• Foto
  • Bahana Sunyi Tembok Kota

Bahana Sunyi Tembok Kota

Tembok-tembok Kota Bandung, sebagaimana tembok kota-kota lainnya, tidak tinggal diam menyuarakan ketimpangan dan ketidakadilan. Mural dan grafiti menolak bisu.

Fotografer Prima Mulia27 Desember 2025

BandungBergerak - Jejak mural dan grafiti di Bandung sepanjang 2025 memperlihatkan dinding kota sebagai medium ingatan, protes, dan ekspresi warga. Mural dan grafiti tampak di Jalan Buahbatu, Jalan Saad, Jalan ABC–Banceuy, dan sudut-sudut kota lainnya. Karya seni jalanan ini menegaskan bahwa tembok-tembok Bandung bukan sekadar permukaan benda mati, melainkan arsip atas keadilan dan ruang hidup.

Tulisan Never forget Kanjuruhan 135+ tertoreh abadi di dinding Jalan Buahbatu, Bandung, 1 Desember 2025. Grafiti dengan jenis huruf tertentu itu menyindir sekaligus mengecam aksi represif polisi saat menangani suporter pertandingan sepak bola antara Arema FC Malang melawan Persebaya Surabaya di Stadion Kanjuruhan, Malang, 1 Oktober 2022.

Waktu itu penonton sepak bola turun ke lapangan. Polisi berusaha mengendalikan massa dengan tembakan gas air mata. Sementara di tribun ribuan penonton terjebak dan panik di tengah kepulan asap gas air mata yang mencekik pernapasan. Dilaporkan sebanyak 135 penonton tewas dan lebih dari 500 orang terluka.

Setiap tahunnya masyarakat masih menagih keadilan untuk tragedi Kanjuruhan. Hukum dinilai tidak menyentuh aktor utama dalam tragedi ini. Grafiti di dinding Jalan Buahbatu mengingatkan sekaligus menolak lupa penembakan gas air mata di Kanjuruhan.

Tragedi Kanjuruhan adalah salah satu contoh. Masih ada grafiti lain tentang ketidakadilan negara melalui aparaturnya yang menimpa rakyat kecil

Di Viaduct dan simpang Jalan ABC–Banceuy, seruan “Free Palestine” berulang muncul, menegaskan solidaritas global yang menolak penjajahan. Ada juga puisi “jejak yang dihapus” di Jalan Tamblong, menghadirkan refleksi sunyi tentang pembungkaman terhadap ingatan.

Para seniman jalanan juga menyoroti konflik agraria Dago Elos, Sukahaji, Tamansari. Di Sukahaji, mural itu berkelindan dengan spanduk kampanye Gubernur KDM—sebuah kontras antara politik elektoral dan suara akar rumput. Mural dan grafiti di reruntuhan Sukahaji merekam penggusuran dan ketimpangan. Mural Dago Elos hadir bersamaan dengan pengawalan warga atas penandaan batas klaim aset Terminal Dago oleh pemerintah kota.

Sementara itu, di dinding DPRD Jawa Barat, coretan penolakan terhadap KUHAP menandai perlawanan terhadap kebijakan. Di Cikadut, tulisan “hobi makan tak pernah menanam” di dinding kayu Odesa menyindir krisis ekologis dan tanggung jawab sosial. Poster Affan Kurniawan di Stadion GBLA mengingatkan kasus kekerasan aparat.

Sepanjang tahun 2025, isu-isu konflik agraria, brutalitas aparat hukum, dan kebijakan pemerintah dengan pasal-pasal karet yang mengancam kebebasan sipil jadi bahan coretan dinding yang tak ada habisnya. Beberapa tulisan masih utuh sampai sekarang, beberapa muncul dalam bentuk poster dan spanduk di pertandingan sepak bola, namun kebanyakan tulisan atau gambar di dinding kota tersebut sudah hilang atau ditimpa gambar dan tulisan lain. Hal biasa dalam seni jalanan, ada yang hilang ada yang muncul.

Mural dan grafiti sudah biasa menghiasai dinding-dinding setiap kota. Meski demikian, dinding-dinding di Kota Bandung dinilai tidak banyak yang berisi mural dan grafiti yang menyuarakan ketimpangan sosial atau ketidakadilan.

“Bandung tidak seperti di kota lain, misalnya di Yogyakarta yang banyak menyuarakan isu-isu sosial dan kebijakan-kebijakan yang tak popular. Di Bandung sebagian besar tema grafiti dan mural yang diambil tentang identitas kelompok,” kata Wahyu Dhian, seniman dari Red RAWS.

Dalam buku Komedi Sepahit Kopi, kumpulan reportase Zaky Yamani, dijabarkan bahwa mural dan grafiti adalah bentuk keterasingan masyarakat urban. Dalam keterasingan, grafiti adalah bentuk perlawanan.

Dalam sebuah kesempatan beberapa waktu lalu, seniman Arman Jamparing menegaskan karya-karya jalanannya berlatar masalah sosial. “Karya grafiti atau mural di jalan adalah untuk melawan,” katanya. Beberapa karya Arman Jamparing yang sangat kritis di dinding-dinding kota sudah hilang dihapus aparat atau tertimpa karya grafiti lain.

Reportase akhir tahun 2025 tentang perlawanan di dinding kota ini menampilkan sejumlah grafiti kritis di sudut-sudut kota. Tidak semuanya bisa terekam, namun rekaman bisu ini paling tidak mewakili keresahan-keresahan yang terjadi di masyarakat, mereka yang tak lagi bisa bersuara lantang secara fisik, mereka yang terasing di negeri sendiri, yang kerap digebuk aparat karena dianggap terlalu ngeyel menyuarakan ketimpangan.

 

*Foto dan Teks: Prima Mulia

Editor: Iman Herdiana

COMMENTS

//