat selalu berulang. Banjir merendam sampai sepinggang orang dewasa di Kampung Bunter di Cimanggung, Sumedang, bulan Maret 2025. Bulan Mei 2025, tanah longsor merusak sejumlah bangunan termasuk kantor desa di Desa Citaman, Nagreg, Kabupaten Bandung. Masih di bulan yang sama, ruas jalan tol Cisumdawu retak dan amblas akibat pergerakan tanah di kawasan Sirnamulya, Sumedang.
Maret 2025, longsor juga merusak kawasan pertanian dan menimbun seorang petani di Cisarua, Kabupaten Bandung Barat. Pada Oktober 2025, banjir luapan DAS Citarum merendam permukiman di Dayeuhkolot dan Baleendah. Jauh hari sebelumnya, Maret 2025, ruas Jalan Raya Provinsi penghubung wilayah dan kota lumpuh akibat banjir di Dayeuhkolot. Pada Desember 2025, ruas jalan raya penghubung kota dan kabupaten tersebut kembali lumpuh akibat banjir.
Longsor di Arjasari
Belum kering pakaian basah saat berjalan melewati genangan banjir di Dayehkolot, informasi tanah longsor di Arjasari berseliweran di media sosial dan grup percakapan WhatsApp. Sejumlah rumah di Kampung Condong habis disapu tanah longsor, ratusan unti rumah lainnya ikut terdampak, terancam longsor susulan.
Batu-batu gunung sebesar mobil bergelimpangan di antara rumah yang tak utuh lagi. Petugas penyelamat berusaha mencari tiga warga kampung yang tertimbun yaitu Aisyah, 60 tahun, Citra, 20 tahun, dan Alfa, 15 tahun. Sampai sepekan kemudian jenazah mereka belum bisa ditemukan.
“Masih trauma waktu kejadian longsor, saya lihat air mengalir deras di bawah halaman rumah, banjir dan longsor datang setelah hujan mereda, lalu saya mendengar suara gemuruh, yang saya lihat waktu itu kok pohon-pohon semua tumbang, semakin dekat kea rah kampung bersama longsoran tanah,” kata Titin, 45 tahun, rumahnya persis berada di batas antara longsoran tanah dari bukit dan jalan kampung yang masih utuh sebagian.
Waktu itu Titin dan dan suami panik. Mereka langsung menjebol dinding di belakang rumah yang posisinya lebih tinggi dari halaman depan, lalu lari keluar lewat dinding yang dijebol.
“Kami sekeluarga mengungsi ke rumah kerabat takut ada longsor susulan,” lanjut Titin.
BPBD Provinsi Jawa Barat melansir data sekitar 100 unit terdampak, 5 unit rumah rusak berat, 3 orang tertimbun, 1 orang luka-luka, dan 400 orang warga kampung harus mengungsi. Dari keterangan resmi Badan Geologi, daerah ini terletak di Zona Kerentanan Gerakan Tanah Menengah, artinya kawasan ini memiliki potensi menengah untuk terjadi gerakan tanah jika curah hujan di atas normal, terutama daerah yag berbatasan dengan sungai, gawir, tebing jalan, atau jika lereng mengalami gangguan.
Faktor penyebab diperkirakan karena kemiringan lereng yang curam, kondisi tanah pelapukan yang gembur dan mudah luruh terkena aliran air, sistem penataan air permukaan di lokasi bencana yang kurang baik dan terakumulasi di daerah lokasi gerakan tanah, dipicu oleh curah hujan tinggi dengan durasi cukup lama.
Badan Geologi mengeluarkan rekomendasi warga di daerah terdampak untuk mengungsi karena masih ada potensi longsor susulan. Bangunan rumah warga yang rusak berat agar direlokasi ke tempat yang lebih aman. Pembuatan sempadan atau terasering diikuti penanaman pohon berakar kuat untuk menjaga kestabilan lereng terutama dari bagian bawah sampai tengah lereng. Meningkatkan sosialisasi mitigasi bencana tanah longsor.
*Foto dan Teks: Prima Mulia
COMMENTS